"Loh, belum siap Nad?" Gibran keluar kamar sudah dengan pakaian siap jalannya. Nadia yang sudah mandi sejak tadi malah masih rebahan dengan baju santainya.
"Nad?!"
Nadia yang tengah menonton acara yang bikin perut keroncongan hanya menatap Gibran sekilas. Sesorean ini ia melakukan aksi mogok bicara buntut dari kekesalannya pada Gibran yang sudah mempermalukan dirinya di depan Elsa. Memikirkan wanita berhijab itu kepala Nadia rasa-rasanya ingin terbakar. Cantik tapi nyebelin. Batinnya kesal.
"Males, Om."
"Apa lah malas-malas. Cepat siap-siap!"
Nadia tak bergeming. Dua orang yang tengah makan dengan lahap di dalan televisi lebih menarik perhatiannya daripada kehadiran Gibran sepaket titahnya yang menyebalkan.
"Nad?!" Nada yang penuh peringatan itu mengusik telinga Nadia pertanda bahwa laki-laki dewasa itu tak ingin di bantah namun tak juga membuatnya seorang Nadia merasa takut. Rasa takutnya pada sosok Gibran hanya tersisa setengah, selebihnya hanya ada rasa kesal dan kesal.
"Apaan sih Om. Kalau om mau pergi ya pergi saja. Gak usah ribet deh pake ngajak-ngajak Nad." Nadia yang tadinya rebahan bangun dengan malas-malasan. Ia melipat kedua kakinya bersila. Matanya tak lepas menatap layar setebal beberapa inch di depannya. Acaranya benar-benar mengusik ketenangan cacing-cacing di perutnya.
"Jangan buat om kesal" Gibran merebut remot tv yang ada di tangan Nadia lantas mematikan televisi. Nadia berdiri menantang Gibran. Kedua tangannya terlipat di dada.
"Om jangan rese deh. Balikin remotnya!" Nadia melompat berusaha menggapai remot di tangan Gibran. Tinggi badannya yang hanya seketiak Gibran menyulitkan gadis itu mengambil kembali remot tivi.
"Cepatlah Nad." Gibran berucap lelah, melirik jam di pergelangannya yang sebentar lagi menunjuk pukul delapan malam. Ia tidak pernah terlambat sepanjang hidupnya dan kata itu tidak ada dalam kamus hidupnya. Ia tidak akan membiarkan Nadia mengacaukan semua prinsip hidupnya. Cukup dengan saat menikahi gadis itu ia melanggar prinsip untuk tidak mengencani anak bawang.
"Bodo amat. Pokoknya Nad gak mau pergi. Om pergi aja sana. Sekalian melepas rindu sama keluarga tante El yang udah rindu bangat itu. Nikahin tuh sekalian tante El supaya jadi keluarga beneran." Ujar Nadia semenyebalkan mungkin. Ia tak lagi berusaha mengambil remot dari Gibran. Mood nontonnya sudah bubar jalan sejak nama Elsa disebutkan.
"Bagus bangat bahasanya. Siapa yang ajar?" Gibran bersedekap, menatap Nadia dingin.
Gadis itu bukannya takut malah semakin niat mengompori Gibran. Tiba-tiba ide brilian ini terlintas dalam otak cerdasnya, Gibran mungkin saja akan memulangkannya ke rumah besar kalau sudah tidak tahan lagi menghadapi sikapnya yang menyebalkan. Such a good idea. Batinnya bersorak.
"Nad udah pinter. Bisa melihat kenyataan dengan jelas kalau Om dan tante El punya hubungan gelap."
"Oh ya?" Gibran mengangguk-anggukan kepala. Bibirnya mengulas senyum yang tiba-tiba membuat bulu kuduk Nadia merinding. "Pintarnya Nadia. Coba dekat sini." Gibran mengulurkan tangan hendak menggapai lengan Nadia namun gadis itu dengan gesit menghindar.
Nadia yang merasakan ancaman itu secepat mungkin berlari ke sudut ruangan memasang kuda-kuda. "Jangan dekat-dekat!!" Gibran tersenyum miring.
