Gibran pulang dari pelatihan lebih cepat dari jadwal semula yakni dua minggu. Selama berada di tempat pelatihan ia sama sekali tidak memiliki waktu untuk menelfon karena begitu padatnya kegiatan. Jadwal latihan yang seyogyanya dilaksanakan selama empat belas hari di press hanya sembilan hari sehingga waktu luang bagi mereka untuk beristrahat hanya pada saat solat dan makan. Gibran bahkan hanya bisa mandi sekali dalam sehari selama berada di camp pelatihan. Tujuan pertamanya saat pulang adalah Nadia. Apa kabar gadis kecil itu selama sembilan hari ini tanpa dirinya? Semoga saja tidak ada yang tiba-tiba menyambut Gibran dengan laporan mengenai ulah Nadia.
Gibran kemudian bisa bernafas lega saat sampai di rumah besar tak ada laporan dari ART mengenai Nadia yang perlu ia ketahui. Gadis itu sedang ke Mall, itulah yang di laporkan Bibik saat ia tiba tadi dan menanyakan keberadaan istri kecilnya. Gibran beristirahat sejenak sebelum gadis itu pulang. Setelah mandi, Gibran langsung tidur hanya memakai celana kain panjang tanpa memakai baju saking lelahnya. Dan saat setan kecilnya datang, ia benar-benar 'membangunkan' nya.
"Om?"
Gibran sepertinya sudah hilang akal sekarang. Suara cicitan Nadia begitu terdengar berbeda di telinganya. Mengusik akal sehatnya, membakar sesuatu yang mengingatkannya sebagai seorang lelaki dewasa normal. Ini semua karena Nadia sendiri yang tidak mengerti bahwa sikap implusifnya bisa saja memicu tindakan yang selama ini ditahan oleh Gibran mengingat masa depan Nadia yang masih panjang.
Tangan besarnya kini menyentuh sesuatu yang selama ini tidak terpikir olehnya adalah milik seorang gadis muda yang mempesona. Gibran tak memungkiri bahwa Nadia adalah sosok gadis remaja yang beberapa tahun kedepan akan menjadi wanita dewasa yang mengundang setiap mata lelaki menoleh padanya. Seusia ini saja Nadia sudah memiliki bentuk tubuh yang sempurna yang membuat seorang lelaki normal sepertinya terganggu. Gibran merasa kepalanya berat sekarang. Menatap wajah Nadia dalam diam, mengabsen setiap lekuk wajah gadis itu sementara satu tangannya, entah setan dari mana yang menggerakkannya, meraba pelan dada yang ternyata sangat pas dalam genggamannya.
"Om" Nadia mulai ketakutan. Ia belum pernah mengalami bahkan memikirkan Om Gibran akan sampai sejauh ini.
"Nad takut?" Gibran menghentikan gerakan tangannya. Ia tersenyum samar, senyum yang membuat Nadia bergidik ngeri. Gadis itu mengangguk.
Gibran menjauhkan tangannya dari dada Nadia, berpindah menyusuri wajah mulus gadis kecil itu mulai dari mata, hidung lalu berhenti di bibir bawah Nadia.
"Nad yang mulai--" Gibran menatap bibir merah itu dengan intens "Sikap Nad yang seperti tadi ke Om, bisa bahaya. Nad tau?"
Nadia menggeleng. Ia tidak berpikir sebelumnya bahwa memeluk Om gibrannya, menyampaikan rindunya bisa membuatnya berakhir seperti ini.
"Om laki-laki normal, Nad. Nad juga bukan lagi anak kecil. Om bisa saja melakukan sesuatu sama Nad kalau Nad tidak hati-hati."
"Melakukan apa?" Tanya Nadia polos.
"melakukan ini." Gibran kembali menurunkan tangannya menyentuh permukaan seragam Nadia meremas tepat dibagian sensitif gadis itu dengan pelan namun intens membuat Nadia berteriak tertahan karena bibirnya kini di bungkam hangat oleh Gibran. Ciuman pertamanya.
Nadia merasa kepalanya tak bisa berpikir apa-apa lagi. Ciuman Gibran yang intens, membelai setiap inci bibir dan mengabsen rongga mulutnya meraup semua akal sehat gadis itu. Nadia tidak tau bahwa ciuman bisa membuat dia jadi bodoh dan bingung secara bersamaan.
Nadia tidak tau apakah tadi adalah teriakannya atau lenguhannya yang pasti ada perasaan asing yang baru ia rasakan, seperti terbakar dan menyenangkan disaat bersamaan saat bibir gibran memagut bibirnya dengan lembut sedangkan tangan besar laki-laki itu menyusup dibalik seragamnya, menyentuh tepat di puncak dadanya lembut secara bergantian menghadirkan gelenyar aneh menggelitik perutnya seperti ada banyak kupu-kupu yang beterbangan, membuatnya sulit bernafas. Nadia tidak tau apa yang telah Omnya lakukan padanya tapi ia merasa malu dan sedikit takut setelah Gibran akhirnya menghentikan kegiatan yang membuat ia kesulitan menghirup oksigen.
Gibran mengangkat wajahnya, menatap Nadia yang terbaring di bawahnya dengan tatapan sayu dan polosnya. Gibran tersenyum tipis, menyeka sudut bibir Nadia yang sedikit bengkak. Mungkin tadi ia sedikit kehilangan kontrol sehingga gadis di bawahnya ini tampak kacau, bibirnya bengkak, leher mulusnya penuh tanda merah, dan kancing seragam Nadia yang sudah terbuka, menampakkan dalaman hitam gadis itu yang membungkus dada lembut Nadia yang tadi begitu menyenangkan saat berada dalam kuasanya.
Nadia mengerjap lucu saat Gibran menyarangkan satu kecupan lagi di bibirnya, candu baru untuk laki-laki dewasa itu.
"Ini yang akan Om lakukan kalau Nad tidak hati-hati." Ucap Gibran, mengelus lembut rambut gadis itu yang sudah acak-acakkan. Ck, dia benar-benar kehilangan pikirannya tadi. Gadis kecil pembuat onar ini ternyata mampu membangunkan sisi liarnya yang Gibran pikir tak akan pernah lakukan sebelumya. Gibran bangun dari posisinya. Menarik tangan Nadia yang masih tampak syok dengan apa yang baru dialaminya. Ia bahkan tidak sadar saat Gibran mengancingi kembali seragamnya yang kusut.
"Nad mandi. Setelah itu makan malam."Ujar Gibran menepuk pelan pipi Nadia. Lalu kemudian beranjak keluar dari kamar nuansa pink tersebut meninggalkan Nadia yang masih belum sadar dari keterpakuannya.
***
Nadia duduk diujung sofa dengan selimut membungkus seluruh badannya. Di ujung sofa satunya Gibran duduk dengan tenang menonton acara tv yang sedang memutar salah satu film box office sembari sesekali menyesap kopi hitamnya. Nadia meremang, mengingat lidah yang sedang merasa kopi hitam itu tadinya menyesap habis bibirnya. Diam-diam ternyata Om Gibrannya bisa melakukan hal dewasa seperti itu juga. Nadia pikir, Gibran tidak memiliki pikiran semacam itu terhadapnya apalagi mengingat selama ini Gibran memperlakukannya seperti anak kecil dan sasaran keisengannya tapi ternyata--Nadia bergidik ngeri, tak mau membayangkan apa yang baru saja dialaminya.
"Kenapa Nad?" Gibran bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar yang lebarnya sepuluh kali lebih luas dari tv yang ada di asrama.
Nadia gelagapan, dengan cepat ia mengalihkan perhatiannya kemana saja asal tidak ketahuan sedang memperhatikan Gibran.
"Mau?"
Nadia melirik Gibran dengan sudut matanya, laki-laki mengangkat kopi hitamnya.
"Gak. Terima kasih." Ucapnya sedikit ketus. Gibran mengedikkan bahu tak acuh. Laki-laki itu kembali memusatkan perhatiannya pada layar televisi mengabaikan Nadia yang diam-diam kembali memperhatikannya.
"Om ngapain aja sih di Camp? Kok pulang-pulang jadi gitu?!"
"Jadi gitu apa?"
"Ya gitu?" Nadia keki setengah mati, Gibran malah bersikap seolah-olah tak ada yang terjadi sebelumnya diantara mereka padahal Nadia masih bisa merasakan bibirnya yang sedikit kebas gara-gara ulah lelaki berwajah kaku yang si*lnya lama-lama jadi keren.
"Ngomong yang jelas." Ujar Gibran meletakkan gelasnya yang sudah kosong diatas meja kaca.
"Ck. Om jangan pura-pura b*go deh. Bibir Nad masih perih neeh." Nadia menggerutu. yang benar aja dong, masa dia harus kembali menceritakan kronologis kejadian diatas ranjang tadi sih?!
"Mana yang perih? Coba Om liat." Gibran menggeser duduknya namun langsung berhenti saat Nadia berteriak.
"NO! Om diem disitu!" Nadia menggerakkan tangannya meminta Gibran untuk tidak bergerak seincipun.
"Kamu kenapa sih? Tidur sana!" Gibran menyandarkan punggungnya disandaran sofa sembari mengganti saluran televisi. Dalam diam ia menertawai sikap Nadia yang terlihat sangat mengemaskan sekarang ini. Ia sudah sangat jauh bertindak tadi tapi anehnya Gibran sama sekali tidak menyesalinya. Ia pasti akan di tertawai oleh teman-temannya kalau sampai mereka tau ia takluk oleh gadis kecil disampingnya ini.
"Nggak. Setelah Om tidur baru Nad nyusul. Nanti Nad diapa-apain lagi pas lagi tidur." Ujarnya menatap Gibran sinis.
"Nad kan seorang istri jadi gak apa-apalah diapa-apain juga sama suami." Ucap Gibran enteng membuat Nadia membelalakan mata.
"Tuh tuh tuuuuh!!!! Apa tuh maksudnya?" Nadia sontak merapatkan selimut di badannya.
Gibran menoleh pada Nadia, menatap gadis itu dengan tatapan kelam dan serius. Nadia menjadi gugup kembali, Gibran tidak mungkin serius kan? Nad masih 17 tahun loh, masa harus ngalamin yang 18 tahun plus sih, kan belum cukup umur. Nadia bermonolog dalam hati.
"Maksudnya seperti yang tadi atau bisa jadi lebih lebih lebiiiiiih lagi." Wajah kaku itu berubah menjadi smirk yang menakutkan dimata Nadia. Smirk Om-om genit. Hih.
Dengan gerakan cepat, Nadia beranjak dari sofa lalu berlari menuju kamarnya menghindar dari Gibran yang hanya tersenyum tipis di tempatnya. Lucu sekali.
.
.
.
Saat masuk kamar semalam, Gibran di sajikan pemandangan yang menggelikan dari Nadia. Gadis itu tidur dengan selimut membelit tubuhnya seperti kepompong dan sekat dari susunan guling dan bantal untuk memisahkan bagian ranjang mereka.
Dan pagi ini, Gibran hanya bisa menggelangkan kepala takjub, pasalnya guling dan bantal sudah berserakan di lantai sedangkan Nadia, gadis kecil yang semalam menatapnya dengan tuduhan perusak otak anak kecil malah tertidur dengan nyaman diatas dadanya. Gibran mengacak puncak kepala nadia gemas. Dengan hati-hati ia memindahkan kepala gadis itu diatas bantal dan mengganti dirinya dengan guling yang ia ambil di lantai.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima subuh. Sebentar lagi adzan subuh berkumandang. Gibran masuk kamar mandi mandi untuk mandi dan berwudhu. Jam enam sebentar ia sudah harus berada di kantor mulai bertugas kembali.
Saat keluar, ia mendapati Nadia sudah terduduk dengan wajah bantalnya. Pelan menyesuaikan dengan sinar terang lampu yang ada di kamarnya.
"Om mau ke mesjid?" Tanyanya mengucek mata.
Gibran mengangguk. "Nad siap-siap solat." Laki-laki berbadan tegak dan kekar itu membuka lemari untuk mengambil baju koko dan sarung yang sengaja ia simpan di rumah besar. Nadia langsung mengalihkan wajahnya saat Gibran melorotkan handuknya begitu saja.
"Om gantian di kamar mandi dong. Gak tau malu bangat." Sungutnya mengipasi wajahnya yang tiba-tiba menghangat. Gara-gara kejadian kemarin sore nih dia jadi paranoid gak jelas begini.
Gibran bergeming. Ia mengedikkan bahu dan dengan sengaja berlama-lama tidak mengenakan bajunya untuk mengerjai Nadia.
"Pake bajunya cepeet kalik Om. Pamer mulu."
"Kamu kenapa sih, bawaannya sensi terus? Wudhu sana!"
Nadia memutar bola mata malas. Gak diri bangat si Om, kemarin udah ngerusakin otak aku, sekarang kayak gak ada dosa. Sebel. Ia menghentakkan kaki kesal masuk kamar mandi, sebelumnya Nadia menyempatkan diri meninju bahu Gibran yang sedang membelakanginya. Gibran hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kekanakan Nadia. Badannya boleh gadis, kelakukan tetap saja anak kecil.
.
.
"Om nggak ngantar Nad?"
"Tidak. Saya harus sudah di kantor jam enam." Gibran mengelus puncak kepala Nadia yang mengikutinya mengenakan seragam. Sepulang dari solat subuh, Gibran langsung sarapan dan bersiap-siap mengenakan seragam lengkapnya untuk ke kantor. Nadia yang tadinya sedang malas-malasan diatas ranjang setelah menyempatkan mengaji setengah lembar mengikuti setiap langkah Gibran yang sedang gantian.
"Tapi nanti Nad di jemput Om kan?" Tanyanya lagi.
"Gak bisa janji. Kita liat sebentar." Jawab Gibran sembari mengenakan baret birunya.
"Yah, kok gitu. Nad kan mau di jemput Om." Rengeknya menggoyang-goyangkan lengan Gibran.
Gibran melirik jam tangannya "Om berangkat. Jangan bawel."
"Tap--"
Cup.
"Assalamualaikum."
Nadia mengerjap. Ia memegang bibirnya yang baru saja dapat kecup basah dari Gibran. Saat tersadar, lelaki itu sudah keluar dari kamarnya.
Ck. dasar om-om genit. Nadia menangkup pipinya, senyum kecil malu-malu terbit di wajahnya.
"Astagaaaaa gue harus mandi. Panas panas panas." Nadia mengibaskan tangan di wajahnya dan seperti orang bodoh, ia tertawa terbahak masuk dalam kamar mandi. Fix, Nadia gila.
***
"Ngapain lu? Bengong mulu dari tadi." Aleksis menyenggol lengan Nadia yang sedang termenung memandang jauh ke arah lapangan basket.
"Gak apa-apa." Elak Nadia. Padahal sih aslinya ia sedang kepikiran Om nya. Dia penasaran maksimal, apa yang memotivasi Gibran sampai tiba-tiba jadi buas begitu. Masa karena uangnya dibelanjain? Pelit amat sih kalau sampe beneran.
"Itu bibit lo kenapa luka?"
"Ma--ma mana?" Nadia gelagapan, memegangi bibirnya. Iya lupa tadi memperhatikan bibirnya jejak Gibran kemarin. Gila bener lah Om nya itu, nyiumnya nafsu bangat sampe bibirnya cedera.
"Tuh, yang ujung." Aleksis menunjuk sudut bibir Nadia.
"Oh, sariawan." Ujarnya bohong. Tidak mungkin ia mengatakan pada Aleksis bahwa bibirnya luka karena di sosor Om Gibran. Nyari mati sih itu.
"Minum obat biar gak meluas." Ujar Aleksis tidak curiga sama sekali.
"Eeh iya." Jawab Nadia tergagap. Ya Ampun, baru ciuman doang deg-degan takut ketahuan kayak gini bangat sih.
"Padahal tadi gue pikir bekas ciuman--"
"Hah?"
"Tapi gak mungkin sih, Om lo kan masih di hutan."
"Ahh hahha bener." Nadia tertawa kering. Ia menghembuskan nafas pelan, mengusap keningnya yang tiba-tiba berkeringat. Kok gue jadi kayak maling gini ya, panik mulu.
***
Haueredang haueredang haueredang... panas panas panaaaaas....
Maafin akoooh yang gak bisa bikin adegan hawwwwt...
gua gak pahaaaaam
gua gak ngertiiiiiii
hiks.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Nurmila Karyadi
thor coba dh crtanya lbh dikembangakn lg klo gini mash stak ditempat g maju" crtanya..itu" ajah.
sorry loh.
2022-07-06
2
Putri Salsa Bila Jasmin
lucu sama nadia 😁😁😁
2022-04-24
1
Rhiedha Nasrowi
tuhh kan jadi ikut baper 😁😁😁
2022-04-14
1