"Asiiiik. Jadi kapan kita piyama party di kastil lo? Sumpah ya gue kangen kita tidur bareng-bareng. Mana kemarin lu gak ikut lagi di puncak." Sandra yang sedang menemani Nadia menjalani hukuman membersihkan kamar mandi menggerutu.
"Tenaaang, kalau Om gue udah masuk hutan, langsung otw kitaaa." Nadia menjawab semangat.
"Beneran ya, Nad. Gue kebetulan lagi sebel bangat sama orang rumah. Gara-gara kasus si buluk ini, uang jajan gue di potong. Kejaaam." Aleksis mengadu.
"Sama. Gue juga. Bahkan sebulan ini gue nggak di bolehin main ke toko buku." Tambah Gendis yang tak kalah nelangsanya.
"Masih mending kalian cuma di potong uang jajan, lah gue, udah di penjara, di ceburin lagi dalam kolam limbah. Miris gak tuh?" Nadia menekan-nekan keras gagang pel untuk meluapkan kekesalannya.
"Om lo emang parah sih, untung ganteng." Ujar Sandra cengengesan. Nadia menggeleng miris, apalah kalau sudah bucin, tampang penjaga neraka aja bisa dibilang cakep. Sudahlah, Nadia sebagai satu-satunya yang waras akan mengalah.
"Emang kapan Om lo berangkat?" Tanya Aleksis sembari melap kaca toilet.
"Kurang tau tepatnya tapi yang pasti minggu ini." Ujar Nadia tak yakin.
"Ngapain sih di hutan? Emang masih perang ya?" Tanya Sandra kemudian.
"Latihan rutin. Indo udah merdeka kali, San." Nadia mengedikkan bahu acuh.
"Nah itu maksud gue, negara kita udah merdeka tapi latihan Om lo kayak sedang masa perang." Lanjut Sandra menyuarakan keheranannya dengan intensitas latihan dari Om ganteng itu.
"Ngeri bangat sih jadi lo. Ditinggal bisa kapan aja, baliknya gak jelas kapan, ngelarang juga gak mungkin." timpal Aleksis.
Nadia mengangguk. Memang benar yang dikatakan sahabat-sahabatnya, sebagai istri tentara ia adalah prioritas kesekian setelah tugas negara yang diemban oleh Gibran. Om nya itu bisa pergi tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya, pulang-pulang badan gosong, kulit memar, luka gores dan banyak lagi hal yang Nadia lihat.
"Tadi si jeremi nanyain tuh!"
"Beneran lo? Duh, nagih janji gue tuh pasti." Nadia mendadak panik mendengar nama jeremi disebut Aleksis.
"Janji apaan?" Sandra mengerutkan kening bingung.
"Janji kencan kalau dia berhasil bantuin gue ngebongkar si Cantika." Terang Nadia tak bersemangat.
"Lah, emang udah berhasil?"
"Yang kemarin itu gue dapetin info dari hasil penelusuran jeremi."
"Wah hebat juga kulikannya si Jer. Eh tapi, lo belum ngomong sama bu Wardah. tetap aja lo yang tertuduh." Ucap Aleksis.
"Gue tau tapi gue lagi nunggu si cantika mikir. Gimanapun juga gue kasian kalau anak sepintar dia dikeluarin dari sekolah ini. Kesalahannya gak main-main loh, ngerokok dan ngefitnah."
Sandra berdecak "Ck, lo sih jadi orang baik banget. Kalau gue, masa bodo dengan si buluk, yang penting nama gue bersih, udah deh. Lagian hatinya busuk gitu."
"Tapi Nad benar kok. Biarin si cantika yang mutusin nasibnya sendiri, toh pada akhirnya nama Nad dibersihkan." Ucap Gendis bijak.
"Iya juga sih." Aleksis bergumam.
"Ck udah bahas cantika. Cepetan kita selesaiin ini hukuman, gue udah lapeer." Ujar Nadia berlanjut menyelesaikan mengepel lantai.
.
.
.
"Nad, di panggil guru piket." Nadia yang hendak memasukan bakso mercon dalam mulutnya langsung menoleh.
"Ngapain?"
"Gak tau. Udah ya, gue cabut." Ujar salah satu siswa pembawa berita tersebut.
Nadia melap mulutnya dengan tissue yang ada diatas meja. "Jagain bakso gue. Awas lo nyomotin." Titahnya pada Aleksis yang juga tengah menikmati makan siangnya. Dua temannya yang lain sudah tentu masih mengantri di barisan jajanan western.
Nadia kemudian bergegas menuju meja piket. Sepanjang jalan ia memikirkan sekiranya kesalahan apalagi yang telah ia lakukan hari ini. Nadia memperhatikan penampilannya sendiri, seragam dan atribut lengkap, kaos kaki juga tidak salah warna. Lalu ia segera membuka liputan di lengan bajunya yang tadi sempat di gulung saat berada di kantin.
"Permisi, Pak, saya Nadia." Nadia muncul di depan meja piket menyapa guru yang sedang berjaga.