"Ayo sini. Ngomong apa tadi? ulangi sekali lagi." Gibran mengulurkan tangannya seperti seorang ibu yang sedang membujuk anak balitanya yang sedang ngambek. Nadia semakin merapatkan tubuhnya di dinding saat Gibran berjalan pelan kearahnya.
"Om maju selangkah, Nad teriak." Ancamnya yang sama sekali tidak membuat langkah Gibran berhenti.
"Siapa yang ajar bicara begitu?"
"Kyaaaa!!!! Sakit Om, lepaaaas!!!"
"Mulutnya jangan sembarang!" Gibran mengapit leher Nadia di ketiaknya membuat gadis itu meronta minta di lepaskan. Namun Gibran adalah lawan yang tangguh untuk hal itu.
"Oooom, lepas! Nad susah napas."
"Jangan bicara seperti itu lagi!" Ujar Gibran dengan suara berat ala militernya.
Nadia yang sudah merasa pengap akhirnya mengangguk-angguk menyerah.
"Ganti cepat!" Gibran melepaskan Nadia setelah memberikan jitakan di kepala gadis itu.
***
Nadia duduk disamping Gibran dengan wajah tertekuk masam. Sudah hampir lima belas menit mereka sampai di tempat yang punya hajatan tapi belum ada juga tanda-tanda makan malam dimulai. Ia tadi berencana delivery pizza dkk kalau Gibran datang sendiri di pesta orangtua Elsa. Tapi sepertinya Gibran tak akan melepaskannya untuk bebas merdeka walaupun beberapa menit saja maka disinilah dia sekarang, mengenaskan mendengarkan para orang dewasa berbicara tentang negara dengan keadaan cacing-cacing menuntut pemenuhan gizi empat sehat lima sempurna. Nadia menyandarkan kepalanya di pundak Gibran. Kedua tangannya seperti biasa secara otomatis mengambil jemari Gibran memainkannya membuat Gibran tampak sedikit salah tingkah karena di depannya ada kedua orangtua Elsa yang memperhatikan keduanya dengan tatapan geli.
"Nad, duduk yang manis." Bisik Gibran diatas puncak Kepala Nadia. Gadis itu langsung meluruskan badannya tanpa melepaskan jemari Gibran dari kuasanya.
"Nadia kenapa?" Tanya Mama Elsa lembut. Tatapan sayang itu tak lekat dari sorot matanya.
"Lapar, Tante." Akunya jujur. Satu tangannya yang bebas mengelus perutnya yang rata yang sejak tadi menuntut di perhatikan. Gibran yang mendengar hal itu sontak menjadi tidak enak hati.
"Maaf, Ndan, Bu."
"Tidak apa-apa, Gi. Jangan sungkan sama kami. Kamu dan Nadia sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Iyakan, Pa?"
"Iya, Gibran. Walaupun dulu kami berpikir kamu dan Elsa cocok tapi melihat Nadia, kami yakin kalian pasti sangat menikmati pernikahan kalian."
"Siap, benar, Ndan." Gibran langsung mengetatkan genggaman jemari Nadia saat Gadis itu ingin membuka mulut. Kalau tidak di tahan, entah apa yang akan diucapkan istri kecilnya itu.
"Nad gimana sekolahnya, lancar?"
"Lancar, Om. Nad kan pintar." Jawab Nadia lugas penuh percaya diri. Ketiga orang di ruangan itu langsung tertawa membuat gadis berambut indah itu mengerjap berulang kali. Apa ada yang lucu? Batinnya.
"Bagus sekali. Nad tambah lagi belajarnya supaya makin pintar." Ujar Mama Elsa. Nadia mengangguk patuh.
"Good, girl." Tambah Papa Elsa. Diperhatikan olah orang-orang dewasa yang baik seperti itu membuat Nadia terharu. Sudah lama sekali hal itu diucapkan padanya. Seingatnya, terakhir kali ia mendengar kedua kata itu adalah saat ia kehilangan kedua orangtuanya. Ayahnya yang setiap pagi akan ke kantor selalu mengucapkan kedua kata itu saat Nadia bisa melakuka banyak hal seperti memakai seragam sendiri atau sarapan tanpa bantuan bunda atau pembantu di rumah. Dan kini semuanya hanya menjadi kenangan. Nadia menyeka sudut matanya yang basah diam-diam. Ia tak ingin terlihat lemah apalagi di hadapan Gibran.
