Ketika mendengar kabar dari Airin, Erlan jelas merasa sangat terpukul sampai-sampai dirinya terdiam dan tidak bisa berkata-kata.
Bahkan walaupun dirinya merasa tidak mempercayai tentang apa yang dirinya dengar, namun dirinya cukup memiliki keyakinan jika wanita yang ada di depannya itu tidak mungkin mengatakan omong kosong di saat seperti ini.
Terutama itu juga menyangkut soal Suaminya sendiri.
Namun kenapa?
Kenapa bisa, mereka berdua berani melakukan hal semacam itu di belakang dirinya?
"Kak Erlan mungkin tidak percaya dengan apa yang aku katakan tapi..." Kata Airin lagi, dengan nada gugup.
Ya, dirinya tahu, setelah dirinya mengatakan hal ini tentang bagaimana Slyvia dan Austin memiliki hubungan perselingkuhan selalu tidak ada orang yang percaya padanya.
"Aku percaya apa yang kamu katakan,"
Namun ketika mendengar kata-kata penuh keyakinan itu, Airin merasa terteguh.
"Kak Erlan percaya?"
"Pada akhirnya Sylvia memang tidak ada di sini. Dan aku tahu kamu tidak mungkin mengatakan omong kosong semacam itu kepadaku, kamu pasti mengatakan hal yang sejujurnya. Jadi ceritakan lagi tentang apa yang terjadi setelah aku koma,"
Airin lalu mulai terdiam karena tidak tahu harus bercerita mulai dari mana.
Apakah ini harus dimulai tepat setelah kematian Kakek?
Namun bagaimana dirinya menceritakannya?
"Airin, katakan saja semua yang sejujurnya tentang apa yang terjadi. Katakan sejujurnya tanpa ditutupi apapun aku akan mencoba menerimanya,"
"Lalu, aku akan mulai menceritakan tentang apa yang terjadi setelah Kakak mengalami kecelakaan. Ini dimulai dengan Kakek,"
Airin jelas merasakan kesedihan ketika mengatakan ini.
Ya, fakta soal Kakek mengalami serangan jantung kemudian meninggal, tidak lama setelah di dibawa ke Rumah Sakit.
Airin juga mulai menceritakan, tentang bagaimana Sylvia dan Austin mulai berselingkuh bahkan terlihat terang-terangan di depan dirinya.
Juga, tentang bagaimana Austin saat ini diangkat sebagai CEO, dan Sylvia yang semakin gencar untuk mendekati Austin.
"Jadi, Kamu akhirnya tidak bisa tahan setelah melihat semua itu? Itu pasti sangat menyakitkan untukmu, apalagi kamu sedang hamil,"
"Ya, sejujurnya itu semua bukanlah hal yang mudah untukku. Aku selama ini mencoba bertahan setidaknya demi bayi yang ada di kandunganku... namun semakin hari hatiku semakin sakit melihat mereka berdua yang semakin kurang ajar dan tidak tahu malu, hingga suatu insiden terjadi,"
Erlan mulai menatap wanita di depannya itu yang saat ini menunjukkan wajah penuh kesedihan dan keputusan.
"Apa yang terjadi?"
"Aku mengalami keguguran. Sungguh, bayi yang aku nantikan dia tidak akan pernah lahir..."
Ketika mengatakan itu, air mata Airin mulai tumpah ketika mengingat kejadian itu dan tindakan balas dendam yang dirinya lakukan yang terdengar cukup bodoh itu, membuat dirinya harus kehilangan hal yang paling berharga yang dirinya milik.
Setelahnya, Airin mulai menceritakan juga kejadian yang terjadi, soal Austin yang tidak mau memberikan dirinya tumpangan saat ke rumah sakit, yang membuat perawatan yang harus Airin terima terlambat.
