"Nad jangan jauh-jauh masuk air. Bahaya."
"Siap, Om." Nadia hendak berlari kearah bibir pantai namun langsung di cegat Gibran.
"Tunggu! Itu baju kamu tidak ada gantinya?" Gibran menaikkan kerah baju kemeja putih Nadia yang melorot. Cukup lama ia memandangi penampilan Nadia membuat gadis itu menghela nafas jengah.
"Kenapa lagi sih Om?"
"Baju kamu kayaknya transparan. Gak usah mandi aja."
Nadia melongok. Yang benar aja dong, gak ada sejarahnya Nadia ke pantai hanya untuk liat laut dan pasir putih tanpa basah-basahan. Nadia menggeleng keras.
"Gak. Nad mau main air. Om gak bisa ngalangin Nad." Keukehnya, bersedekap.
"Bisa." Ujar Gibran datar membuat ubun-ubun nadia serasa didihkan.
"Om, jangan rese Deh. Ke pantai mana asik kalau cuma nontonin gulungan ombak? Mending juga di tv, ada spongebob di dalamnya."
"Ya sudah, kita pulang."
"Ooooom." Rengek Nadia. Iya benar-benar akan kesal kalau Gibran seperti ini. "Nad ada baju dalam kok Om, gak bakalan kelihatan badan Nad." Bujuknya menggoyang-goyangkan lengan Gibran.
Gibran mengerutkan kening, menscan Nadia dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Nih kalau Om gak percaya!" Nadia tanpa pikir panjang hendak membuka kancing pertama kemejanya yang langsung ditahan Gibran.
"Apa-apaan sih? Gak malu diliat orang?" Cerca Gibran kesal. Gadis kecil ini memang kadang terlalu sembarang bertindak tanpa tahu akibatnya.
"Om doang." Ucapnya acuh tak acuh.
Gibran menghela nafas pendek yang berat. Kalau dibantah, Nadia sudah pasti tidak akan tinggal diam tapi kalau Dia membiarkan Nadia main air, --Ugh, Gibran menepuk-nepuk bahu Nadia untuk meredam kekesalannya.
"Oke, Nad boleh mandi tapi jangan sampe baju Nad basah."
"Lah, Gimana tuh? Mana ada main air gak basah sih Om. Ada-ada aja deh ah!"
"Ada, kalau Nad main air sampai sepinggang saja."
Nadia terdiam, meskipun rasanya sulit membayangkan mandi air tanpa basah, tapi daripada tidak main air sama sekali, apa sulitnya mengangguk?! Urusan basah nanti diatur belakangan. Nadia kemudian mengangguk setuju setelah menimang untung dan ruginya. Kalau dirinya sudah terlanjur basah, Om nya itu bisa apa?! Nadia terkikik dalam hati.
"Iya deh."
"Iya apa?"
Nadia memberenggut, "Nad main air sepinggang doang." Ujarnya sebal.
Gibran mengangguk, "Nad boleh main sekarang."
Nadia berseru senang lalu berlari kearah bibir pantai bergabung dengan Dewa, Vina, dan Jonathan untuk bermain air. Sementara itu Gio hanya menjadi tukang foto keempat orang itu, sesekali berdecak melihat kelakuan Vina, Dewa dan Jonathan yang seakan kembali muda bersama Nadia, si pembawa keceriaan.
.
.
Gibran memilih sebuah pohon kelapa yang belum berbuah untuk duduk mengawasi Nadia. Gadis itu terlihat sangat menikmati bermain air bersama Jonathan dan tiga rekannya yang lain. Kelimanya bermain dan bercanda seolah sudah saling mengenal sejak lama.
"Nadia gadis yang ceria."
Gibran menoleh pada sosok Elsa yang berdiri memandang jauh teman-temannya yang sedang asik saling mencipratkan air. Gibran tersenyum tipis lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Nadia.
"Sampai sekarang Elsa belum bisa mengerti keputusan Abang menikahi Nadia, gadis kecil yang Elsa pikir adik dan bahkan sudah seperti putri asuh abang sendiri." Ucap Elsa getir, tak bisa menyembunyikan kekecewaan dalam kalimatnya. Dokter berperawakan lembut itu memandang Gibran dengan tatapan terluka sedang lelaki itu tak bergeming, masih mengawas sosok lincah yang tengah tertawa lepas berkejaran dengan ombak di kejauhan.