"Kita tunggu Elsa sebentar. Udah mau turun kok." Ujar Mama Elsa lemah lembut. Elsa versi old. Batin Nadia. Tapi mama Elsa jelas punya senyum tulus, tidak menyebalkan seperti anaknya. Nadia benar-benar menolak lupa insiden pizza itu.
"Gimana di kesatuan, Nadia bisa menyesuaikan dengan ibu-ibu disana?"
Nadia nyengir, entah itu bisa dikatakan menyesuaikan diri atau memaksakan diri yang pasti sangat sulit untuk terlihat senang diantara sekumpulan ibu-ibu yang selalu membahas tentang kepatuhan, pengorbanan dan pengabdian pada suami sebagai abdi negara. Kepala Nadia biasanya akan pusing dan kemudian memilih kabur ke kamar mandi untuk berselfi ria.
"Bisa, Tan. Ibu-ibu disana banyak membantu Nad." Ngeek, bohong bangat. Mana ada bantu, beberapa diantara mereka bahkan dengan sengaja melimpahkannya kerjaan yang seharusnya diselesaikan bersama-sama kepada dirinya seorang. Senioritas yang menyebalkan. Padahal kalau di sekolah, dia yang paling senior. Nadia tersenyum kaku lelah mendebat hati nuraninya yang memberontak.
"Syukurlah. Harus pandai-pandai membawa diri ya, Nak." Tambah Papa Elsa yang langsung diangguki Nadia.
"Siap, Om."
Suara tawa kedua orangtua di depannya itu pecah.
"Wah, udah biasa jawab begitu ya, Nak. Bagus." Nadia hanya megangguk bingung saat papa Elsa mengacungkan dua jempol untuknya. Nadia melirik Gibran berharap mendapatkan clue dari om nya itu namun yang ada Gibran hanya ikut terkekeh bersama kedua orangtua Elsa.Ia berusaha untuk tidak bertanya karena bertanya pada Gibran sama halnya balik di interogasi. Orang-orang tua yang aneh. Batin Nadia. Apa yang di pikirkannya memang benar, terjebak diantara orangtua sudah pasti membosankan dan membingungkan.
"Kita ke ruang tengah, Yuk. Bibik sudah menyiapkan semuanya. Kita tunggu Elsa di meja makan saja." Mama Elsa berdiri menghampiri Nadia, mengamit lengan kecil istri Gibran itu. "Ayo, Bang Gi, Pa."
Nadia langsung tersenyum lebar saat melihat di hadapannya tersaji berbagai jenis makanan dari seluruh nusantara. Selama ini yang ia tau hanya makanan-makanan ala resto eropa atau jepang selebihnya untuk masakan khas nusantara ia nol besar.
"Silahkan duduk." Mama Elsa duduk di kursi bagian kanan Papa elsa sementara Gibran dan Nadia di depan mereka. "Bik, tolong cek Elsa, ya. Bilangin Gibran dan Nad sudah datang." Ujarnya lanjut.
"Baik, Nyonya."
Nadia yang memang tidak biasa duduk diam melirik jauh ke lantai dua dimana bibik menghilang di balik pintu. Setiap kali mendengar nama Elsa, ia akan teringat kekesalannya pada Gibran yang dengan tidak berdosanya membuat ia menjadi sosok yang kalah di hadapan Elsa. Bagaimanapun caranya ia harus membalas Elsa.
"Oooom... " Nadia menatap Gibran dengan puppy eyesnya. Malam ini ia akan berubah menjadi anak anjing yang sangat lucu dan manja. Ia mau memberikan tontonan yang menarik untuk elsa maka ia akan mulai dari sekarang.
"Kenapa?" Tanya Gibran setengah berbisik.
Nadia melirik bahunya yang terbuka. Malam ini ia memaksa untuk memakai Baju dengan leher sabrina berwarna putih. Gibran sudah menegurnya memintanya mengganti baju tapi Nadia malah mengancam tidak mau ikut kalau tidak diizinkan memakain baju kesukaannya itu.
"Dingin."
Gibran menatapnya datar seolah mengatakan 'Bukankah aku sudah melarangmu tadi?'
