"Om tidak kembali ke kantor?" Nadia membuka mata pelan. Di depannya Gibran tengah menonton tv dengan volumen kecil. Teman-temannya baru saja pulang setelah mereka makan siang delivery ayam geprek.
"Tidak." Jawab Gibran tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar televisi yang sedang menayangkan berita kriminal. "Gimana perasaan kamu? Udah baikan?"
Nadia mengangguk. Ia menggerakkan badannya untuk duduk bersandar di sofa. Saat ini ia terlelap diatas sofa sedangkan Gibran duduk melantai menyelonjorkan kaki. Diam-diam Nadia memperhatikan sosok yang sedang membelakanginya itu. Ingatannya kembali pada kejadian siang kemarin saat tak sengaja mendengar permintaan Elsa pada Gibran. Perasaannya sendiri tidak nyaman membayangkan Gibran dan Elsa pergi berdua di tempat jauh. Bukan karena ia mencurigai keduanya karena tanpa kata 'curiga' itupun Nadia tau bahwa dokter berwajah lembut itu mempunyai perasaan khusus pada Om nya. Yang Nadia belum tau pasti adalah perasaan Gibran pada dokter Elsa. Jika di pikirkan dengan akal sehat, apa mungkin Gibran menolak wanita sesempurna Elsa hanya untuk gadis seperti dirinya? Cinta? Nadia sanksi, selama ini perlakukan Gibran padanya tidak ada yang berubah, selalu perhatian padanya dari pertama ia mengenal sahabat orangtuanya itu sampai kemudian laki-laki itu menyampaikan rencananya untuk menikahi dirinya tentu saja terkecuali ciuman itu. Apa Nadia boleh mengartikan itu sebagai bentuk 'perhatian' yang berbeda? Tapi kata orang-orang, laki-laki bisa mencium gadis manapun yang ia inginkan walaupun tanpa cinta. Arg! Kenapa semuanya tampak rumit sekarang. Nadia memegang kepalanya frustasi.
"Kenapa? Sakit?"
"Oh itu--" Nadia mengatupkan mulutnya, mengabaikan pertanyaan Gibran yang menatapnya khawatir. Ia memandang wajah laki-laki itu cukup lama, sebelum kemudian melanjutkan pertanyaan yang sejak lama berkelebat dalam pikirannya "Om kenapa nikahin Nad?"
Gibran yang tak menyangka mendapat pertanyaan random itu diam sesaat, memutus kontak mata dengan Nadia.
"Karena jodoh." Ucapnya datar.
"Om tau bukan itu yang Nad maksud. Nad pengen tau alasan Om menikahi Nad selain karena kita jodoh seperti yang Om bilang." Lanjut Nadia dengan suara seraknya.
"Tidak ada alasan lain." kata Gibran lagi. Laki-laki itu kembali duduk menghadap layar televisi.
"Nad hanya penasaran. Apa karena Ayah dan Bunda? Karena kalau benar karena Ayah dan Bunda, Nad rasa Om tidak perlu sejauh ini. Nad sudah cukup mendapatkan kasih sayang Om Gi sebagai anak asuh. Nad ingin Om Gi bahagia. Nad--"
"Kalau Nad ingin Om bahagia. Nad cukup dengarkan Om saja. Jangan pikirkan hal lain." Sela Gibran dengan saura rendah. "Apapun alasan om menikahi Nad, itu yang terbaik untuk Nad."
"Bagimana dengan Om? Apa ini yang terbaik juga untuk Om?"
Gibran menoleh, menata Nadia dengan wajah kaku "Itu urusan Om." ujarnya, terlihat sekali tak ingin membahas hal persoalan kali ini.
Nadia mengangguk samar. Selama ini ia memang akan mengikuti semua apa yang Gibran ucapkan termasuk saat laki-laki yang sudah dianggap sebagai paman itu tiba-tiba datang di rumahnya setelah bertugas selama sembilan bulan lebih di tanah papua membawa maksud menikahi dirinya yang baru beberapa hari merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Nadia tidak pernah memiliki tempat untuk bertanya dan memikirkan semuanya karena itu bukanlah lamaran melainkan keharusan bagi seorang Nadia. Sebelumnya ia tak pernah memikirkan, mengambil pusing persoalan ini karena ia rasa semuanya akan baik-baik saja selama ada Gibran di sampingnya tapi makin hari Nadia mulai mengerti bahwa selain dirinya dan Gibran, ada orang lain di luar sana yang bersinggungan dengan kehidupan mereka. Dan lagi, setelah beberapa hari ini dan banyaknya hal yang terjadi, Nadia merasakan ada yang berubah dari caranya memandang Gibran. Bukan lagi hanya sebatas Gibran sebagai laki-laki yang menggantikan peran orangtuanya tapi Gibran sebagai sosok lain yang membuat hatinya berdegup aneh. Dan ia tidak bisa mengabaikan hal itu begitu saja.