"Selama ini mungkin cuma Elsa yang terlalu percaya diri. Menaruh harapan pada seseorang yang ternyata tak pernah melakukan hal yang sama." Lanjutnya dengan suara bergetar. Menghadapi seorang Gibran memang tak pernah mudah. Lelaki itu terlalu kuat pendiriannya, bahkan orang yang Elsa pikir bisa meyakinkan Gibran yakni Papanya tak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah keputusan laki-laki itu menikahi putri dari Almarhum senior sekaligus sahabatnya.
"Maaf jika selama ini sikap saya terkesan memberi harapan untuk dokter. Tapi sejak awal tidak ada oranglain, hanya Nadia." Ucap Gibran tanpa menoleh pada Elsa. Selama ini ia hanya bersikap baik, tak pernah menyatakan penolakan secara langsung atas omongan orang-orang tentangnya dan putri Komandannya itu karena Ia sendiri menganggap Elsa hanya sebagai teman baik, tapi ternyata dalam diamnya, Wanita muda itu menyimpan perasaan padanya.
"Tapi kenapa harus dengan menikahinya, Bang? Masih banyak cara yang bisa abang lakukan untuk menjaga Nad, tidak harus dengan menikahinya." Elsa mulai terpancing emosi. Sebut saja ia wanita yang tidak tau malu, tapi bahkan walau hanya setitik harapan, ia akan memperjuangkan perasaannya.
"Dokter benar tapi bagi saya, cara inilah yang terbaik. Tolong jangan menyimpan perasaan untuk saya, Dok." Ucap Gibran datar. Ia tak ingin berlama-lama membahas hal semacam ini. Bagi Gibran, tak pernah ada ruang lain untuk orang lain di dalam hidupnya karena di dunia ini prioritasnya hanya ada dua, Negara dan Nadia.
"Andai saja segampang mengucapkannya, Bang, Elsa juga tidak ingin terjebak dengan perasaan seperti ini. Elsa sa---"
"NADIA!!!"
Elsa menghentikan kalimatnya. Gibran berlari cepat menyongsong Nadia yang tengah berjalan semakin jauh kedalam air meninggalkan Elsa yang terpaku melihat Gibran lagi-lagi mengabaikannya. Laki-laki itu bahkan tak menghiraukan pakaiannya sendiri saat ikut menceburkan diri ke dalam laut menyusul Nadia.
Nadia yang tengah asik bermain air dengan teman-teman Gibran tidak menyadari kehadiran lelaki itu didekatnya yang wajahnya sudah merah padam menahan marah.
"NAD!"
"Lho, Om Gi?" Nadia yang terkejut dengan kehadiran Gibran langsung berhenti bermain.
"Udah mainnya." Gibran meraih Nadia dalam dekapannya. Gadis itu memberontak tak ingin keluar dari air karena Ia masih bersenang-senang dan Gibran tak seharusnya mengusiknya.
"Gi? Kenapa sih?" teriak Vina mengikuti Gibran yang hendak membawa Nadia keluar dari air. Gio, Dewa dan Jonathan yang juga sama bingungnya dengan Vina saling melirik.
"Bro! Ada apa?" Tanya Gio, mengelap air laut dari wajahnya..
"Tidak apa-apa. Kalian lanjut saja." Jawab Gibran mengibaskan tangannya lalu bergerak cepat keluar dari air mengabaikan rekan-rekannya yang menatapnya heran. Sementara Nadia, gadis itu hanya bisa pasrah saat Gibran membawanya keluar dari air.
Gibran membawa Nadia ke tempat yang cukup jauh dari jangkauan pandangan teman-temannya dan warga sekitar. Saat dirasa tempat itu cukup aman, Ia melepaskan kungkungannya pada Nadia.
"Ck. Saya kan sudah bilang, jangan main kejauhan! Liat akibatnya!" Gibran menunjuk kemeja putih Nadia yang kini mencetak jelas warna dan model dalaman yang ia kenakan, merah menyala. Gibran menatap gadis itu frustasi.