Nadia yang memahami tatapan itu menunduk dalam. Bukannya dia sedih atau apa tapi ia sedang berekting. Ia bisa mendengar ketukkan sepatu dari lantai dua mendekat ke ruang makan. Sudah pasti itu Elsa. Dan Elsa harus di perlihatkan sesuatu yang menarik.
Nadia mengangkat kepalanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sebuah senjata yang selalu ampuh melumpuhkan Gibran Al fateh.
Gibran yang menyadari sebentar lagi akan ada drama dari Nadia segera melepaskan jaket yang melapisi kemeja lengan pendeknya dan menyampirkannya di bahu Nadia, menutupi bahu Nadia yang terekspos. Nadia menyengir lalu secara tiba-tiba mendaratkan kecupan di pipi Gibran.
"Makasih, Om."
Bukan saja Gibran, bahkan orangtua Elsa terlihat cukup kaget dengan yang dilakukan anak itu apalagi Elsa yang sudah berdiri dengan anggunnya di belakang kursi kosong di samping Kiri Gibran.
"Selamat malam, tante El." Sapa nadia ceria. Senyumnya benar-benar lebar.
"Selamat malam, Nad, Bang Gi." Jawabnya dengan suara sedikit bergetar.
"Selamat malam, Dokter El." Gibran tersenyum lembut seperti biasa. Jenis senyum yang menyebalkan kata Nadia.
"El, cantik sekali sayang." Puji mama el pada putri semata wayangnya yang terlihat cantik dengan gamis baby pink dan jilbab yang disampirkan kedua bahunya. Nadia yang tadi hendak mengambil gelasnya menghentikan gerakannya lalu memindai penampilan Elsa dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Mama ih. El kan malu." Ujar Elsa. Kedua pipinya memerah merona ditambah lagi blush on yang ditaburi di pipinya.
"Mama benar kan, Pa??"
"Iya, mama kamu benar sayang. Kamu cantik sekali malam ini." Ujar papanya menyetujui ucapan istrinya.
Hih. Mau makan malam doang dandannya udah kayak mau lamaran. Lama bangat. Nadia mengomel dalam hati. Belum lagi melihat senyum malu-malu Elsa. Apa maksudnya tuh melirik Gibran?!
"Ya udah. Karena Elsa sudah disini. Gi, Nad, selamat menikmati hidangan kami ya."
"Terima kasih, Bu." Ujar Gibran lalu mulai menyendok nasi di piringnya.
Nadia menatap Elsa yang sering mencuri-curi pandang pada Gibran dengan penuh permusuhan. Lalu sebuah ide cemerlang meluncur dari mulutnya.
"Om, Nadia mau disuapin." pintanya dengan wajah yang sangat manis dibuat-buat. Gibran tentu tidak asing lagi dengan jenis senyum dan kalimat yang terdengar manis itu.
Gibran menatap Nadia penuh ancaman "Nad, please." Gibran melirik papa mama elsa yang mengulum senyum mendengar permintaan Nadia yang sangat kekanak-kanakan.
"Kan Nad punya tangan yang sehat. Makan sendirilah." Gibran berucap sepelan mungkin. Nadia ini tipe cewek keras kepala, kalau keinginannya tidak terpenuhi maka Gibran tinggal menunggu waktu untuk mengibarkan bendera putih dan Gibran tidak akan mengambil resiko untuk hal itu sekarang di depan komandannya.
"Kuku aku baru aja di menipedi kemarin. Sayaang kukunya." Nadia mengangkat tangannya menunjukkan jarinya pada Gibran yang sudah di lukis sedemikian rupa.
"We need to talk about this at home." Ujar Gibran penuh tekanan. Ia menyuapkan suapan pertama yang di sambut senang oleh Nadia. Tak peduli urusan di rumah, yang penting Nadia puas malam ini melihat wajah pias Elsa. Nadia di lawan, heh!
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
StAr 1086
semangat Nadya...singkirkan pelakor jauh jauh....
2022-11-27
1
buk e irul
resiko istri kecil Ndan 🤣🤣🤣
2022-07-12
1
Ili@na
baca lagi untuk kesekian klainya😬😬
2022-07-07
1