"Oh, Nadia. Masuk! Ada Om kamu mau ketemu." Ujar Pak gurunya, lantas menyuruh Nadia masuk di ruang tamu yang hanya dibatasi oleh kaca bening.
Nadia mengintip kedalam, melihat punggung lebar Gibran yang dibalut seragam loreng lengkap. Di sampingnya ada ransel besar dengan pin kecil bendera merah putih.
"Assalamualaikum, Om?!" Nadia mengetuk pintu sekali.
"Waalaikumsalam." Gibran berdiri dan langsung disambut salam di punggung tangannya oleh Nadia.
"Lagi masuk belajar?" Tanya Gibran mengajak Nadia duduk.
Nadia menggeleng "Lagi ngantin tadi. Ada apa Om? Kok bawa tas besar?" Tanya Nadia heran.
Gibran tersenyum tipis sesaat melirik tas ransel besarnya yang ia letakkan didekat kakinya. Ibu jarinya menghapus sisa makanan yang tertinggal di ujung bibir Nadia.
"Jangan banyak makan pedas nanti sakit perut." Ujarnya yang hanya ditanggapi cengiran tak bersalah oleh Nadia. Gadis itu mengangguk cepat. Gibran mengelus lembut puncak kepala Nadia, kebiasaannya saat gadis itu tampak patuh seperti anak kucing.
"Saya harus berangkat hari ini--"
"Oh itu" Nadia sudah menduga, dalam hati bersorak senang, kebebasannya sudah di depan mata. Yes. "Jadi tiga hari ini Nad boleh pulang di rumah besar?" Tanyanya harap-harap cemas.
"Bukan tiga hari tapi dua minggu."
"WHAAAT???" Nadia langsung menutup mulutnya saat guru piketnya berdehem.
"Kok lama sih Om? Bukannya biasanya tiga hari?" protesnya tak senang.
"Iya, biasanya tiga hari tapi kali ini latihan gabungan jadi waktunya sedikit lama." Terang Gibran pelan.
"Trus, Nadia sama siapa? Masa Om ninggalin Nad lagi sih, kemarin kan udah sembilan bulan perginya. Masa pergi lagi?" Mata Nadia mulai berkaca-kaca. Semenyebalkan apapun Gibran, ia tetap lebih senang laki-laki itu berada disekitarnya daripada berpisah jauh dalam waktu yang biasa tidak bisa ditentukan. Nadia pikir hanya tiga hari, itu cukuplah untuknya melepas penat sejenak tapi dua minggu? Itu terlalu lama.
"Nad jangan gini. Kan Nad udah tau tugas saya gimana." Gibran menatap Nadia penuh harap.
"Ya tapi jangan sering-sering dong, Om. Masa Nad ditinggal terus, kalau Nad kenapa-kenapa terus gak ada Om gimana?" Ujarnya cemberut. Wajahnya mulai keruh.
"Nad makanya jaga diri kalau saya tidak ada. Jangan lakukan hal aneh-aneh."
"Makanya Om jangan pergi, ya ya ya." Pintanya memohon.
Gibran mengelus bahu Nadia mencoba pemberi pengertian gadis itu "Nad, ini perintah. Saya tidak bisa menolak. Kita sudah bahas ini berulang kali. Nad paham kan?"
Nadia terdiam. Ia masih belum bisa menerima hal ini meskipun sudah berulang kali mengalaminya. Kenapa Gibran tidak memprioritaskannya, kenapa Gibran tidak di tinggal saja seperti tentara-tentara lainnya, Kenapa dan kenapa?
"Saya tidak bisa lama-lama." Gibran melirik jam dipergelangannya. "Nad jaga diri, jangan bikin pusing Mbak, Bibik dan orang rumah lainnya." pesannya sembari menepuk bahu kecil Nadia.
Nadia mendongak. Matanya mulai basah tapi ia tak akan pernah bisa melakukan apa-apa untuk menahan Gibran. Dia hanyalah seorang yatim piatu tanpa sanak saudra yang kebetulan saja beruntung mendapat belas kasih dari oleh seorang Gibran Al Fateh. Dirinya tidak sepenting itu untuk membuat Gibran tetap tinggal. Nadia meneguk nafasnya susah payah, mencoba menahan diri untuk tidak menangis lebih kencang dan membuat Gibran mungkin saja kesal padanya.
"Om, hati-hati." Ucapnya pelan. Ia tak berani menatap wajah Gibran. Meskipun tak selama biasanya, tetap saja saat Gibran tidak ada perasaannya tak setenang saat laki-laki itu ada disekitarnya. Perasaan aman yang selalu Gibran berikan, itulah yang Nadia tidak bisa dapatkan dari apapun dan siapapun di dunia ini.
"Iya. Nad jangan bandel. Selama saya pergi, buat semuanya lebih mudah untuk Nad. Barang-barang Nad sudah diantarkan di rumah besar. Jadi Nad langsung kesana saja kalau pulang sekolah. Kunci rumah juga sudah dititip sama Mbak."
Nadia mengangguk. Kalimat terpanjang Gibran selalu saja ia dapatkan saat laki-laki itu akan pergi seperti ini. Seolah mengabarkan pada Nadia bahwa untuk beberapa waktu Nadia tak akan mendengar suara berat itu.
