"Tiga putaran lagi!"
Nadia menatap Gibran dengan tatapan siap menguliti lelaki berbaju kaos hijau itu yang sekarang tengah santai duduk di pinggiran lapangan dengan sebotol minuman dingin di tangannya. Nadia bahkan dari jauh bisa melihat embun di botol tersebut saking segarnya. Sayangnya ia hanya bisa meneguk air liur menahan haus pasalnya ia sedang di hukum mengelilingi lapangan seluas lapangan bola sebanyak sepuluh putaran oleh pria yang mengaku dirinya sebagai suami yang baik, si lelaki baik-baik. Sungguh, jika Nadia memiliki sihir, hal pertama yang akan ia lakukan adalah mengubah Gibran menjadi kutu agar mudah dimusnahkan.
"Oooom, udahan dooong. Nad capek. Mau mati rasanya."
"Lanjut Nad. Dua putaran lagi! CEPAT!"
Nadia memberenggut kesal tapi tak punya keberanian untuk melawan. Sudah untung Gibran menghukumnya lari keliling lapangan bukannya berendam di kolam asrama bersama lintah dan cacing-cacing yang ia bayangkan saja sudah sangat menggelikan.
Dari kejauhan Gibran terus memperhatikan Nadia. Anak itu sudah membuatnya khawatir semalam. Kalau dia kenapa-kenapa diluar, apa yang harus ia katakan pada orangtua gadis itu kelak. Ia sudah berjanji akan menjaga Nadia seumur hidupnya, hal mudah jika saja Nadia tidak berulah, hidup dengan cara yang lurus sebagai gadis patuh tapi dari segi manapun, Nadia hanya luarnya yang tampak lemah lembut, dalamnya, gadis itu adalah pemberontak.
"Udaahh hah hah hahh--" Nadia menarik nafas ngos-ngosan setelah menyelesaikan sepuluh putaran yang menyiksa. Ia menjatuhkan badannya di dekat Gibran, telentang tanpa menghiraukan sekitarnya. Gibran melirik gadis itu lantas berdecak.
"Minum!" Gibran melempar botol mineral yang langsung ditangkap Nadia. Pemberotak kecil yang suka sekali mencari masalah dengannya. Gibran melepas kaosnya sendiri dan melemparnya menutupi wajah Nadia.
"Ck. Apaan sih om iseng banget?!"
"BH kamu kelihatan." Ujar Gibran tanpa memandang Nadia.
Anjiiiir BH--Gak ada filter tuh mulut. Batin Nadia keki.
Nadia menunduk, meringis saat melihat kaos putihnya mencetak jelas dalamannya yang berwarna hitam.
Nadia mendengus pelan kemudian tanpa pikir panjang memakai kaos hijau Gibran yang wanginya sangat menyenangkan. Bisa ya orang keringetan wangi gini. Nadia mengendus kaos Gibran yang membalut tubuh kecilnya.
"Wowwwwww!!!"
"Ck. Ngapain sih?" Gibran menepis tangan lentik Nadia yang berani mengelus permukaan perutnya. Nadia mendongak menatap Gibran berbinar kagum dengan tetap memaksakan tangannya menyentuh delapan kotak yang mencetak di perut Gibran.
"Om punya juga? Keras banget anjiiir." Tak peduli sorot tak enak dari wajah Gibran, gadis itu malah menikmati saat jari-jarinya menyusuri bongkahan-bongkahan roti sobek milik Omnya. Dibanding oppa-oppa yang kemarin diliatnya, Om Gibrannya ternyata punya yang lebih keren.
"Udah Nad." Gibran menahan tangan nadia, meremas pelan tangan gadis itu dengan tangan besarnya.
Nadia berdecak, Gibran selalu saja tidak membiarkannya merasa senang lama-lama. Padahal kan kapan lagi bisa nikmatin pemandangan indah ini. Sandra pasti kejang-kejang kalau melihat hal ini, Nadia tiba-tiba punya ide mau menjadikan ini bisnis yang menguntungkan. Foto roti sobek Om Gibrannya pasti laku keras di pasaran. Ide cemerlang.
"Ngapain senyum-senyum? Pulang sana!"
"Barengan dong, Om. Kan datengnya juga bareng."
