"Sepertinya nadia sangat kelelahan." Papa Elsa mengulas senyum tipis. Gibran terlihat begitu lembut pada Nadia padahal selama ini sebagai komandan yang selalu bekerja bersama Gibran, ia mengenal laki-laki itu sebagai sosok yang dingin yang susah untuk di dekati. Bahkan Elsa putrinya sendiri tidak bisa menggerakkan hatinya. Bagi seorang ayah, Gibran adalah sosok sempurna bagi anak gadis mereka. Meskipun terlihat dingin, Gibran adalah sosok yang bertanggungjawab dan taat beribadah. Ia sebagai papa elsa tentu pernah menginginkan Gibran menjadi menantunya tetapi kemudian harus menerima kenyataan bahwa Gibran telah menjatuhkan pilihannya pada gadis kecil bernama Nadia Gaudia Rasya.
Gibran tersenyum mengiyakan.
"Nadia di bawa ke kamar tamu saja, Bang. Kasian kepalanya bisa sakit." Elsa menimpali. Sebenarnya ia tak begitu peduli dengan gadis kecil centil yang berstatus istri Gibran itu hanya saja hatinya seperti di remas melihat bagaimana manjanya Nadia pada Gibran.
"Tidak usah Dok, kami sudah mau pulang." Gibran mengulas senyum tipis. Diliriknya Nadia yang sedang BERLAGAK terbuai dalam mimpinya. Tidak memilih tempat, istrinya itu tak pernah kehabisan ide untuk berulah bahkan di ruangan tamu orang yang sangat diseganinya. Jika Ibu-ibu Persit lain merasa sungkan dan begitu menjaga sikap di depan ibu Ketua dalam hal ini mama Elsa, Nadia malah bersikap seolah ia sedang berada di taman bermain, bersenang-senang dengan segala kejahilannya. Malah Gibranlah yang merasa tak enak hati.
"Iya, sebaiknya kalian pulang. Kasian Nadia." Timpal mama Elsa memaklumi.
"Ajak Nadia sering-sering kesini." Sambung Papa Elsa.
Gibran mengangguk. "Siap, Ndan."
Gibran menepuk pelan pipi Nadia sembari memanggil nama gadis itu.
"Nad, ayo bangun." Bisiknya pelan. Gibran mengguncang pelan bahu nadia namun sepertinya gadis manis itu terlanjur nyaman melakukan drama putri tidurnya. Bukannya bangun, Nadia malah membenarkan posisinya mencari tempat paling nyaman.
Tak ada pilihan lain,tak ingin memulai drama baru, Gibran memasukkan tangannya diantara lipatan lutut dan leher nadia, menggendongnya dengan sangat hati-hati. Dari tempat duduknya Elsa melihat semua itu dengan tatapan sendu. Lelaki yang sangat diharapkan menjadi pendamping hidupnya telah menjadi milik orang lain. Semua nyata di depan matanya tapi hatinya selalu menolak untuk menerima kenyataan.
"Maaf, Ndan, kami permisi." Gibran merapatkan jaket miliknya ke tubuh Nadia dan berjalan keluar rumah di iringi Elsa dan kedua orangtuanya.
"Naik motor, Gi? Terus Nadia gimana? Bahaya loh." Ujar Mama Elsa saat melihat motor Gibran yang terparkir di depan rumah mereka.
"Tidak apa-apa, Bu, nanti Nadia saya bangunkan." Ujar Gibran tenang.
"Yakin, Bang? Tidak sebaiknya pakai mobil Elsa saja? Kan bisa di kembaliin. Motornya aman kok disini." Elsa memberi solusi. Bagaimanapun, ia menghawatirkan keselamatan dua orang itu.
"Tidak usah, Dok. Terima kasih. Nadia biasa begini." Terang Gibran.
"Hati-hati" Ujar Papa Elsa, selalu dengan kepercayaan penuh pada prajurit kebanggaannya itu.
