Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Vina dan Elsa, Nadia tidak menyinggung ataupun menanyakan apapun tentang mereka pada Gibran. Ia hanya tidak berani, takut kalau kehadirannya dalam hidup Gibran hanyalah menyulitkan laki-laki itu. Nadia cukup tau diri, sejak kehilangan kedua orangtuanya Gibranlah yang mengambil alih tugas mereka. Saat Nadia pengambilan rapor, Gibran yang hadir sebagai walinya kalaupun ternyata Gibran sedang mengemban tugas di luar daerah, ia akan memastikan Nadia tak sendiri dihari pengambilan rapor setidaknya ada seseorang yang ia kirim untuk menemani gadis itu. Begitupun saat Nadia terlibat masalah, Gibranlah yang selalu mengurusnya. Bahkan saat puber pertama Nadia, Gibranlah orang yang memberinya pelajaran tentang sex yang seharusnya diberikan oleh seorang Ibu kepada setiap anak perempuan mereka. Olehnya itu, meskipun ia membenci sikap otoritas laki-laki arogan itu dalam hidupnya, ia menghormati Gibran sebagaimana ia menghormati kedua orangtuanya. Dan kehadiran Elsa di depan rumah hijau itu membuatnya kembali memikirkan hubungan diantara Gibran dan Elsa.
"Tante Elsa." Ujar Nadia lirih. Ia berdiri di depan pintu dengan semangkuk es buah yang dibelikan Gibran siang tadi.
"Assalamualaikum, Nad." Sapa Elsa tersenyum ramah lalu pandangan perempuan anggun itu menyorot pada penampilan gadis remaja di depannya. Nadia yang menyadari hal itu menunduk melihat penampilannya sendiri, Celana pendek diatas lutut dan baju kaos kebesaran milik Gibran. Rambutnya di capol asal dengan jepitan kecil, tidak ada yang salah. Nadia mengibaskan rambutnya dengan sengaja untuk menyadarkan keterpakuan Elsa. Tidak sopan. Batinnya.
"Waalaikumsalam. Masuk, Tan." Nadia membuka pintu rumah lebar-lebar mengurai rasa tidak suka yang menyerang. Ia mengintip kearah lapangan berharap bisa melihat Gibran dan laki-laki itu bisa menyadari kehadiran Elsa namun sepertinya ia harus menghadapi ini sendirian.
"Silahkan duduk, Tan. Tante mau ketemu Om Gi?" Tanyanya setelah Elsa duduk di salah satu kursi kayu di ruang tamu sederhana itu. Ia merapatkan kakinya, berusaha menyembunyikan pahanya yang terekspos dengan baju yang dipakainya.
Elsa tersenyum tipis tak bisa menyembunyikan perasaan aneh yang mengusik hatinya, "Saya ganggu ya?" katanya tak enak.
Nadia menggeleng cepat, "Enggak, Tan. Gak ganggu sama sekali. Tadi Nad lagi nonton aja." Jelas Nadia tak ingin membuat tamu suaminya itu merasa tak enak. "Tapi Om Gi nya nggak ada, Tan. Kelapangan tadi."
"Sama Nad juga gak apa-apa kok. Saya cuma menyampaikan undangan Mama. Ngajak Bang Gibran sama Nad untuk makan malam di rumah. Kebetulan papa ulang tahun." Ujar Elsa.
"Ooh... Kapan Tan? Nanti Nad kasi tau Om kalau udah balik."
"Malam ini. Diusahain ya. Papa mama udah kangen bangat sama Bang Gibran."
Oh, kangen bangat ya? Nadia tersenyum masam. Seperti apa hubungan Om Gibran dan keluarga Elsa semakin membuatnya bertanya-tanya.
"Nanti Nad sampaikan, Tan." Jawabnya tak bisa memberi kepastian. Karena kalau dirinya, sudah tentu ia tidak akan menghadiri acara dinner yang pasti membosankan itu. Berpesta dengan para orang dewasa yang kaku? Oh ayolah, Nad lebih memilih terjebak bersama patrick si bintang laut yang bodoh itu di ladang ubur-ubur.
"Khm, Nad masih sekolah atau udah kuliah?" Elsa mengganti topik saat keduanya hanya terdiam beberapa saat.
"Nad masih sekolah, Tan. Baru masuk kelas dua belas." Jawab Nadia santai. Ia membuka box pizza di depannya yang tadi baru saja di pesannya. "Makan, Tan." lanjutnya menawari.