"Saya masih mau disini. Nad liat jalan pulang kan? Tuh, lurus saja di pertigaan belok kanan." Jelas Gibran sembari melakukan push up membuat Nadia menahan nafas melihat otot-otot liat nan kuat milik Gibran. Pantas sih Si tante Elsa gamon, Om Gibran memang dari segi fisik gak kalah sama artis-artis luar sana. Ototnya itu loh, pen bangat Nad gelantungan.
"Kamu ngapain masih disini?"
"Nungguin Om lah."
"Ck. Udah sore."
"Emang."
Nadia yang semula sudah berdiri, langsung menjatuhkan pantatnya diatas punggung Gibran. Membuat laki-laki itu terhenyak jatuh diatas rumput dengan Nadia duduk diatas punggungnya.
"Berdiri Nad!"
"No. Om Push up lagi dong, Nad mau liat cara kerja otot Om." Ujar Nadia dengan senyum lebarnya.
Gibran menghela nafas pendek lalu kembali push up dengan beban Nadia di punggungnya. Lima kali push up, Gibran langsung berdiri membuat Nadia terjerembap.
"Om! Bilang-bilang dong kalau mau berdiri. Nad Jatoh nih. Sakit." Nadia mengelus pantatnya yang baru saja mendarat sempurna diatas rumput.
"Ayo pulang." Gibran mengambil botol minumannya lalu beranjak dari tempat tersebut mengabaikan Nadia yang bersungut dibelakangnya.
"Tungguin!" Nadia berlari kecil mengejar Gibran yang sudah jalan duluan. Langkah lebar dan gesit Gibran membuat Nadia harus berlari-lari kecil agar tak tertinggal dibelakang.
"Om tunggu!" Nadia memegang jari kelingking Gibran saat ia sudah berhasil mengejar laki-laki itu. Keduanya berjalan beriringan dengan Nadia yang bergelayut manja pada Gibran. Gadis itu sesekali iseng mencubit kecil cetakkan di perut Gibran hingga laki-laki itu akhirnya menyelipkan jari-jarinya disela jari-jari kecil Nadia agar berhenti berulah.
Keduanya berjalan dengan keisengan Nadia yang tak ada habisnya. Gibran sampai jengah dibuatnya, gadis kecil itu seakan tidak kehabisan cara untuk menjahilinya. Setelah iseng dengan perut kotaknya, Kini dada telanjangnya yang menjadi sasaran. Tangan kiri Nadia yang bebas sesekali mencuri kesempatan untuk menusuk-nusuk dada bidang Gibran dengan telunjuknya, tidak masalah bagi Gibran jika melakukan semua itu dalam rumah mereka, masalahnya adalah Nadia tak peduli situasi bahkan saat Gibran bertegur sapa dengan rekannya atau juniornya yang juga sedang berolahraga, Nadia tidak berhenti melakukan keisengannya setiap kali Gibran lengah.
"Selamat sore, Om Gibran, Dek Nadia. Olahraga juga?"
Nadia memutar bola mata sebal. Ibu Agus lagi. Dimana-mana ada Ibu agus, Nadia jadi curiga tetangganya itu punya alat pelacak untuk menemukan posisinya dan Gibran. Sudah kayak Iklan sedot WC ada dimana-mana.
"Iya, Bu." Gibran yang si ramah, menjawab dengan senyum santunnya. Sementara disampingnya Nadia hanya berdiri memasang wajah papan.
"Wah, pantas ya Om Gibran kelihatan sehat sekali, ternyata rajin olahraga."
Hei! Nadia langsung memasang waspada. Apa tuh maksudnya ibu-ibu? Nadia melirik tajam Bu Agus yang terlihat menikmati pemandangan di depannya, badan seksi Om Gibrannya.
Ck. Tidak bisa dibiarkan.
Nadia melepas tautan jemari Gibran lalu berdiri didepan lelaki itu dengan dua tangan melipat di dadanya. Ia menempatkan Gibran di belakangnya walaupun sebenarnya percuma karena tinggi Nadia yang hanya 150 koma sekian sekian sentimeter jelas tidak bisa membantu menghalangi Gibran yang memiliki tinggi menjulang.
"Ah, iya dong tante. Kan kesehatan adalah poin penting bagi seorang tentara. Bagaimana mau menjaga negara kalau menjaga badan dari lemak-lemak jahat aja tidak bisa. Ia kan tante?" Nadia memasang senyum paling lebar sementara tetangga yang di depannya itu langsung tertohok karena sosok Pak Agus adalah bapak tentara yang perutnya membuncit saingan dengan ibu-ibu yang hamil sembilan bulan.