Gibran berdiri dari kursi dan mencamplok tas ranselnya di punggung. Nadia ikut mengiringi Gibran keluar dari ruang tamu untuk berpamitan pada guru piket.
"Saya pergi dulu." Ucap Gibran saat keduanya sudah berada di depan pagar. Tangannya yang bebas mengacak puncak kepala Nadia yang menatapnya sedih.
"Om jaga kesehatan. Kabari Nad kalau sudah sampe." Ucap Nadia, memeluk Gibran erat. Gibran hanya menepuk punggung gadis itu sebagai jawaban. Iya tak akan pernah bisa berjanji untuk hal semacam itu pada Nadia.
***
Nadia berguling diatas kasur empuknya dengan tangan memandangi layar hpnya yang gelap. Ini sudah malam dan Gibran belum juga mengirim kabar untuknya. Biasanya Gibran langsung akan menelfon saat sampai di tempat tujuan. Seingatnya, medan latihan Gibran juga hanya beberapa jam lintas pulau menggunakan kapal ferry tapi kenapa belum juga ada kabar.
"Non, makan malamnya sudah siap." Suara bibik diluar kamarnya membuat Nadia terduduk. Ia melirik jam waker berbentuk kepala kucing di atas nakas, sudah jam delapan malam ternyata.
"Iya, Bik." Sahut Nadia. Gadis itu lalu memakai sweater besar milik Gibran sebelum keluar kamar.
Di meja makan, sudah tersaji beberapa jenis makanan kesukaannya dan segelas susu hangat.
"Bik, Om Gibran nelfon gak?" Tanyanya sambil menarik kursi untuk duduk.
"Tidak, Non. Memangnya bapak belum mengabari?"
"Belum, Bik. Makanya Nad kepikiran."
Bibik tersenyum lembut pada majikan kecilnya itu "Udah, Non, jangan terlalu dipikirin, mungkin bapak sedang ada kegiatan disana. Non makan gih nanti keburu dingin makanannya jadi tidak enak." Bibik berusia hampir separuh abad itu mengelus sayang rambut Nadia.
"Ya udah, bibik ajak mbak dan mang bambang makan bareng."
"Iya, non makan duluan, mereka lagi ada kerjaan nanti kami menyusul." Ujar Bibik sembari menuangkan soup ayam untuk Nadia.
Nadia mulai makan dalam diam. Bibik kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaan yang lain. Di rumah seluas ini yanh di juluki kastil oleh sahabat-sahabatnya, Nadia hanya tinggal sendiri ditemani oleh dua orang pengurus rumah tangga, tukang kebun yang tidak tinggal menetap, supir dan satpam yang berjaga di depan. Gibran biasanya hanya sesekali datang untuk melihatnya, laki-laki kebanyakan menghabiskan waktunya di kantor dan hanya pulang asrama untuk ganti pakaian dan mandi. Nadia sadar, semegah apapun sebuah rumah, akan terasa sesak jika tidak ada ayah dan bundanya di dalam. Hidup sendiri tanpa kedua orang tua mengajarkan Nadia betapa tak menyenangkannya rasanya sendiri. Kehadiran Gibran adalah kebaikan terindah yang Tuhan beri dalam hidupnya yang tak beruntung. Sedingin apapun laki-laki itu dimata orang lain, sesering apapun Gibran menghukumnya, Nadia tetap merasa bersama Gibran tetaplah yang terbaik untunya. Ia harus pandai bersyukur dengan tidak menyulitkan laki-laki itu tapi setiap kali Nadia mencoba, bukannya memudahkan Gibran, ia malah berakhir membawa masalah untuk laki-laki berwajah kaku itu.
Setelah makan, Nadia kembali ke kamar untuk menyelesaikan tugas sekolahnya. Sebagai kelas ujian, ia tidak boleh bersantai-santai jika ingin lulus dengan nilai yang baik. Seburuk apapun image nya di sekolah, setidaknya ia ingin memberi yang terbaik untuk Gibran, menunjukkan pada laki-laki itu bahwa dirinya bisa melakukannya dengan baik, lulus dengan nilai yang baik.
Drttt... drttt....
Nadia langsung melompat dari kursinya berlari cepat mengambil hpnya yang telentang diatas ranjang.
Itu pasti Om! Nadia berseru senang.
Senyum diwajah gadis kecil itu luntur ketika membaca pesan masuk ternyata bukan dari omnya melainkan grup persit yang baru saja mengundang para ibu persit untuk hadir besok sore untuk memulai kegiatan awal kelompok-kelompok prakarya. Nadia meluruh diatas tempat tidurnya setelah membaca pesan khusus dari tetangga rempongnya yang mengundang ekslusif lewat chat pribadi.
Hah!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Malkaalief
pasti bu Agus ya nad😬😬😬😜
2022-11-15
1
Malkaalief
malaikat malik ya kk😁
2022-11-15
1
Eka Yulianti
🤣🤣🤣🤣🤣
2022-07-08
1