"Siap, Ndan. Kalau begitu, kami permisi. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam warahmatullah"
Gibran dan Nadia meninggalkan kediaman bapak nomor satu di kesatuan Gibran itu tepat pukul sepuluh malam. Dengan langkah ringan Gibran berjalan menuju tempat motornya terparkir. Nadia yang masih melanjutkan aksi tidur cantiknya sama sekali tak terganggu dengan pergerakan suaminya. Sesampai di depan motor, Gibran langsung berdehem.
"Bangun!" Dengan sekali sentakan sosok yang sejak tadi tenang dalam dekapannya langsung terbahak.
BRUK!!!
"Aw! Apaan sih om, kasar bangat." Nadia yang baru saja di jatuhkan diatas rumput mengaduh kesakitan. Ia berdiri sambil mengelus panta*nya yang ngilu. Di depannya Gibran bersikap masa bodoh seolah tak terjadi apa-apa. Dengan santainya pria dewasa berwajah dingin itu menaiki motornya.
"Naik!" Titahnya tanpa memandang Nadia sama sekali. Nadia yang terbiasa menjadi bos dalam hidupnya sendiri sontak saja mengepalkan tangannya siap menyerang Gibran.
"Atau saya tinggal?" Gibran menatap Nadia dengan malas.
Nadia yang sudah mengangkat tinjunya tinggi-tinggi langsung menurunkan tangan saat melihat intimidasi dari Gibran. "Dasar orang tua." Sungutnya kesal.
"Lain kali kalau kamu bertingkah seperti ini, saya ceburin di kolam asrama." Ancam Gibran sembari membelokkan motornya.
Kolam asrama? Nadia bergidik ngeri. Kolam asrama yang dimaksud Gibran bukanlah kolam yang sama seperti di rumah mewahnya tempat ia biasa menghabiskan waktu bersantai melainkan sebuah got aliran pembuangan rumah tangga penghuni asrama yang biasa di pakai sebagai arena latihan dan kebanyakan untuk merendam prajurit yang tidak disiplin. Tentu saja Gibran tidak main-main dengan ancamannya karena Nadia tak akan lupa kala itu dimana Gibran tanpa perasaan melemparnya dalam kolam asrama hanya karena ia ketahuan bolos sekolah untuk ikut teman-temannya balapan liar.
"Pegangan!"
Nadia yang tadinya mau menyelipkan tangannya memeluk Gibran langsung saja menumpukan kedua tangannya di besi belakang motor. Bukan Nadia namanya kalau tidak membuat pusing Gibran. Pria dewasa itu harus selalu memupuk sabar ketika menghadapi kekeraskepalaan Nadia yang makin hari makin parah.
"Nad?"
"Nad?" Nadia mengulang ucapan Gibran dengan gaya menyebalkan.
"Pegangan atau?"
"Ck. Iya iyaaa ah! Bisanya ngancem yang lemah. TIRANI!!!" Teriak Nadia tepat di telinga Gibran yang tertutup helm. Dengan perasaan kesal yang bertumpuk-tumpuk, Nadia mengaitkan kedua lengannya melingkari pinggang Gibran setelah terlebih dahulu menyempatkan mencapit pinggang Gibran dengan dua jari lentiknya.
Perjalanan dari rumah Elsa ke asrama mereka tak memakan cukup banyak waktu, hanya beberapa menit, kedua orang berbeda generasi itu akhirnya sampai di asrama hijau yang kata Nadia penjara tanpa jeruji.
"Cuci kaki, sikat gigi lalu tidur." Nadia yang baru saja turun dari motor menatap Gibran sebal.
"Emang aku anak kecil?!" Ucapnya menghentakan kaki menuju rumah. "Cepet om, buka pintu! Nadia capek." Teriaknya tak sabaran saat Gibran memarkirkan motornya.
Gibran yang sudah biasa mendengar pekikan nyaring itu tak terlalu memperdulikannya. Ia memarkirkan motornya tanpa terganggu sama sekali dengan Nadia yang bersungut di depan pintu.
"Tidak teriak dalam sehari mulut kamu bisa karatan atau gimana?" Gibran berucap santai sembari membuka pintu rumah.
