"Ati-ati ya? Panggil Ayah, kalau kau kesulitan nyelesaiin masalah Abang kau. Untuk barang tiga kilo itu, bawa aja di koper, Dek. Ayah rasa, itu tak mungkin makan banyak biaya."
Ceysa langsung menoleh ke arah kakaknya, kala ia baru saja mencium tangan ayahnya. Ia baru menyadari, jika ayahnya mencurigai kakaknya yang memiliki masalah. Lagi pula, ia tidak akan mengambil opsi untuk menaruh anaknya di dalam koper.
"Biar Hadi yang bawa, Yah." Ceysa memiliki tujuan lain mengenai itu. Ia lupa jika polosnya Hadi, akan menjawab sesuai apa yang ia tahu.
"Kenapa memang Abang kau ini? Cuma tiga kilo loh itu." Givan memicingkan matanya melirik anak laki-lakinya.
"Udah beli tiketnya, Yah." Chandra selalu tidak memiliki alasan.
"Ya pikir Ayah sih, daripada ngerepotin anak orang. Hadi kau bawa-bawa, hanya untuk bawa beban tiga kilo. Kau pun mampu kali, Bang!" Givan menyatukan alisnya melirik pada anaknya.
"Yaaa, udah beli tiket, Yah." Chandra mengulangi alasan klasiknya.
"Ini mengenai barang-barang kau yang di sana kan, Dek? Ayah pikir, dua koper itu udah cukup untuk bawa barang-barang kau." Givan teringat kepulangan anak tirinya yang membawa dua koper besar. Karena ia meminta Ceysa untuk tinggal di sini, berkumpul bersamanya dan menikmati kasih sayangnya lagu secara dekat.
"Iya, Yah. Iya, tertinggal satu itu. Padahal, itu penting banget buat aku." Ceysa memasang senyum riangnya.
"Ya udah, ya udah. Ati-ati ya? Dicari lagi apa yang tertinggal, biar tak ada yang ketinggalan lagi. Sekarang ketinggalan yang tiga kilo, nanti ada lagi yang lima kilo dan sepuluh kilo." Givan lelah menebak-nebak barang apa yang seberat tiga kilo tersebut.
Mereka semua terkekeh ringan. "Kami pamit dulu, Yah. Assalamualaikum." Mereka melangkah masuk ke dalam mobil yang akan dikendarai Zio dengan serentak.
"Wa'alaikum salam, ati-ati. Kabarin Ayah kalau sampai sana." Givan mengangguk, lalu melangkah mundur untuk memberi jarak dari mobil tersebut.
Hadi menggaruk kepalanya, ia terlihat bingung karena melihat senyum lebar Ceysa dan Chandra. Mereka terlihat senang, karena akhirnya bisa membawa Hadi untuk bertemu darah dagingnya.
"Abang hubungi bang Keith dulu." Chandra mencari keberadaan ponselnya.
"Hallo, Bang. Aku lagi perjalanan, Abang pulang ke rumah aku ya? Sekalian bawa…. Eummmm…."
Hadi jelas penasaran dengan ketidakjelasan panggilan telepon tersebut.
"Oke." Kemudian setelah menghubungi seseorang tersebut, Chandra kembali menoleh ke belakang untuk menunjukkan senyumnya pada Hadi dan Ceysa.
"Kok berdebar ya? Ada apa sih sebenarnya?" Hadi mengusap-usap dadanya sendiri.
"Rahasia…." Ceysa membentuk pelangi dengan gerakan tangannya.
"Penasaran." Hadi menoleh ke arah Ceysa.
"Sabar ya? Hadi bakal tau yang sebenarnya." Ceysa mencolek dagu Hadi.
"Bang, menurut Abang…. Aku kenapa disuruh cepat nikah ya? Aku baru mau naik semester tiga, masih lama wisuda. Apa Ayah tak berpikir, gimana nanti repotnya aku kerja, urus rumah tangga, ajak bermain anak, sama atur waktu untuk kuliah?" Zio mengalihkan perhatian Chandra dari melirik spion tengah.
"Ayah tak mungkin lepas tangan, kau yakini itu." Chandra sebenarnya paham, bahwa ayahnya mencegah anak-anaknya berbuat maksiat.
Ia dan Zio sebenarnya tahu, bagaimana cerita tentang ayahnya. Hanya saja, Zio lebih memilih untuk tidak mendengar dan tidak peduli akan hal itu. Ia tutup mata dan telinga, agar dirinya senantiasa berbakti pada ayahnya tanpa keraguan.
"Aku khawatir tak bisa bagi waktu, Bang. Aku kuliah itu full day loh, soalnya ada kursus lain yang aku ikuti." Zio khawatir rumah tangganya renggang karena ia terlalu sibuk dengan dunianya.
