"Nad, tolong ambilin garam di lemari atas." Pinta Gibran yang tengah mengaduk soup ayam. Nadia yang sedang duduk diatas pantry sambil makan buah apel hanya menjadi penonton dan tim icip-icip tiap kali Gibran masuk dapur.
"Ambil sendiri. Nad sibuk." Jawabnya mengangkat kakinya diatas kaki lainnya. Gadis yang baru saja berendam dalam kolam asrama itu bahkan belum berpakaian setelah mandi dengan air bersih.
"Malam ini mau puasa?" Tanya Gibran sarkas menatap datar Nadia yang terlihat tak peduli dengan ucapan Gibran. Kalau sudah mode ngambek, Nadia berubah seratus kali lebih menyebalkan dari biasanya.
"Gak dong. Kan mau makan soup ayam." Jawabnya santai.
"Makan hanya untuk orang yang bekerja." Gibran kembali mengaduk soup sembari mengecilkan api.
"Hanya berlaku untuk rakyat jelata, bukan Nad."
Gibran tersenyum tipis, menganggukkan kepala seolah menyetujui ucapan Nadia.
"Kalau ada yang kelaparan malam ini. Saya akan kunci di kamar mandi." Katanya santai. Ia melipat tangan di dada menantang gadis kecil si keras kepala.
Nadia memanyunkan bibirnya. Ia kalah, selalu kalah. Dengan kesal ia melompat turun dari pantry lalu membuka lemari untuk mengambil garam yang diminta Gibran.
"Nih!" Ujarnya meletakkan kasar sebungkus garam di telapak tangan Gibran.
"Terima kasih Nadia." Gibran menepuk-nepuk pipi Nadia sedikit keras yang ditepis gadis kecil itu dengan kasar.
"Cepetaaan, Nad laper!" Ucapnya ketus, sembari menghentakkan kaki kesal, kembali ke tempat duduknya semula.
Gibran tak begitu memperdulikan sikap nadia yang terbilang kasar padanya karena itu lebih baik bagi Gibran dibandingkan Nadia mendiamkannya seperti awal pertemuan mereka pasca kecelakaan yang menimpa kedua orangtua gadis itu. Saat pertama menemui Nadia, Gibran sampai hampir berputus asa mengajak Nadia bicara karena selama seminggu bersamanya, Nadia tak sekalipun mengeluarkan sepatah atau dua patah kata. Di siang hari ia hanya diam memandang keluar jendela, sedangkan di malam hari Nadia akan menutup diri dengan selimut. Nadia hanya mau makan itupun disuapi oleh Mbak. Suara pertama yang keluar dari mulut Nadia adalah saat Gibran bersiap untuk kembali ke asrama dengan seragam lengkapnya hendak berpamitan namun gadis itu malah menangis histeris meminta ikut. Sepanjang hari itu Nadia terus menangis minta ikut, mengulang-ulang kata yang sama dan menurut dokter yang menangani traumanya, Nadia merasa keadaan itu sama persis saat kedua orangtuanya pamit mengantarkan Gibran.
"Awas!" Gibran mendorong pelan bahu Nadia yang menghalanginya mengambil piring.
"Permisi kek, apa kek." Nadia melayangkan kakinya kearah Gibran namun langsung di tangkap oleh laki-laki itu. Gibran tersenyum penuh kemenangan, menaikkan satu alisnya mengejek Nadia.
Nadia yang merasa kesal lalu melayangkan satu kakinya lagi yang kemudian membuat paha putihnya terekspos.
"Pake baju!" Ujar Gibran memperbaiki posisi bathrobe Nadia yang tersingkap yang menampakkan paha mulus gadis remaja itu. Gibran menggelengkan kepala heran, baru beberapa jam lalu Gadis di depannya ini menangis sesunggukkan gara-gara Gibran melepas pakaiannya tapi sekarang dia sendiri yang dengan santainya tidak berpakaian layak di depan Gibran. Abg Labil.
"Entaran Om, habis makan."
"Ganti baju atau tidak ada makan malam untuk kamu."
"Ugh! Apa-apa main ngancem. Dasar Om-om Tua." Nadia melompat dari tempatnya namun kali ini tidak mendarat diatas lantai melainkan langsung gelantungan di punggung Gibran. Sungguh ujian berat bagi Gibran, badan sintal itu begitu terasa menyentuh indra perabanya meskipun dilapisi oleh bathrobe gadis itu tapi bagian-bagian menonjol dari anatomi Nadia bisa ia rasakan, menguji imannya sebagai laki-laki beradab yang hanya setipis kulit bawang jika saja gadis ini tau.