"TETANUS! PUAS?" Nadia menyenggol bahu Gibran dan berlalu ke dalam rumah. Gibran menghela nafas berat, menatap punggung kecil itu. Seandainya kedua sahabatnya masih ada, mungkin Nadia akan tumbuh menjadi gadis manis dan lembut. Dulu, saat kedua orangtua Nadia masih ada, Gibran sering main ke rumah mereka, Nadia yang dulu adalah gadis kecil yang manis, riang, dan lembut, tak sekalipun berbicara kasar pada orang lain. Tapi sekarang, Gibran hanya bisa menghela nafas tiap kali melihat gadis yang sudah beranjak remaja itu berulah.
Bang, Mbak, maafkan Gibran yang sudah gagal mendidik Nadia. Gibran termenung menatap foto di depannya. Foto dirinya yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di Akmil, diapit oleh dua orang sahabat yang sudah ia anggap sebagai keluarganya. Gibran menyentuh wajah bayi yang sedang terlelap dalam gendongan ibunya, Nadia yang masih bayi. Ia tidak bisa menyalahkan gadis itu atas semua sikapnya karena dirinyalah yang terlalu sibuk, tak menyempatkan diri memberi perhatian pada Nadia.
"Om, pasta giginya habis." Nadia muncul dari kamar mandi dengan wajah masam. Semua hal di rumah ini terasa kurang baginya. Apa-apa kurang, bahkan pasta gigi pun kurang.
Gibran lalu tanpa mengatakan apapun berjalan ke arah lemari penyimpanan dan mengeluarkan pasta gigi yang baru saja ia beli siang tadi.
"Pencet dari bawah." Ujarnya mengingatkan Nadia yang kebiasaan memencet tengah kemasan pasta gigi.
"Baik yang mulia."
Gibran tersenyum tipis melihat tingkah konyol gadis kecil itu. Ada saja kelakuan ajaibnya dalam sehari. Ia tak bisa membayangkan Nadia bersama orang lain, mungkin saja gadis itu sudah di kubur berdiri saking kesalnya orang itu padanya.
***
"Om apain Nadia?"
Gibran membuka mata pelan menyesuaikan dengan silau sinar lampu kamar. Badannya terasa kaku dan berat, sapuan hangat di area lehernya membuat dia mengernyit belum lagi suara serak yang menyusup di telinganya.
"Om apa-apain Nad kan?"
Ia menunduk hanya untuk melihat tatapan penuh tuduhan dari gadis bermata bulat hitam itu yang tampak lucu dengan bare face nya.
"Saya yang harusnya nanya, Nad. Ngapain kamu nemplok dibadan saya?" Gibran menghela nafas pelan, menggeliat mencoba menurunkan Nadia dari atasnya. Bukan karena berat badan Nadia karena bagi Gibran, Nadia seperti sehelai bulu ayam yang ringannya sangat ringan tapi karena posisi seperti ini tak baik untuk akal sehat Gibran dimana setiap pagi hormon testoteron bagi laki-laki dewasa dan normal masih dalam kondisi aktif-aktifnya. Nadia bukan lagi gadis kecil tujuh tahun yang biasa tertidur dalam gendongannya, Nadia yang sekarang adalah gadis muda yang cantik, pemilik badan kecil yang pas pada bagian-bagian yang menarik bagi seorang wanita dewasa. Gibran sebagai pria dewasa yang normal tentu saja sedikit was-was dengan keadaan mereka sekarang belum lagi status gadis yang masih nyaman diatasnya ini adalah istrinya yang sah, halal untuk diapa-apakan.
"Nad tidur. Om ngapain? Kenapa tidurnya nyentuh-nyetuh Nad? Gak boleh ya Om, Nad gak redho." Protes Nadia dari mulutnya berkebalikan dengan gerak badannya yang kini malah mengendus-endus leher Gibran dan sekitaran dagu lelaki itu yang sudah ditumbuhi bulu-bulu halus.
"Nad belum siap hamil ya Om. Ingat itu." Lanjutnya yang menurut Gibran terdengar seperti provokasi.