Elsa mengangguk namun tak mengambil pizza di depannya. Beda dengan Nadia yang pemakan segala, Elsa adalah perempuan yang hidup dengan standar kesehatan sesuai dengan standar yang di tetapkan WHO. Tidak ada junk food dan kawan-kawanya. Sedangkan motto makan Nadia adalah, No Junk food, No life. Dua wanita muda dengan gaya hidup yang sangat bertolak belakang namun terlibat dengan orang yang sama.
"Sekolah gak apa-apa dengan status Nad?"
"Maksud tante?" Nadia menghentikan kegiatannya mengunyah, menatap Elsa dengan wajah datar yang terlihat salah tingkah di kursinya.
"Eeh sorry, jangan salah paham-- Maksud saya, Nad masih sekolah dan sudah menjadi istri. Sekolah tidak mempermasalahkannya?" Terang Elsa memperjelas maksudnya.
"Ooh itu. Entahlah, Nad juga tidak tau. Semua urasan nikah, Om Gibran yang urus. Izin sekolahku juga." katanya lalu kembali mengunyah pizza toping jagung kesukaannya.
Elsa mengangguk samar.
"Enak, Tan. Coba aja." Tawarnya sekali lagi. Namun seperti biasa, perempuan anggun itu hanya menjawab dengan anggukan samar. Lama-lama Nadia jadi kesal juga. Apalagi tatapan Elsa pada dirinya Yang seolah melihat tarzan masuk kota. Astaga, hei, dirinya bahkan lebih anggun dari seorang Raisa hanya saja ia lagi khilaf sekarang, melupakan jati dirinya sebagai wanita elegan.
"Itu kenapa disisain? Mubazir loh."
Nadia menyicip saus yang ada di jarinya "Buat Om Gibran. Kasian udah dibayarin tadi."
"Bang Gibran tidak makan jung food, Nad. Dia suka tumis kangkung dan ikan asin yang di saus pedas." Kata Elsa dengan wajah berseri. Seolah sedang membicarakan kekasihnya dimana ia yang paling tahu kesukaan sang kekasih.
Nadia bertambah kesal. Tapi tak menunjukkannya secara terang-terangan. Ia punya cara lain untuk membalas ucapan perempuan di depannya ini. Kenapa makin kesini si Elsa versi solihah ini jadi mengesalkan ya?! Sok tahu.
"Om Gi suka kok, Tan. Liat saja sebentar. Bakal di lahap habis pizza nya." Kata Nadia percaya diri walaupun dalam hati ia juga pesimis dengan pernyataannya pasalnya Gibran juga penganut hidup sehat garis keras. Kali ini semoga saja Gibran tidak menyebalkan karena demi kera sakti yang mengobrak abrik istana dewa langit, Ia tidak mau Elsa merasa paling tau tentang Gibran.
"Assalamualaik--um, Oh ad dokter Elsa." Gibran muncul di depan pintu dengan badan berpeluh. Laki-laki itu memakai celana olahraga panjang dan baju kaos pas badan berwarna hijau khas tentara.
"Waalaikumsalam bang Gibran." Elsa berdiri menjawab dengan senyum malu-malu. Nadia yang melihatnya hanya memutar bola mata malas. Drama picisan mode on.
"Duduk, El. Tumben main kesini, ada apa?" Gibran duduk di salah satu kursi kosong di samping kiri Nadia yang terdiam menyaksikan dua orang dewasa yang terlihat sedang memainkan drama rindu-rinduan di depannya.
Elsa duduk kembali, "Oh enggak. Cuma menyampaikan undangan makan malam dari Mama. Papa ulang tahun." Ucapnya dengan senyum lembutnya yang sedetik berikutnya mendadak pias melihat pemandangan di depannya, Gibran yang sedang membersihkan saus di bibir Nadia tanpa sungkan.
"Oh itu. Insya Allah kami usahakan datang. Undangannya juga sudah nyebar di grup." Ujar Gibran yang kini sibuk menarik leher baju yang dipakai Nadia untuk menutupi leher dan bahu gadis itu yang menampakan tali hitam yang kontras dengan kulit putihnya. "Nad, tamunya diambilin minum gih."
"Eh, nggak usah, Bang. Jangan repot-repot Nad, saya juga sudah mau pamit."