"Tur--Auch!!!"
"Haha rasain tuh gigitan Nad! Weeeek!!!" Nadia berlari masuk ke dalam kamar setelah menancapkan giginya di bahu Gibran yang hanya memakai baju singlet hitam.
.
.
.
"Sa---tu... du---a ULANGI!"
"Om ngitungnya yang bener dong, masa satu aja lama banget gitu." Protes Nadia pada laki-laki yang tengah berbaring santai di depan tv yang matanya tertuju pada dirinya yang tengah melakukan squat jump.
Akibat dari ulahnya menggigit Gibran, Nadia harus menerima hukuman squat jump sepuluh kali dari Gibran. Bukan hal besar bagi Nadia yang bisa dibilang terbiasa melakoni hukuman itu sejak mendapat pengasuhan Gibran hanya saja yang membuat dia kesal adalah cara hitung Gibran yang sengaja melama-lamakannya. Kalau bukan karena soup ayam yang terhidang di atas meja, ia tidak akan mau melakukan hukuman menyebalkan ini tapi cacing-cacing di perutnya perlu diselamatkan dari kepunahan.
"Itu udah bener. Ulangi!"
Nadia rasa-rasanya ingin melempar remot tv di kepala Omnya itu. Benar-benar tidak punya hati, coba saja Nadia punya keberanian lebih, udah habis om-om tua itu di tangannya.
Nadia mengulangi kembali dari hitungan satu namun kali ini Gibran benar-benar menghitung dengan durasi waktu yang tepat. Sudah cukup hukuman untuk si kecil malam ini.
"Udah kan? Nad laper, mau makan." Nadia segera mengambil mangkok soupnya setelah menyelesaikan hukumannya lalu duduk melantai di depan tv. Sementara Gibran melanjutkan acara santainya menonton acara dunia dalam berita yang di tayangkan salah satu stasiun tv.
Tok tok tok.
"Assalamualaikum."
Gibran dan Nadia saling melirik saat mendengar suara seseorang mengucapkan salam.
"Assalamualaikum, kapten."
Gibran segera bangun lalu mengambil kaosnya di dalam kamar saat mendengar suara para pria bersahutan diluar rumah.
"Pakai!" Gibran melemparkan salah satu sweaternya pada Nadia yang saat itu hanya memakai baju tipis bertali spageti.
"Waalaikumsalam." Gibran segera membuka pintu setelah memastikan Nadia sudah memakai sweaternya dengan benar.
"Eh, bro! Masuk. Tumben rame-rame?" Gibran membuka pintu rumah lebar-lebar dan mempersilahkan tiga orang rekannya masuk.
"Wetssss penganten baruuu. Seger bener kapten kita." Ujar Pria berbadan besar bernama Dewa.
"Bisa aja." Gibran terkekeh.
"Jadi gimana? Ibu ada?" Gio yang tadi mengucap salam melirik arah ruang tengah dimana suara tv terdengar.
"Ada. Masih makan." Ucap Gibran mengulas senyum tipis.
"Dengar-dengar, masih SMA ya bang?" Tanya seorang lagi yang berkepala plontos, kentara sekali masih baru, namanya jonathan, tapi lebih sering di panggil jojon.
Gibran mengangguk mengiyakan.
"Serius lu?" Timpal Dewa tak percaya.
"Iya, anaknya Almarhum bang Randi." Jelas Gibran dengan suara rendah.
Dewa dan Gio mengangguk paham. Sementara jonathan hanya diam sebab ia tak tahu ada apa dibalik semua itu.
"Jadi benar berita itu? Soal wasiat?" Gio bertanya untuk memastikan benar tidaknya berita simpang siur dikalangan mereka mengenai pernikahan fenomenal sang kapten kesayangan para petinggi dengan seorang gadis SMA. Belum lagi merebak kabar bahwa gagalnya hubungan Gibran dan Dokter Elsa putri semata wayang Komandan mereka karena gibran di jebak oleh seorang Gadis muda.
"Itu semua keinginan saya sendiri, tidak ada wasiat yang seperti itu." Ungkap Gibran dengan wajah tenang.
Wajar saja mereka khawatir karena bagaimanapun bagi Gio dan Dewa, Gibran bukan semata-mata kapten yang mereka segani tetapi juga sahabat seperjuangan yang sudah bersama mereka bertahun-tahun. Sementara Jonathan, sebagai junior yang sering mendapat 'kasih sayang' berlimpah dari couch nya itu selama menempuh pendidikan militer, Gibran adalah sosok yang sangat dikagumi dan diidolakannya.