Belum siap hamil katanya? Gibran tertawa dalam hati. Yang ada, dirinya yang khawatir Nadia yang otaknya ajaib ini bisa membuat hal itu terjadi lebih cepat.
"Kalau kamu tidak turun. Saya hamilin ka-Aw."
"YAK!!! DASAR OM-OM OTAK MESUUUM!!!"
Buk! Buk! Buk!
"Rasain tuh pukulan Nad." Nadia yang terkenal bar-bar itu memukuli Gibran sekuat tenaga yang hanya dihalau dengan satu tangan oleh Gibran yang langsung berdiri dari ranjang.
"Wudhu sana! Biar pikiran kamu bersih." Gibran menarik telinga Nadia menyeretnya ke kamar mandi.
"Om lepaaaas!" Teriak Nad memegangi tangan Gibran yang mencapit telinganya.
"Mandi sekalian. Keramas." Gibran mengguyur Nadia dengan air dingin yang keluar dari shower. Ngomong-ngomong soal shower, Gibran sebenarnya paling malas ada benda itu di kamar mandi hanya saja Nadia tak mau mandi kalau tidak menggunakan shower bahkan loyang besar yang biasa Gibran jadikan tempat rendaman bajunya dijadikan bath up oleh gadis kecil itu. Luar biasa memang otaknya.
"Dingiiiiiin ooooom." Nadia mencoba melepaskan diri tapi apalah ia dibandingkan badan raksasa Gibran.
"Mandi yang benar." Gibran melepaskan Nadia beserta shower-nya yang masih menguncur lalu keluar. Sebentar lagi adzan subuh, ia harus bergegas ke masjid kompleks asrama.
Nadia yang sudah terlanjur basah hanya bisa menyumpah dalam hati. Punya suami jelmaan fir'aun memang butuh hati lapang seluas hati ratu asiyah jika ingin berumur panjang. Awas tuh orang tua!
.
.
.
"Kamu ngapain?"
"Liat, deh Om! Ada oppa-oppa roti sobek di depan. Asik beneeer." Nadia dengan rambut yang masih di lilit handuk berdiri di depan jendela, mengintip keluar.
"Opa siapa?" Gibran yang sedang bersiap lari pagi dengan setelah olahraganya mendekati Nadia, ikut melongokkan kepala mengintip keluar jendela. Seingatnya tidak ada orang tua di asrama mereka.
"Gilak! Kok bisa perutnya kotak gitu ya? Di bentuk pake batako atau gimana tuh." Ujar Nadia mengabaikan keberadaan Gibran dibelakangnya.
Gibran yang menyadari opa-opa yang dimaksud Nadia bukanlah kakek-kakek lanjut usia melainkan para prajurit baru berotot yang sedang membersihkan halaman asrama hanya bisa berdecak. Istrinya ini benar-benar tidak biasa, setiap hari melihat badannya yang eight pack sepuas hati tapi masih juga mengintip orang diluar sana.
"Sana sarapan! Saya ke lapangan dulu." Gibran mendorong pelan bahu Nadia menjauh dari jendela. Nadia yang merasa kesenangannya terganggu memberenggut sebal.
"Ganggu aja." Meskipun kesal, Nadia pada akhirnya ke dapur juga untuk sarapan, sepiring nasi goreng dilapisi telor goreng berbentuk Hati. Gibran memang tak pernah lupa menyiapkan sarapan yang persis sama dibuat oleh Ibunya dulu, itulah kenapa ia tak bisa marah pada Gibran meskipun ada sedikit kesal dihatinya tiap kali Gibran berlaku semena-mena memaksakan kehendaknya.
Bunda, Ayah, Nad kangeeen.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Marshanda Adilla
nama ceweknya tuh kalo gak salah ,, Yoeriko Angeline
2023-12-20
1
Naura Sabrina
good story
2023-03-06
1
Sri Widjiastuti
biarin deh biar si ibu persit g ikutan mancing2 bikin eneg aja nii
2022-11-27
1