"Nad hanya ingin tau." Gumamnya menerawang.
Gibran menghela nafas pendek. Ia beranjak dari tempatnya dan duduk disamping Nadia diatas sofa. Gadis itu menatap Gibran sayu. Matanya berkaca-kaca menunjukkan ada yang tak beres dalam hatinya.
"Nad tidak mau merebut kebahagiaan Om Gibran. Nad sayang sama Om. Nad tidak mau Om terus-terusan berkorban untuk Nad. Nad--"
"Om bahagia. Om selalu bahagia selama Nad baik-baik saja."
Nadia terisak dalam pelukan hangat Gibran. Perasaannya diliputi kekacauan sejak mengenal sosok Elsa. Seorang wanita sempurna yang semua orang juga tau bahwa wanita seperti Dokter Elsa lah yang pantas mendampingi Seorang Kapten Gibran Al Fateh, bukan seperti dirinya, gadis nakal yang menambah beban untuk Gibran.
"Nad minta maaf. Nad sudah menyusahkan Om."
"Jangan bicara seperti itu." Gibran mengeratkan pelukannya pada gadis kecil yang diamanahkan oleh dua sahabatnya itu untuk selalu ia pastikan kebahagian dan keselamatannya.
Keadaan di ruang tengah asrama hijau itu sepi suara manusia. Hanya suara televisi yang terdengar samar, mengisi kesunyian diantara dua anak manusia yang kini berkutat dengan pikiran masing-masing. Nadia dengan banyak pertanyaan di kepalanya, sedangkan Gibran memikirkan penyebab Nadia tiba-tiba mengulik alasan pernikahan mereka. Sampai saat tadi, Gibran tak pernah menduga Nadia yang biasanya tak peduli dengan setiap keputusan yang ia ambil tiba-tiba menanyakan alasannya menikahi gadis kecil itu. Alasan yang selama ini orang tanyakan padanya, alasan yang akan simpan untuk dirinya sendiri. Mungkin suatu hari ia akan ungkapkan atau mungkin selamanya hanya akan ia simpan untuk dirinya sendiri.
***
"Ya ampun dek Nad, sakit kok gak bilang-bilang sama tetangga sih. Kan kesannya kami tidak peduli dengan Dek Nadia. Iya kan ibu-ibu??"
Nadia menghela nafas pendek. Baru juga berkurang sedikit sakit kepalanya, ada lagi muncul sumber sakit kepala lainnya. Ini sih bukan hanya sakit kepala lagi Nadia, sudah komplikasi sakit hati, sesak jantung dan sakit-sakit lainnya kalau Bu Agus tidak berhenti bicara.
"Cuma demam biasa kok." Ujar Nadia tersenyum kering. Bakalan jadi Demam parah kalau ia memberitahu Ibu Agus kemarin ini. Ini saja ngomongnya tidak ada berhenti sejak datang tadi.
"Makanya dek Nadia sering-sering olahraga sore jangan main ke Mall terus."
Lah, suka-suka gue dong. Nadia sudah dongkol setengah mati sejak tadi tetangga rempongnya ini menyindirnya. Nadia sudah lupa pelajaran waktu SD tapi kalau tidak salah ia masih sedikit ingat ajaran bundanya tentang adab menjenguk orang sakit yakni menghiburnya dan mendoakannya bukan malah di nyinyiri seperti yang ia alami sekarang. Kalau tidak mengingat nama baik Gibran, Nadia rasa-rasanya ingin mengusir tante Agus ini, hobi kok nyinyirin hidup orang.
"Ah iya, tante." Ujar Nadia sekenanya. Terserahlah apa kata ibu-ibu di depannya ini.
"Dek, ini buah dari kami." Bu ketut memotong.
"Wah makasih, ibu-ibu. Jadi repot-repot."Nadia menerima keranjang buah dari bu ketut lalu meletakkannya bersama kiriman-kiriman lainnya yang ia dapat sejak kabar ia sakit, merebak.