"Syukurlah. Hubungan dengan dokter Elsa baik-baik saja?"
"Yap, seperti biasa. Nothing special. Eh, kalian mau minum apa? Hanya ada kopi dan air putih sih di belakang." Gibran sebagai tuan rumah yang baik menawarkan tamunya minuman.
"Air putih saja, bang. Jangan repot-repot." Ujar Jonathan sungkan.
"Lu yang bikin kopinya, Jon." Ujar Dewa pada juniornya itu.
"Eh, gak bisa. Kapten sekarang bukan bujang lapuk Lagi. Gak boleh seenaknya masuk di dalam sekarang. Betul apa betul, kapt?"
Gibran terkekeh "Sebentar, biar saya ambilkan."
"Maaf, bang, merepotkan." Ujar Jonathan pihak yang paling tak enakan diantara mereka .
"Santai aja, Jon." Ucap Gibran sebelum meninggalkan ketiganya untuk mengambil minuman.
Gibran masuk di dapur dan di kagetkan dengan keberadaan Nadia berdiri di pintu dapur dengan wajah tertekuk memegang gelas kosong di tangannya.
"Ngapain?"
"Mau nyusu tapi abis susunya." Adunya mengikuti langkah gibran yang sedang mengeluarkan tiga botol minuman mineral dari dalam kulkas.
"Susu kotak sudah habis?"
Nadia mengangguk.
Gibran menarik nafas pelan, tak tega melihat tampang nelangsa gadis itu yang kehabisan minuman kesukaannya.
"Nanti saya belikan. Tapi sekarang Nad pakai celana yang panjangan, teman-teman saya mau kenalan." Ujarnya menepuk lembut kepala Nadia.
"Janji?" Nadia mengulurkan jari kelingkingnya.
"Janji." Ucap Gibran menautkan jari kelingkingannya dengan jari mungil Nadia. Nadia mengangguk semangat lalu berlari ke dalam kamar untuk memakai celana yang panjangan dikit sesuai perintah Omnya. Padahal menurut Nadia, sweater Omnya saja sudah cukup menutup lututnya dengan sempurna.
"Air putih sesuai pesanan." Ucap Gibran meletakkan empat botol mineral diatas meja.
"Ck Si*lan, Air putih beneran." Keluh Dewa yang disambut tawa ketiganya.
"Syukurin, Dew. Kalau di gurun air modelan ini adalah barang mahal. Disini lu dapat gratis." Sambut Gio.
"Beneran separah itu bang?" Jonathan yang sedang berjuang untuk tes sebagai utusan PBB di timur tengah bertanya antusias.
"Iya, Jo. Air putih adalah barang langka di tempat seperti itu. Jadi harus kuat mental kalau kamu lolos ke Lebanon." Ujar Gibran sembari membuka kemasan minumannya. Jonathan mengangguk paham, nasihat yang sangat penting dari seorang legend.
"Eh, Istri lu mana? Kita mau kenalan." Dewa yang paling semangat ingin melihat istri dari kaptennya itu memotong.
"Ada. Nad?!" Panggil Gibran.
Nadia yang mendengar namanya dipanggil bergegas ke depan.
"Iya, Om." Nadia berdiri di samping Gibran dengan senyum lebarnya. "Halo om-om tentara." Sapanya melambaikan tangan.
Ketiga pria dewasa yang disapa Nadia itu terdiam. Ketiganya cukup lama menatap bergantian antara Gibran dan Nadia sebelum kemudian deheman Gibran membuyarkan apa yang sedang terpikirkan oleh ketiganya.
"Sorry sorry..." Gio yang sadar dengan ketidaksopannya meminta maaf. "Tapi dia beneran istri kapten?" Lanjutnya tak percaya.
Gibran mengangguk mantap "Iya, Namanya Nadia Gaudia Rasya. Salam dulu, Nad."
Nadia langsung menyalami ketiga pria dewasa itu seperti kebiasaannya pada orang yang lebih tua.
"Hanjiiiiir berasa bapak-bapak gue meeen." Dewa yang takjub dengan apa yang dialaminya menatap Gibran horor. "Lo bukan pedofil kan?"
Gibran melemparkan gulungan koran di dekatnya kepada Dewa yang langsung menghindar dengan gesit. Pria itu lantas terbahak, tak bisa menyembunyikan rasa geli dan takjub yang bersamaan.