Nadia menggigit bibir panik, kedua tangannya kini menyilang di dadanya menyembunyikan badannya yang benar-benar terekspos. Padahal seingatnya, sebelum berangkat ia mengenakan baju dalam yang lebih tertutup.
"Ini gimana Om? Masa Nad gini terus? Nanti kalau badan Nad diliat orang gimana?" Tanyanya tak kalah bingung.
"Makanya, dengar kalau orang dewasa ngomong. Bandel!" Gibran menjitak kening Nadia saking kesalnya. Sudah diperingatkan sejak awal untuk hati-hati, malah ngeyel.
"Baju ganti?"
Nadia menggeleng. "Kan Nad udah bilang, Gak ada." Cicit Nadia.
Gibran menjitak kening Nadia sekali lagi "Anak ini!" Gemasnya. Gibran lantas melepas baju kaosnya yang sedikit basah menyisakan singlet hitam yang mencetak jelas otot-ototnya.
"Wow!" Nadia berwow ria saat melihat Gibran melepaskan kaosnya seperti slow motion, yang kemudian memamerkan otot-ototnya.
Gibran menatap Nadia datar. Gadis ini, bahkan saat dirinya sedang kesal tak dianggapnya serius. "Masih sempat-sempatnya ya! Pake!" Gibran melempar bajunya tepat di depan wajah Nadia membuyarkan keterpesonaan Gadis itu.
"Kebesaran ini sih." Ujar Nadia menelisik penampilannya yang tidak keren sama sekali. Baju kaos putih Gibran hampir menenggelamkan badan mungilnya. "Nad jadi kayak orang-orangan sawah." Keluhnya.
"Atau mau dimasukin dalam karung?" Ujar Gibran melipat kedua tangan di dada. Matanya menyorot tajam gadis nakal di depannya itu yang sedang manyun.
"Sendal Nad putus." Kata Nadia, memamerkan bagian kiri sendal jepitnya yang putus.
"Terus?" Gibran masih menatap Nadia datar.
Nadia menghembuskan nafas lelah "Ya masa Nad ngeker? Banyak Batu-batu. Kaki Nad bisa luka." Jelasnya. "Gendoooong." Nadia mengulurkan tangannya pada Gibran.
"Salah kamu sendiri. Jalan sana!"
"Kalau Nad luka terus tetanus gimana?"
Gibran yang tak akan pernak menang adu mulut dengan gadis itu akhirnya menyerah. Ia jongkok di depan Nadia membuat gadis itu bersorak bahagia.
"Hap!" Nadia melompat di punggung Gibran, mengalunkan tangannya di leher laki-laki berotot itu.
"Om wangi bangat sih. Nad suka." Nadia mengendus tengkuk Gibran, menghadirkan sensasi geli pada laki-laki itu saat bibir tipis merah yang biasa melontarkan kata-kata pedas menyentuh tengkuknya.
"Nad stop atau Saya kubur kamu dalam pasir!" Gibran memperingatkan. Gadis yang menempel nyaman di punggungnya itu benar-benar mencari masalah dengannya.
"Iya maaf." Nadia memperbaiki posisinya lalu bersandar nyaman di punggung Gibran. Punggung lebar yang sangat nyaman seperti milik ayahnya.
Gibran berjalan pelan melewati bebatuan-bebatuan kecil yang tajam dengan membawa Nadia di punggungnya. Gadis itu tak lagi banyak ulah.
"Nad tidur?" Vina menyongsong keduanya khawatir. Gibran menoleh dan mendengar helaan nafas teratur Nadia menyapu lehernya.
"Sepertinya." Ucap Gibran setelah memastikannya sendiri dengan mengedikkan bahu.
"Lucu bangat sih istri lu, Gi. Bisa nyenyak gitu tidurnya." Vina terkekeh, takjub dengan Nadia yang gampang sekali tertidur padahal bukan diatas ranjang yang empuk. Gibran tersenyum tipis, bukan lagi hal baru baginya dengan kebiasaan Nadia yang satu ini.
"Kami balik duluan! Nadia sudah kelelahan." Ujar Gibran melirik gadis kecil yang tertidur nyaman di punggungnya.