"Dek Nadia menyindir suami saya?"
IYA.
"Ah tidak dong tante. Jangan salah paham. Saya sebagai tetangga yang baik hanya berbagi sedikit informasi tentang kesehatan. Supaya kita sama-sama sehat, gitu lho." Nadia dan lidahnya yang lincah. Siapa yang bisa melawan si kecil ini, kosakatanya seolah dibumbui dengan saos cabai sepuluh kilo yang menyebabkan pendengar yang ditujunya merasa terbakar.
"Maaf, Bu Agus. Sudah sore, kami lanjut pulang." Gibran yang sudah melihat tanda-tanda perang kata-kata lantas menarik Nadia untuk kembali berdiri disisi kirinya.
Bu Agus yang semula ingin membalas langsung tersenyum lembut saat Gibran tersenyum padanya. Nadia yang masih tak senang dengan tatapan tidak sopan Bu Agus pada Gibran lalu tanpa pikir panjang memeluk Gibran dari depan, memasang tampang paling imutnya.
"Ooooom gendoooong. Kaki Nad pegeeeel." Nadia mengerjapkan matanya lucu sementara Gibran, jangam tanyakan bagaimana muka laki-laki itu yang pasti Nadia bersumpah ini terakhir kalinya ia berbuat senekad ini.
"Nad, apa-apaan sih? Malu-maluin." Gibran berbisik tajam namun kepalang tanggung, Nadia tak akan mempermalukan dirinya di depan Bu Agus dengan penolakan Gibran.
"Kaki Nad Pegel, Om. Gak bisa jalan." Nadia mengalungkan tangannya dileher Gibran, mengabaikan tatapan Bu Agus yang tampak syok melihat dua sejoli di depannya.
"Kalau Om nolak, Nad em*t pent*l om sekarang. Di depan Tante Agus." Ancam Nadia dalam posisi menempel dengan wajah tepat di dada Gibran. Cukup insiden pizza di hadapan Elsa, Nad tidak akan di permalukan lagi terlebih di depan tetangga nyinyirnya.
Gibran menggeram dalam hati. Nadia benar-benar menguji kesabarannya. Ia tidak akan membiarkan anak kecil ini lolos dengan mudah. Tanpa menunggu lama, Gibran langsung mengangkat gadis itu, dalam gendongannya. Senyum kemenangan langsung terbit di wajah Nadia, ia mengaitkan kedua kakinya mengelilingi punggu Gibran sedangkan kedua tangannya ia lilitkan dileher Gibran. Dengan begini, tak ada seorangpun yang bisa melihat badan Omnya. Nadia menempelkan badannya seperti lintah, kepalanya menyeruak dibalik bahu Gibran.
"Ayo pulang" Nadia berucap semanja mungkin. " Kami duluan ya tante." Ujarnya dengan senyum lebarnya melambaikan tangan pada tetangganya yang menatapnya dengan bola mata siap keluar dari kelopaknya.
"Permisi bu Agus." Ujar Gibran menahan dirinya untuk tidak membanting tubuh Nadia sekarang juga.
.
.
"Yeeee sampe deh!" Nadia bersorak saat keduanya sudah berada di depan rumah. Nadia melepaskan kedua tangannya dari leher Gibran, ia juga melepaskan kaitan kakinya di punggung Gibran siap turun tapi ternyata Kedua lengan kekar Gibran menahannya.
"Om, Nad mau turun" Katanya saat tak berhasil meloloskan diri.
"Bukannya Nad mau di gendong sama Om? Kakinya kan pegal." Ucap Gibran dengan nada dibuat semanis mungkin. Nadia langsung pias, nada suara Gibran yang semanis madu itu adalah pertanda buruk untuknya.
"Ampun Om. Jangan apa-apain Nad." Nadia menangkupkan kedua tangannya memohon pengampunan. Perasaan ngeri itu bahkan menjalari punggungnya saat tangan Gibran mengelus-elus punggungnya.
"Om tidak akan macam-macam kok sayaaaang." Gibran berjalan masuk ke dalam rumah. Pintu bahkan di tutup hanya dengan satu tendangan membuat Nadia semakin panik. Entah apa yang akan dilakukan Gibran padanya yang pasti bukan hal baik untuk dipikirkan.
"Om Mau ngapain Nad?" Nadia di turunkan diatas tempat tidur. Gadis itu beringsut mundur saat melihat tatapan dingin yang menakutkan dari Gibran.