"Jangan diliat harganya ya Dek. Memang tidak sebanding dengan harga kue Robbins tapi ikhlas dari hati loh ngasinya."
Nadia mengucek hidungnya yang gatal saat melihat tatapan mata Bu Agus yang sedang menyorot buah tangan dari sahabat-sahabatnya. Ada aja.
"Ah iya, tante. Terima kasih." Nadia bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Entah kesabaran darimana yang ia punya hari ini yang pasti ia berterima kasih pada mulutnya sendiri karena tidak mengeluarkan kalimat-kalimat favoritnya untuk ibu-ibu satu di depannya ini.
"Dek Nadia sendiri?" Tanya seorang Ibu yang Nadia kenali sebagai lawan tim nyinyir bu agus.
"Iya, Tante. Om ada keperluan di luar."
"Hati-hati loh dek, jaga suaminya baik-baik jangan sampai tergoda wanita lain di luar sana. Apa lagi Dek Nadia--yah begitulah." Bu Agus memperhatikan Nadia dari ujung kaki ke ujung kepala.
Nadia memandang penampilannya sendiri. Memangnya dia kenapa? Ada yang salah? Nadia menggelengkan kepala, tidak paham lagi dengan tetangganya yang satu ini. Ada saja yang bikin Nadia mumet. Nadia menyengir kaku. Sampai detik ini ia masih meyakini seratus persen dugaannya bahwa Om Gibrannya yang terkenal cool dan susah diajak bercanda itu sedang kecanduan bibirnya. Tanpa sadar Nadia meraba bibir bawahnya, masih terasa dengan jelas bagaimana ******* bibir merah Gibran pada bibirnya. Nadia kira bibir yang tidak pernah menyentuh rokok itu hanya bisa meneriaki anggotanya di lapangan dan lancar memaparkan strategi di medan perang ternyata ada keahlian lain yang tidak kalah kerennya dimana hanya dirinya yang tau.
"Dek Nadia?"
"Ah iya. Maaf, bu." Nadia meringis, bisa-bisanya ia melamun jorok di tengah ibu-ibu rempong ini. Astaga, Nadia harus mandi air ruqyah, otaknya sudah benar-benar kotor sekarang.
"Jangan dipikirin omongan tante Agus, dek Nadia. Om Gibran orangnya baik, soleh, Insya Allah beda dengan pak Agus." Ucap Bu Arya setengah berbisik pada Nadia.
Nadia mengangguk kaku. Hebat juga ya bawa-bawa nama Allah pas nyinyirin orang, mungkin nanti perhitungannya 50:50. Nadia manggut-manggut. Boleh lah nanti ia coba, nyotek baca bismilah, pas lolos dari pagar baca Alhamdulillah. Nadia terkikik. Kejahatan syar'i lah istilahnya.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam."
Gibran mengangguk ramah pada tamu Nadia yang menatapnya dengan tatapan berbeda-beda. Beberapa tampak saling berbisik dibelakang. Tatapannya jatuh pada sosok menyedihkan yang juga sedang menatapnya meminta tolong.
Nadia beranjak dari kursinya untuk menyalami Gibran. Kepalanya di elus lembut oleh lelaki itu.
"Udah lama?" Bisik Gibran.
Nadia yang mengerti maksud pertanyaan Gibran mengangguk pelan. "Nad pusing." katanya lirih. Sejak tadi inginnya beristrahat namun kehadiran dari ibu-ibu tetangganya mau tak mau harus ia sambut sebagai tuan rumah yang baik. Nadia bukannya membenci tetangga-tetangganya tapi kepalanya masih sering pusing ditambah lagi dengan tekanan batin akibat omongan beberapa Ibu yang kadang membuat asam lambungnya mencuat ingin keluar.
"Sabar." Gibran mengelus kening Nadia yang mengerut.
Nadia mengangguk lagi. Setelah itu ia kembali duduk bergabung mendengarkan kalimat apa lagi berikutnya. Untuk beberapa waktu dia harus bertahan menghadapi kunjungan spesial kali ini.
.
.
.
"Tamu Nad sudah pulang?" Gibran mengusap pelan punggung tangan Nadia yang bertaut memeluknya dari belakang. Gibran baru saja memasukkan beberapa pakaian kotor dalam mesin cuci sebelum kemudian lengan kecil Nadia menguncinya dengan pelukan.