"Austin! aku tidak mengira dia bisa begitu brengsek dan kurang ajar padahal jelas-jelas kamu, mengandung anaknya,"
"Ya, aku juga benar-benar tidak tahu dia bisa setega itu padaku. Ini mungkin karena aku bertindak implusif, namun mau bagaimana lagi Aku sungguh tidak tahan,"
Airin sekali lagi menagis disana, ketika mengingat semua kejadian buruk yang menimpanya.
Setelahnya, Airin mulai menceritakan lagi tentang bagaimana dan apa yang Sylvia dan Austin lakukan setelah kejadian itu, merasa berdua bahkan berpura-pura menjadi korban, menuduh Airin sebagai wanita yang cemburu buta, juga tentang Sylvia yang kabarnya menjadi korban KDRT oleh Erlan.
"Apa? Mereka berdua bahkan mengatakan hal semacam itu? Aku... Aku bahkan tidak pernah membentak Sylvia ..."
Ya, Airin mengerti soal apa yang kakaknya itu maksud sebelumnya dirinya mendegar mereka bertengkar, namun Erlan masih tetap menjaga emosi dan suaranya, agar itu tidak menjadi bentakan kemarahan.
"Itu pada dasarnya mereka saja yang tidak tahu malu dan brengsek,"
Keduanya, lalu mencoba menghibur satu sama lain.
"Airin, Aku benar-benar turut berduka cita tentang hal yang menimpamu, untuk calon anakmu,"
Airin yang mendengar itu lalu segera berkata,
"Terimakasih Kak. Sungguh padahal aku juga menginginkan anak itu... Padahal aku bahkan belum tahu apa jenis kelamin calon anakku nanti, Apakah itu akan perempuan ataukah laki-laki, namun aku sebelumnya pernah mencoba membeli beberapa jenis pakaian baik itu laki-laki atau perempuan, Aku membayangkan mulai mengendong anakku yang akan lahir nanti, Apakah dia akan memiliki wajah yang mirip denganku? Ketika aku memikirkannya sekarang bahwa semua itu hanya ada dalam angan-anganku... Aku tidak akan pernah melihat wajah kecil yang aku nantikan itu,"
Airin sekali lagi mulai menangis tersedu-sedu ketika memikirkan semua ini.
Sejujurnya ini juga pertama kalinya dirinya bercerita hal ini pada orang lain, selama ini dirinya terus memendam semua perasaan yang ada di hatinya ini, kekesalan kemarahan dan rasa putus asa yang dirinya alami.
Ada perasaan sedikit lega ketika dirinya mengatakan hal-hal ini.
Sampai tiba-tiba, Airin merasakan kehangatan.
Ketika Airin menatap keatas, Airin sadar jika itu adalah sebuah pelukan.
"Ya, kamu bisa menangis sekarang, tidak apa-apa untuk merasa sedih,"
Airin memutuskan untuk menerima pelukan itu.
Ya, pelukan hangat yang mencoba menenangkan dirinya.
Keduanya mulai tenggelam dalam pikiran masing-masing sambil menikmati pelukan itu.
Sampai waktu segera berlalu, dan mereka berdua melepaskan pelukan itu dengan canggung, rasa sangat malu dengan tindakan impulsif itu.
Airin, jelas merasa cukup lega setelah mengatakan semua isi hatinya juga setelah dirinya menangis.
Semua hal ini terlalu berat untuk hanya dirinya tanggung.
Bisa berbagi beban dengan orang lain semacam ini adalah hal yang cukup melegakan.
Disisi lainnya, Erlan jelas merasa sangat marah ketika mendengar semua itu, juga dirinya begitu sedih mendengar kematian Kakeknya.
Kakek yang sangat dirinya sayangi...
Dan lagi dirinya tidak bisa hadir dalam upacara pemakaman Kakeknya itu...
Ketika terakhir dirinya bertemu dengan kakeknya itu mereka berdua saat itu dalam posisi bertengkar dan saling marah.