"Kan istri kau juga masih kuliah kan? Dia juga sibuk siang sih, tapi malam kan bisa kelonan juga." Chandra melirik adiknya yang fokus mengemudi.
"Tillah cuma lulus MA, Bang. Dia tak lanjut kuliah." Zio pun tidak sengaja mengenal perempuan tersebut, karena ia rutin membeli es teh kemasan cup yang mangkal di depan tempat kuliahnya. Saat itu, Mardhatillah yang berjaga di kedai es teh cup tersebut.
"Ya tak apa, biar biyung ada temannya. Coba tanyakan dia, siap tak sama kau yang masih repot atur waktu." Chandra pun ikut memikirkan bagaimana ia membahas ini dengan Izza.
"Dia bilangnya tuh, iya dia siap karena dia udah biasa susah." Zio sesekali menoleh ke arah kakaknya.
"Masalahnya bukan tentang hidup susah, tapi waktu bersama. Buruh malah punya waktu dengan keluarga itu banyak, pagi sebelum berangkat kerja, dia masih lihat anak sekolah. Mereka pulang sore, lihat anak main, lihat anak mandi, ya masih bisa. Malam, mereka punya waktu untuk keluarga. Malah orang-orang yang sukses ini, yang waktunya termakan untuk usahanya. Ayah sesekali keluar malam, untuk cek ini cek itu. Meskipun kerja bisa dari rumah, tapi mantengin laptop berjam-jam. Waktunya tak menentu, kadang bisa untuk urus anak, kadang tak juga." Mendengar ucapan Chandra, Zio langsung teringat akan keseharian orang-orang di sekelilingnya.
"Aku kuliah dan kursus, udah full day. Malam, ngerjain tugas dan cek laporan sopir. Hari libur, full time di garasi. Meski tak LDR, tapi ngerasanya kek LDR sama Tillah ini. Dia tak kek kak Izza, yang berani main sendiri ke sini meski tak ada Abang juga. Tillah tak dijemput, ya dia tak bakal datang. Kemarin pas mak meugang aja dia kan aku jemput dulu, pulang ya diantar lagi." Sesekali Zio melirik ke spion untuk melihat pengendara di sekitarnya.
"Ya terus gimana? Kau udah janjikan itu perempuan kan?" Chandra tak memiliki solusi yang tepat, karena ia pun membutuhkan solusi untuk dirinya sendiri.
"Insha Allah, aku bilangnya. Kek ngambang sebetulnya, Bang. Karena menurut pandangan aku, nikah ini bukan tentang cinta, tapi tentang kemampuan tanggung jawab aku untuk fase kehidupan selanjutnya. Ada rasa gentar, tak siap, karena tengok sekeliling begini. Ada aja khawatir begini, khawatir begitu."
Chandra sampai menoleh dan memandang wajah adiknya dari samping begitu lama. Fase kehidupan selanjutnya, Chandra menggaris bawahi ucapan adiknya itu.
"Kau pernah tak sih mikirin adik-adik kau, saat keadaan kau mau nikah begini?" Chandra ingin tahu pandangan satu-satunya adik laki-lakinya.
"Ada mikirin juga, cuma kan apa kata nanti aja. Apalagi tentang Cala dan Cali, yang masih kelas tiga SD. Yang penting kita jaga mereka di masa pertumbuhan mereka, kita mengayomi mereka kala mereka mulai merasa banyak ingin tahu. Kita bimbing mereka, masanya mereka menentukan jodohnya. Yang selalu Abang permasalahkan, gimana nanti adik-adik menikah. Kan itu masih lama juga, kalau kita nunggu adik-adik nikah, apa kita tak expired dulu?" Zio memahami pemikiran kakaknya, hanya saja ia pun memikirkan dirinya sendiri dan nasibnya sendiri jika harus stuck di tempat. Ia tidak mungkin maju dan ia tidak mungkin sukses, jika hanya mengkhawatirkan adik-adiknya. Bahkan ia berpikir, bagaimana caranya ia membantu adik-adiknya jika ia tidak memiliki materi.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 296 Episodes
Comments
Yunia Spm
ngekek teroooos
2023-11-01
1
Red Velvet
yg seumuran sama Ceysa masih semester 3 an kuliah, Cey si anak jenius udh selesai lebih dulu. Andai bang Lendra masih hidup dia pasti bangga sama anaknya dan mungkin gak akan kejadian Ceysa mengandung sendirian😢😢😢😢
2022-12-20
2
Edelweiss🍀
nah bener tuh apa kata Zio, nungguin adik2 kelar eh sendirinya udh expired dluan. Nanti kaya bang Ken yg ngerasanya telat punya anak, pengen nikah lagi malah mau nya freechild😣😣😣
2022-12-20
2