"Pakai motor? Bahaya bang, Bu Nadia tidur gitu." Jonathan memandang keduanya khawatir. "Abang naik mobil saja, Motor biar saya dan bang Dewa yang bawa, gimana bang Dew? Jonathan menoleh pada Dewa yang langsung mengangguk setuju.
"Ya sudah, ini kunci motor. Jon, tolong ambilkan jaket saya di saung." Gibran melemparkan kunci motornya yang langsung ditangkap Jonathan. Tentara berkepala plontos itu kemudian pergi menuju saung untuk mengambil jaket Gibran.
"Dokter Elsa mana?" Tanya Dewa saat tak melihat garis berkerudung itu di sekitarnya.
"Mau beli minum katanya." Jawab Gio sembari sibuk merapikan barang bawaannya.
"Baju Nad basah? Menggigil gitu dianya?" Vina menatap Nadia khawatir.
Gibran yang menyadari itu kemudian meminta Vina membuka pintu mobil. "Tolong jangan biarin ada yang buka pintu. Saya mau ganti baju Nadia." Pesannya pada Vina. Wanita muda berambut sebahu itu mengangguk. Gibran kemudian masuk dalam mobil, mengunci pintu dan jendela mobil pajero berwarna hitam tersebut.
"Kenapa diluar?" Elsa muncul dengan membawa dua botol air mineral di tangannya.
"Di dalam ada Bang Gi lagi gantiin baju Nadia." Jawab Vina meringis. Ia menunduk tak enak melihat wajah pias Sahabatnya itu. Vina selalu merasa serba salah terjebak diantara Elsa dan Gibran, keduanya adalah sahabatnya, ia tidak tahu harus memihak siapa.
Tidak lama kemudian pintu mobil terbuka, " Kalau kalian masih ada acara, saya tunggu disini." Ucapnya sembari melipat baju Nadia dan memasukkannya ke dalam plastik. Nadia yang sudah melalang buana kealam mimpi begitu nyenyak tertidur dalam pelukan Gibran.
"Kita pulang saja." Elsa langsung membuka pintu mobil depan dengan sedikit kasar lalu mengambil tempat di samping pengemudi. Vina dan Gio saling melirik, sedangkan Gibran, laki-laki berwajah kaku itu tak bereaksi apapun.
"Bang, ini jaketnya." Jonathan muncul dan menyerahkan jaket Gibran lewat jendela. Dari dekat jalan, Dewa sudah siap diatas motor menunggu Jonathan.
.
.
.
"Nadia kelas berapa, Gi?" Gio membawa mobil pelan saat melewati segerombolan sapi yang akan memotong jalan.
"Dua belas." Jawab Gibran, tangan kanannya yang bebas menaikkan jaketnya untuk menyelimuti Badan Nadia. Sedangkan dia sendiri hanya mengenakan singlet hitam, membiarkan badannya terkena angin laut. Di samping kirinya ada Vina yang berusaha menahan kantuk akibat belaian mesra angin sepoi-sepoi yang menyapu wajahnya.
"Nempel bangat sama lu. Sudah berapa tahun kenalnya?"
"Sejak masih janin."
"Serius lu?" Gio sampai harus menoleh kebelakang untuk memastikan pendengarannya tidak salah. Gibran tersenyum tipis. Ia memang sudah sekenal itu dengan Nadia, bahkan saat Bunda Nadia masih dalam masa mengidam, ia sering menemani Bunda Nadia pergi memenuhi keinginan bayi dalam kandungannya saat Ayah Nadia sedang ada kesibukan di luar kota.
"Jauh berarti ya beda umur kalian?"
Gibran mengangguk "Delapan belas tahun."
"Wow! Gilak sih ini." Gio benar-benar dibuat takjub. Ia mengangkat kedua jempolnya untuk keberanian Gibran mengambil keputusan itu.
"Pas banget jadi bapaknya." Timpal Elsa yang ternyata mengikuti obrolan mereka sejak tadi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Nhyna inha
si Elsa main nyambar aja ikut nimbrung..
2024-06-05
1
Riezka Kania
ceritanya bagus
2024-04-29
1
Sandisalbiah
tepok jidat dgn kelakuan Elsa... seorang dokter.. cantik, cerdas, sholeha.. tp masih ngarepin laki org.. situ waras..?
2023-09-03
2