Ya, Erlan tidak akan pernah mengira jika hari itu adalah hari terakhir dirinya bertemu dengan Kakeknya.
Pertengkaran itu jelas karena sebuah fitnah yang menimpanya soal penggelapan dana itu, padahal jelas dirinya tidak pernah mengelapkan dana sedikitpun.
Dirinya selalu berusaha menjalankan perusahaan sebaik yang dirinya bisa agar bisa mendapatkan untung juga agar bisa menjadi kebanggaan dari Keluarganya.
Dan lagi, Erlan menjadi teringat soal informasi yang sebelumnya dirinya dengar dari asistennya.
Ini soal, fitnah yang dirinya terima.
Jelas sekali ada beberapa orang yang diuntungkan soal tragedi yang dirinya alami.
Apakah ini ulah Ibu Tirinya?
Hah...
Rasanya, Erlan merasa sangat pusing ketika memikirkan masalah yang dirinya hadapi.
Lalu sekarang...
Mari mencoba menyelesaikan salah satu masalah yang pokok.
Ya, Erlan lagi segera meminjam ponsel Airin, berniat untuk menelepon Sylvia.
"Kak Erlan ingin meneleponnya?"
"Ya, setidaknya aku ingin mendengar sendiri apa yang akan dia katakan setelah tahu jika aku selamat dan saat ini sudah sadar,"
Airin merasa sedikit ragu pada awalnya namun segera memberikan ponselnya kepada Erlan.
Erlan lalu segera menekan nomor telepon Sylvia, yang sudah dirinya hafal di luar kepala.
Ada suara dering ponsel untuk beberapa saat, sampai tiba-tiba ponsel itu diangkat.
"Hey? Apa lagi, Airin? Kamu masih berani untuk meneleponku? Apakah kamu tidak lihat tentang bagaimana Austin membelaku sebelumnya? Airin, kamu jelas harus tahu bahwa Austin tidak pernah mencintaimu dia selalu mencintaiku selama ini, dan sekarang Austin lebih memilih bersamaku daripada denganmu,"
Ya, kata-kata itu adalah hal pertama yang Erlan dengar dari Istrinya.
Tepat ketika dirinya mendengar suara arogan itu, Erlan menjadi semakin marah.
Ya, dirinya tidak akan pernah mengira jika istri yang dirinya kira baik bisa-bisanya mengatakan hal semacam itu kepada Airin, terlebih mencoba menjatuhkan mental Airin dengan kata-kata kejamnya itu.
Dari kata-kata itu, membuat Erlan menjadi bertanya-tanya sejak kapan hubungan antara Austin dan Sylvia ini?
Ya, Meraka bertiga awalnya memang teman satu sekolah, dan dirinya juga tahu, sebagai teman satu kelas Sylvia dan Austin cukup dekat, awalnya dirinya mengira kedekatan mereka berdua sebatas Saudara Ipar.
Namun ternyata...
Mereka berdua melakukan hal yang sangat tercela.
"Jadi begitu, Sylvia kelakuanmu di belakangku?"
Mendengar suara itu, jelas saja Sylvia yang ada di ujung telepon memiliki wajah pucat dan panik, hal ini tentu membuat Austin yang berada di dekatnya merasa bingung.
"E... Erlan? Kamu... Kamu sudah sadar?"
Sylvia tentu saja mengenali suara dari suaminya itu.
"Menurutmu? Apakah kamu lebih senang jika aku masih tetap terbaring koma, di rumah sakit? Atau malah meninggal?"
Ada suara keheningan di balik telepon, namun secara refleks, Sylvia menjawab,
"Tidak... Tidak seperti itu..."
"Datang ke rumah sakit sekarang juga,"
Tepat setelah mengatakan itu, Erlan langsung menutup telepon itu.
Merasa tidak ada gunanya jika mereka terus berbicara di telepon.
Ada baiknya jika hal ini dibicarakan secara langsung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments