Nadia menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Sesekali mengucek hidungnya yang gatal. Dalam kepalanya yang terlintas adalah menyate bu agus dan menghidangkannya untuk kucing-kucing jalanan yang tidak dapat makanan. Ujung lidahnya sudah lama gatal ingin mengeluarkan semua kosakata primitifnya jika seandainya pesan Gibran tidak datang menyelip seperti bisikan-bisikan malaikat untuk tetap menahan diri. Bagaimana ia tidak kesal kalau ternyata undangan kegiatan awal prakarya yang dimaksud adalah Ospek terselubung yang direncanakan atas hasil kerja otak jahil bu Agus yang sepertinya menyimpan dendan kesumat untuknya. Nadia yang katanya adalah ketua kelompok dari seluruh kelompok prakarya ternyata dijadikan tim tapis beras untuk acara makan-makan demi terciptanya ikatan hati diantara para ibu-ibu anggota. Uweeeek. Nadia rasanya ingin muntah mendengar kalimat manis itu saat keluar dari mulut bu agus sebagai penggagas acara.
Seharusnya sore ini ia sedang nonton di bioskop dengan tiga sahabatnya. Mereka sudah janjian untuk menebus kebersamaan mereka yang hilang saat party di The Narnia tapi lagi-lagi Nadia harus menelan kesal karena harus memenuhi salah satu kewajibannya sebagai istri seorang prajurit yakni ikut andil dalam kegiatan persit di lingkungan asrama.
"Dek Nadia, biar kami saja yang tapis berasnya, kasian Dek Nadia sejak tadi tidak berhenti bersin."
Nadia tersenyum kaku pada Tante Ketut yang juga sedang menepis beras bersamanya.
"Iya, Dek. Lagian Adek seharusnya sedang mengatur cemilan di depan bukannya malah tante agus." Timpal seorang lagi yang Nadia tebak sebagai tim nyinyir pihak lawan Bu Agus.
Nadia menyetujui dalam hati. Kalau sekarang mau bicara masalah pangkat suami, Nadia jelas adalah bos disini karena Gibran memiliki pangkat paling tinggi diantara suami ibu-ibu lainnya tapi sekarang yang sedang diberlakukan adalah statusnya sebagai anggota baru dalam perkumpulan. Ia yang belum lama menyandang status sebagai istri Kapten Gibran Al Fateh termasuk dalam barisan junior yang sedang di ospek oleh seniornya. Sangat menyebalkan. Bahkan tak di pungkiri diam-diam praktek senior junior berlaku dikalangan ibu-ibu berseragam hijau ini.
"Tidak apa-apa tante Ketut, tante Arya, hitung-hitung ini sebagai latihan untuk Dek Nadia mengurus rumah tangga. Iya kan, Dek?"
Nadia memutar bola mata sebal mendengar penuturan tante Agus yang muncul sudah seperti jaelangkung. Padahal sudah baik tante-tante beralis tebal sebelah itu mengurus di depan saja setidaknya Nadia hanya perlu bersabar menapis beras, tidak dengan meladeni mulut nyinyirnya.
"Setelah ini, Dek Nadia bisa kan membantu di depan? Bungkus-bungkusin cemilan untuk dibawa pulang ibu-ibu."
LAGI????? Nadia menghela nafas panjang. Kesabarannya benar-benar sedang di uji disini. Bisa-bisa badannya remuk, pekerjaan ini tidak ada habisnya. Nadia tak menyahut. Ia dengan sengaja menapis berat tinggi-tinggi sehingga debunya beterbangan kearah tante Agus yang resenya sudah level akut.
"Ops! Maaf tante, gak sengaja." Katanya pura-pura menyesal saat Tante beralis tebal sebelah itu menatapnya tajam. Dalam hati Nadia terbahak melihat rambut disanggul besar itu tampak berwarna putih karena debu beras.
"Ck. Hati-hati dong dek, kalau tidak ikhlas ya jangan dikerja."
"Ah ikhlas kok tante, Nadia ikhlas lahir batin." Ujar Nadia dengan senyum dibuat-buat. Ikhlas dari mananya, gak ada orang ikhlas kalau kerjaannya dipaksakan seperti ini. Ugh--kuku-kuku cantiknya, Nadia menatap gusar jemarinya yang bening kini penuh abu.
Nadia lengsung ke kamar mandi setelah menyelesaikan pekerjaannya menapis beras dua puluh liter bersama dua orang istri tentara lainnya. Rumah yang mereka pakai untuk persiapan adalah milik salah satu prajurit, modelnya sama persis dengan rumah asrama yang ia tinggali bersama Gibran, bedanya hanya pada jenis bangunannya. Kalau rumah asrama mereka sudah dibangun permanen semua sedangkan rumah yang ini masih semi permanen, setengah dinding tembok dan setengahnya lagi papan.
"Lho, Nad? Kamu disini, Nak?"
Nadia yang baru saja duduk bergabung dengan ibu-ibu lainnya membungkus cemilan tersenyum sopan pada Mama Elsa yang juga berada diantara mereka, hanya saja ibu ketua tentu tugasnya bukan membungkus tapi mengarahkan.