"Lepas kaos kamu!" Titahnya dengan kedua tangan berkacak di pinggangnya. Mata elangnya tak putus menatap Nadia.
"Om mau apa?" Bukannya melepas kaosnya, Nadia malah merapatkan kaos milik Gibran itu di badannya. Ia memang mempermainkan Gibran tadi tapi ia tak benar-benar akan melakukannya kalaupun Gibran menolak permintaannya. Nadia masih punya malu, masih memiliki harga dirinya sebagai gadis baik-baik, putri Bunda dan Ayahnya.
"Buka!" Gibran membentak.
Airmata Nadia mulai mengalir dipipinya. Ia belum pernah melihat Gibran semurka ini. Ia hanya bercanda tapi kenapa Gibran begitu serius menanggapinya.
"Jangan Om. Nad gak mau." Tolaknya semakin merapatkan badannya dikepala ranjang.
Gibran mendengus lalu secepat kilat menarik tangan Nadia hingga terjatuh kearahnya. Gibran lalu memaksa melepas kaos Nadia walaupun gadis itu memberontak melakulan perlawanan. Kaos milik Gibran terlepas.
Nadia semakin panik melihat keseriusan Gibran melepaskan pakaian di badannya. Ia tidak memikirkan sebelumnya tapi apakah dirinya sudah sangat keterlaluan tadi sampai membuat Gibran menjadi mengerikan seperti ini?
"Om please. Jangan. Nadia minta ampun om, maafin Nad. Nad gak akan gitu lagi. Janji." Nadia mengiba dalam kuasa Gibran yang masih berusaha melepas satu lapis bajunya lagi. Dan kaos putihnyapun lepas menyisakan dalaman atasnya yang berwarna hitam kontras dengan kulit putih porselinnya. Nadia memeluk tubuhnya sendiri setelah Gibran mendorongnya kembali jatuh diatas ranjang. Lelaki itu masih tetap diam, menyorot tajam Nadia yang sudah half-n*ked.
"Ooom Ampuni Nadia. Nad jangan diapa-apain. Nad malu ooom." Nadia mengiba. Memeluk tubuhnya dengan kepala menunduk dalam. Airmata dipipinya mengalir dengan deras.
"Malu? Nad Malu? Bukannya kamu sudah tidak punya malu?" Gibran meraih dagu Nadia agar mendongak. Ia bisa melihat wajah gadis itu yang penuh airmata tapi melepaskan Nadia sekarang bukan rencananya. Gadis ini harus diberi sedikit pelajaran agar menyadari kekeliruannya dan tidak mengulanginya lagi.
"Maafin Nadia. Nadia janji tidak akan seperti ini lagi. Tolong maafin Nadia Om." Nadia memohon disela tangisnya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan siapapun tapi ditatap seorang laki-laki meskipun itu adalah Om Gibran, suaminya, dalam keadaan seperti ini sangat membuatnya terpukul dan malu.
"Bangun!"
Nadia menggeleng. Lantas Gibran menarik tangannya dan membawanya dalam gendongan. Nadia tak memberontak sebab kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi badannya. Ia hanya bisa menangis, menunggu vonis apa yang akan di jatuhkan Gibran padanya.
Nadia terbelalak saat Gibran membawanya melewati ruang tengah, ke dapur dan membuka pintu dapur yang langsung menyajikan pemandangan aliran air berwarna hijau pekat dibelakang rumah, kolam asrama.
"Om, om gak serius kan mau lakuin ini?" Nadia bertanya panik. Ia tak lagi memperdulikan keadaan tubuhnya, kedua tangannya kini mengait kuat leher Gibran tak mau lepas.
"Ini pelajaran untuk Nad hari ini." Ucap Gibran dengan senyum tipis yang mengerikan.
"Gak mau! Om Please, jangan om. Nad minta maaf. Nad gak--- Kyaaaaaa!!!!"
BYUUUUUUUURRRRR!!!!
"lima menit." Ucap Gibran dengan wajah super kakunya menonton Nadia yang mulai hujatannya untuk Gibran.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Sri Suhartini
Gak gtu dong cara mendidik nya.. Walau tentara .
2023-04-29
2
Sri Suhartini
Gak suka karakter gibran sadis banget sama nadia... Sikap nadia masih wajar dong.... Gibran berlebihan sikap nya.
2023-04-29
1
alfanovfa
ingat Bu Agus, ingat ayam warna warni 😂
2023-02-04
1