Nadia mengangguk. Menyerukkan wajahnya di punggung lebar Gibran yang hanya di lapisi singlet hitam. Hangat dan Sandarable, begitulah Nadia mendeskripsikan punggung seorang Gibran Al Fateh. Sejak kecil punggung Gibran adalah salah satu bagian favoritnya untuk ia peluk. Punggung yang semasa kecil hingga sekarang suka membawanya lari mengelilingi halaman rumahnya atau taman di sekitar kompleks.
"Masih lemas?"
"Udah mendingan. Besok Nad mau masuk sekolah." Nadia melepaskan belitannya di punggung Gibran setelah puas menghirup wangi kayu dari badan Omnya yang bercampur wangi deterjen yang baru di tumpahkan dalam mesin. Ia duduk di kursi makan memperhatikan Gibran yang begitu cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Mungkin bagi yang melihatnya, Nadia bisa disebut istri tidak baik karena membiarkan Gibran melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendiri tapi sejak kecil Nadia sudah terbiasa melihat Gibran melakukan apapun sendiri. Lagian apa yang bisa ia lakukan, selama menikah dengan Gibran, ia cukup bangga bisa menyajikan roti isi slai dan susu hangat tanpa mengalami cedera. Ia tak pernah melakukan pekerjaan rumah tangga sebelumnya karena sejak lahir semua kebutuhannya terpenuhi dan dilayani oleh orang-orang yang dibayar oleh orangtuanya. Nadia hanya tau belajar dan membelanjalakan uang orangtuanya. Tapi sejak menikah dengan Gibran, perlahan laki-laki itu mengenalkannya pada dapur meskipun seperti yang sudah dijelaskan, hanya mampu membuat roti slai dan susu hangat.
"Alhamdulillah. Nanti malam minum obat lagi." Ucap Gibran sembari memutar mesin penggiling.
"Gak mau. Nad udah sembuh." Tolak Nadia. Badannya sudah terasa ringan, ia tidak memerlukan obat lagi. Apalagi kalau minum obatnya seperti cara Gibran tadi pagi, bukannya sembuh, Nadia bisa-bisa kembali demam.
Gibran menoleh, membuat Nadia langsung gelagapan. Padahal ia tidak sedang melakukan apa-apa tapi kenapa ia jadi canggung begini?!
"Obatnya harus habis." Gibran bersidekap, menyandarkan punggungnya pada mesin yang sedang berputar. Mata kelamnya menatap Nadia yang sedang menunduk menyembunyikan wajahnya yang menghangat.
"Nad gak mau. Om ngasinya gitu."
"Gitu gimana?"
"Ya pokoknya--"
Nadia terjengkat saat mengangkat kepala, Gibran sudah berdiri di depannya, menatapnya dengan seringai yang membuat Nadia menelan gugup.
"Nad yang jelas lah ngomongnya. Gitu gimana maksud Nad? Hm?"
Nadia merasakan seluruh tubuhnya merinding saat jemari besar Gibran menyentuh pipinya, mengelus rahang mulusnya dengan ibu jarinya yang besar. Sekali saja jari-jari itu menekan rahangnya, Nadia rasa ia pasti akan remuk saat itu juga.
Nadia mengerjap. Hembus nafas Gibran terasa hangat menyapu permukaan kulitnya menghadirkan sensasi aneh saat wangi nafas laki-laki itu tertangkap indranya.
"Kok diam?" Gibran semakin menunduk. Tangan kanannya menumpu di sandaran kursi yang diduduki Nadia membuat badan kecil itu seolah-olah terkurung dalam kuasanya.
"Om mau ngapain Nad?" Pertanyaan bodoh. Nadia mengutuk dirinya yang selalu kehilangan kecerdasannya setiap kali Gibran berada dalam jarak yang sangat rawan dengannya. Gibran tak menjawab, ia malah mempersempit jarak diantara mereka membuat Nadia kelabakan.
"Seperti ini maksud Nad?"
Nadia mengerjap, menutup matanya saat bibir Gibran menyentuh bibirnya ringan. Hanya sekitar dua detik, memberikan sentuhan ringan seperti bulu yang bertebrangan hinggap sesaat lalu terbang lagi. Tapi bagi Nadia, segalanya tak lagi sederhana.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Sandisalbiah
perlahan tp pasti ya om Gi.. tutorial menjadikan istri sesungguhnya... 😅😅 cerdas....
2023-09-03
1
Naura Sabrina
bnar2 nih novel g bosen baca 🤗🤗🤗
2023-03-07
1
Rhiedha Nasrowi
ihhh ya ampun om gi😍😍😍😍
2022-04-14
1