"Siap, Iya, Bu." Jawab Nadia sungkan. Bagaimanapun, disini Mama Elsa adalah Ibu ketua, lain cerita kalau di luar ini. Nadia tentu tidak akan berani memanggil Mama Elsa dengan panggilan diantara beberapa pasang mata yang diam-diam meliriknya.
"Jadi Nad sekarang di asrama atau di rumah besar?"
"Izin, di rumah besar, Bu."
"Oh gitu. Nad mainlah ke rumah. Nginap kalau bisa biar Elsa ada teman ngobrolnya."
Teman ngobrol Elsa? Nadia meringis. Apa yang bisa diobrolkan dengan Dokter cantik tapi nyebelin itu, ngobrolin Om Gibran? Yang benar aja lah Mama Elsa ini, bukannya ngobrol jatuhnya malah adu jontos. Nadia tentu bukan gadis baik-baik yang hanya akan diam saja kalau Dokter Elsa memulai konfrontasi.
"Siap, Insya Allah, Bu."
.
.
.
"Lo ngapain Nad?"
"Diem deh, San. Gue lagi menetralisir energi-energi jahat dalam tubuh gue."
"Ya kan nggak mesti diatas pohon juga tapanya. Lalai sedikit, nyunsep lu!"
Nadia membuka matanya perlahan. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan mengakhiri kegiatan yoga dadakannya.
"Gue lagi kesal, Sand. Keseeeeel bangat!" Nadia turun dari atas pohon yang ada di halaman belakang rumahnya pelan-pelan. Di bawah Sandra sudah menunggu dengan sekeranjang buah apel yang dipesan oleh Nadia. Cewek manis berambut sebahu itu menatap sahabatnya kasihan. Pagi tadi dirinya mendapat chat darurat dari Nadia yang mengabarkan dirinya tengah dalam masalah kecemasan dan kekesalan yang membahayakan. Sudah seminggu sejak suami Nadia sekaligus sang idola itu meninggalkan sahabatnya untuk latihan gabungan dan sudah seminggu juga setiap hari mereka harus mendengar ratapan Nadia mengenai perannya sebagai istri prajurit yang katanya sangat menguji keimanannya.
Sandra tidak tau pasti apa yang Nadia maksud dengan kelompok prakarya tapi yang jelas, kegiatannya itu lah yang membuat sahabatnya itu sering tertidur dalam kelas karena begadang semalaman belajar membuat berbagai jenis keterampilan. Tangannya bahkan sudah melepuh karena tetesan lem lilin yang keseringan digunakannya. Belum lagi Nadia tak jarang mendapat hukuman di sekolah karena ketahuan oleh guru tertidur saat jam pelajaran.
"Apa gue ngundurin diri aja ya dari keanggotaan? Bisa gila gue lama-lama ngadepin ibu-ibu modelan Bu Agus tiap ada pertemuan."
"Lah, mana bisa sayaaaaaaang. Kecuali Om Gi ngundurin diri jadi tentara baru tuh lo lepas dari keanggotaan." Ujar Sandra mengikuti langkah Nadia masuk ke dalam rumah.
"Tapi gue capek, San? Lu bayangin dong, gue benerin kancing baju aja gak tau, lah sekarang di suruh ngajarin orang lain ngerangkai bunga dari barang bekas. Namanya aja barang bekas, gue jijai lah megangnya." Keluh Nadia, menjatuhkan diri diatas sofa panjang di ruang keluarga.
"Ya lo bilang aja gak bisa. Jujur sama ibu-ibu lain."
"Udah bahkan hampir setiap ada kesempatan gue ngomong tapi kata mereka 'Dek Nadia, tidak ada yang tidak bisa kita kerjain kalau ada niat dan kemauan untuk mencoba' Anj*r gak tuh? Gue gak ada niat sama sekali apalagi kemauan kuat, gak ada gue." Ocehnya melampiaskan semua beban di hatinya.
"Betewe Gendis dan Aleksis mana? Kok lo doang?" Tanya Nadia saat menyadari keabsenan dua sahabatnya.
"Gendis ada acara keluarga yang gak bisa ditinggal. Kalau Si Aleksis lagi di paksa Maminya belajar masak. Makanya grup chat faedahnya buat tau berita bu, nah eluu, hp canggih cuma ngisi laci doang." Omel Sandra.
Nadia memberenggut "Malas gue liat hp. Bawaannya pen banting tuh barang. Nggak ada gunannya gue bawa-bawa, Om Gibran gak ada ngehubungin."
"Serius lu? Seminggu ini?"
Nadia mengangguk. Selain beban mental kegiatan persit, Nadia juga dibuat pusing oleh Gibran yang tak ada mengirim kabar sama sekali.
"Udah di telen ular kali tu Om-om!" Gumamnya sadis.
"Jangan sembarang lu kalo ngomong. Mau lu jadi janda kembang? Masih untung ada Om Gibran yang mau jadiin lu istri, kalau enggak, dah lah si jeremi doang yang mau sama cewek modelan lu." Sandra tertawa kencang saat Nadia memukulnya dengan sendal bulu-bulu.