"Sorry bro tapi bener, ini diluar bayangan gue. Istri lu terlalu muda untuk orang tua macam lu!" Ujar Dewa tak tanggung-tanggung meledek Gibran.
"Si*lan!" Umpat Gibran yang malah disambut tawa ketiga rekannya. Jonathan yang biasanya segan pada Gibran malah tawanya yang paling besar.
Nadia yang merasa aneh dengan ketiga pria dewasa itu hanya bisa meringis. Orangtua memang paling sulit di pahami. Nadia bahkan tidak melihat ada yang lucu disini.
"Halo, Nad. Senang bertemu dengan kamu." Gio yang paling waras diantara mereka melambaikan tangannya pada Nadia. Gadis itu menyengir.
"Duduk, Nad. Kita ngobrol-ngobrol dulu." Ucap Dewa yang sudah bisa mengontrol tawanya.
Nadia yang melihat tidak ada kursi kosong di ruangan itu tanpa pikir panjang langsung duduk diatas pangkuan Gibran. Dewa, Gio, Jonathan saling melirik, menahan setiap kata yang siap meluncur dari mulut mereka apalagi melihat wajah Gibran yang siap untuk di nistakan.
"Nad?" Tegur Gibran.
"Gak ada kursi, Om. Kaki Nad, pegeel." Nadia menatap Gibran polos.
"Biarin lah Kapten, beras dua karung aja bisa lu pangku, masa Nad seringan itu lu mau protes?!"
Gibran rasanya ingin menyumpal mulut Dewa dengan granat, pria itu benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk menjadikannya bahan olokan. Awas saja kalau ketemu di lapangan, habis orang ini.
Gibran yang tidak mempunyai pilihan lain akhirnya memperbaiki posisi duduk Nadia agar lebih nyaman. Tangan kirinya di selipkan di pinggang gadis itu agar tak banyak goyang.
"Om-om temannya Om aku?" Tanya Nad sembari memainkan jemari Gibran. Hal itu tak luput dari pandangan ketiganya yang merekam semua peristiwa manis itu untuk menyerang Gibran sewaktu-waktu kalau kapten mereka itu 'kambuh' di lapangan.
"Iya, Nad. Kami sama-sama di Akmil dan ketemu lagi di Afrika." Jawab Gio.
"Kalau saya juniornya, kapten." Tambah Jonathan tanpa ditanya.
"Wah keren dong. Nad juga pengen ke Afrika tapi kata Om Gibran disana gak ada air. Emang iya?"
"Bener Nad. Disana gersang, panas dan susah air. Nad tidak bisa mandi seperti disini. Tanya saja sama Om Nad, dia mandinya dua kali seminggu." Ujar Dewa yang langsung mendapat pelototan dari Gibran.
"Dih, Om jorok." Nadia menutup hidungnya tapi kemudian melepasnya segera "Tapi Om Gibran tetep wangi kok biar keringetan. Nad suka."
"Oh ya? Nad suka wangi keringat Om Gi? Emang keringetan ngapain Nad?"
"Nad--Nad, masuk dalam gih, nonton tv." Gibran yang paham arah pertanyaan Dewa langsung saja menyela. Nadia bisa saja menciptakan kesalahpahaman kalau tidak dihentikan.
"Mana susunya?" Tagih Nadia mengulurkan tangan.
"Om beliin. Tunggu di dalam." Gibran mengelus rambut sepunggung Nad lembut. Nadia mengangguk. Gadis itu beranjak dari pangkuan Gibran.
"Nad, kedalam ya Om-om." Setelah itu ia masuk kembali ke ruang tengah. Selepas kepergian Nadia, ketiga orang rekan Gibran ini langsung meledakkan tawa sementara Gibran yang menjadi korban hanya bisa mengelus dada.
***
Om Gibran baru abis masak. Gimana Nad gak gigit coba, nikmat gini Omnya. Sluuurp 🤤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Irena Irani
🤤🤤🤤🤤🤤
2024-12-16
0
h-a-z-z
Annnjaaaaiiiiii..... 🤤🤤🤤🤤🤤🤤🤤🤤🤤🤤
menghalu di peluuuukkk.... di dekaaappp..... diii geeennddooonnggg.... diii.... diiii.....
😱😱🤩🤩🤩😍😍😍😍😍😍
2023-04-21
1
Naura Sabrina
😋😋😋lezatnya...om gi..
2023-03-07
1