"Ini apaan" Sandra yang sudah berhasil meredam tawanya menujuk dos besar yang ada di ruangan tersebut.
"Pekerjaan rumah."
"Pekerjaan rumah? Perasaan gak ada tugas deh dari sekolah."
"Emang iya. Itu barang-barang bekas yang gue maksud. Arg! kayaknya bentar lagi gue pindah ke RSJ deh, stres gue lama-lama kayak gini." Nadia menghentak-hentakkan kakinya kesal.
Sandra yang duduk disampingnya hanya bisa mengelus bahu Nadia, menenangkan sahabatnya itu.
"Udah jangan dipikirin lagi. Mending sekarang kita nyalon biar stres lu hilang. Gue bayarin."
Nadia menatap Sandra tak percaya "Serius lu? Dapat duit dari mana lu? Lu opet apa ngepet?"
Sandra mendelik sebal "Enak aja lu ngomong. Dari papi gue dong. Doi lagi bahagia bangat dapat kabar mami hamil lagi." Sandra menaik turunkan alisnya.
"Mami lu hamil? Lah masih bisa?" Nadia duduk menghadap Sandra dengan serius. Berita viral nih, Mami sandra yang terkenal sosialita takut gendut sekarang malah hamil. Wow, jago juga papi Sandra.
"Masih lah. Mami gue masih muda gitu. Si papi tuh yang udah nunggu selama enam belas tahun senang bangat akhirnya ngebobolin mami lagi."
"Lu gak apa-apa punya adek bayi?"
"Gak apa-apalah supaya over protektif papi pindah ke baby dan gue bebas merdeka." Sandra berseru senang.
"Iya juga sih. Pasti seru tuh ada yang dimainin dalam rumah." Ucap Nadia ikut merasakan euforia kebahagian dari kabar bahagia dari keluarga Sandra.
"Betewe lu kok belum hamil-- AWW SAKEEEET GILAAAA!! Lepasin rambut gue!"
"Lu ngomong hamil sekali lagi, gue botakin lu!" Nadia melepaskan tangannya dari sejumput rambut Sandra.
Sandra meringis memegangi rambutnya pendeknya yang ditarik Nadia tanpa perasaan. Benar-benar ya punya sohib kok bar-barnya ampun-ampunan. Baru juga nyebut hamil sudah kayak ular diinjak ekornya.
"Lo kan punya suami, Lah kenapa emang kalo hamil? Udah halal, tenang aja." Sandra sepertinya tidak kapok rambutnya ditarik Nadia. Mulutnya masih juga menyebut kata terlarang itu di depan Nadia yang wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.
"Gue masih sekolah,Mana boleh hamil." Nadia melipat tangannya di dada dengan wajah tak bisa dikondisikan lagi. Malu, kesal, gemes dan Kalau bahas-bahas hamil gini, otak kotornya auto mengingat Om Gibran yang Hawwwwt bangat itu, dadanya yang bidang, perutnya yang kotak-kotak, ototnya yang gelondotanable dan Astaga Nadia, tidak tidak tidaaaak. Jangan mikir kotor, jangan mikir kotor. Ugh, si*lan si Sandra pake bahas hamil-hamil lagi. Nadia menepuk-nepuk pipinya yang tiba-tiba hangat.
"Hayooo mikir kotor kan lu? Ngaku lu! Gue aduin Om Gibran m*mpus lu dihamilin."
"Hanjiiiir mulut lo sandraaaaa!" Nadia berteriak menutup kuping.
"Alah lu udah nikah otak jangan dibiarin bersih. Ntar gue bawain koleksi DVD kakak sepupu gue biar lo bisa belajar caranya nyenengin Om lo."
"Sumpah ya punya sahabat isi otaknya kotoran semua. Balik lu sana, berendam air ruqyah." Nadia beranjak dari ruang tengah dengan langkah menghentak kesal, kedua tangan menutup telinganya rapat. Di tempatnya Sandra terbahak puas mengerjai sahabatnya.
"NAD! WOEEEE! JADI NYALON GAK? BIAR KULIT LO MULUUUS LEMBUUUT, OM GIBRAN MANTEEP JUGA NGELUSNYA!!!"
Nadia yang berhenti di anak tangga pertama melempar sendalnya kearah Sandra "PULANG LU SETAAAAAAN!!!"
***
Jadi guys, di episode ini om gibran gak muncul. Orangnya lagi di hutan, main sama monyet. Siapa tau bisa bawa pulang buat Nad, teman nyari kutu merekaaaa. Hihihiii
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Sandisalbiah
glendotanable ya.. 😅😅
2023-09-03
2
Naura Sabrina
aku malam2 ngakak baca n8h novel auto sendal jepit mas bojo mendarat dngan bebas tampa hambatan d kepala😅😅😢😭😭😭😭
2023-03-07
1
Riska Rizkiyani
baru nemu😁😁😁
syuka sekaleeeeee
2022-11-28
1