"Gak repot kok, tan, air putih doang ini." Kata Nadia segera beranjak dari kursinya berlalu ke dapur.
"Maaf sudah lancang ke rumah abang tanpa bilang-bilang." Elsa berujar dengan wajah tertunduk setelah memastikan Nadia sudah tidak ada.
"Tidak apa-apa, Elsa. Maaf belum mengenalkan Nadia secara resmi."
Elsa mengangguk samar, wajah lembutnya tampak muram "Kenapa harus Nadia, bang? Apa kurangnya El?!" Tanyanya dengan suara lirih menahan getar. Kedua tangan gadis berhijab mocca itu saling bertaut diatas pangkuannya. "Dia bahkan masih sekolah." Lanjutnya mengangkat wajah, berusaha tegar menatap pria yang sudah berhasil membuatnya jatuh cinta dan patah sekaligus.
"Tidak ada yang kurang dari kamu, El. Hanya saja sejak awal memang hanya ada Nadia untuk saya."
"Apa karena wasiat itu?"
Gibran terdiam. Ia hanya mengulas senyum tipis yang membuat Elsa menitikan airmatanya.
"Sorry." Katanya sembari cepat mengusap sudut matanya yang mengembun.
"Tidak ada yang salah. Ini pilihan saya." Ujar Gibran sembari menghapus peluh di pelipisnya.
"Minuman dataaaaaang." Nadia muncul dengan memegang nampan di tangannya. Dua gelas air putih dan potongan buah. Untuk orang-orang sehat. Batinnya dongkol.
"Makasih Nad." Ucap Elsa, mengambil satu gelas putih berisi penuh yang dibawa Nadia.
"Sama-sama, Tan. Nad cuma bantuan nuang kok." Balas Nadia. Ia lalu menyerahkan gelas satunya pada Gibran.
"Minum Om. Haus bangat kan." Katanya dengan cengiran lebarnya.
"Itu pizza nya kapan di beli? Katanya tadi mau beli salad kok jadi pizza?"
Nadia manyun. Ia melirik Elsa dengan sudut matanya yang terlihat tersenyum tipis jenis senyum mengejek yang menyebalkan.
"Sesekali, Om. Enak. Cobain deh. Nad sisakan sepotong buat Om." Dengan sisa harga dirinya, Nadia menyodorkan potongan pizza itu di dekat mulut Gibran. "Aaaaa"
Gibran menepis tangan Nadia "Om kan udah bilang Junk food gak sehat." Tegurnya mengambil pizza di tangan Nadia dan menyimpannya kembali dalam box nya.
"Ish, Om mah. Enak jugaaa." Sungut Nadia melipat kedua tangannya di dada.
"Cobain aja, bang. Kasin Nad, udah sisain satu untuk Abang." Ucap Elsa dengan nada lembut namun bagi Nadia terdengar seperti sedang mengajak ribut. Belum lagi senyum tipis yang menyebalkan itu. Nadia jadi kesal sendiri. Sepertinya Elsa bukan tipe perempuan di sinetron azab yang pasrah saja melepaskan orang yang disukainya untul menikah dengan orang lain. Nadia benci senyum lembut perempuan berwajah teduh itu.
"Tidak ada pizza sekarang dan seterusnya." Ujar Gibran sembari menumpuk Box pizza dengan kertas-kertas bekas yang siap dibuangnya dibawah meja. Diam-diam Elsa tersenyum puas. Sementara Nadia menatap Gibran nyalang.
"Ooooom!!!" Pekiknya. Ia memukul bahu Gibran dengan kesal lalu berlari kedalam.
Gibran menarik nafas pelan saat mendengar bantingan pintu kamar yang cukup keras.
"Nad tidak apa-apa, bang?" Tanya Elsa yang cukup terkejut dengan aksi bar-bar Nadia.
Gibran mengedikkan bahu "Udah biasa." Ujarnya santai. Ia menghabiskan minumannya hingga tandas. Ia melirik box pizza yang baru saja menjadi sampah.Ia mendongak dan memandang pintu kamar dengan gamang.
"Maaf."
"Oh? Ah, bukan salah kamu." Ucap Gibran. "Tadi kesini sama siapa?"
"Diantar sopir mama."
Gibran mengangguk.
Kedunya terdiam. Tak ada yang berusaha membuka pembicaraan. Gibranpun sepertinya tak ingin lagi menambah topik.
"Kalau gitu Elsa pulang ya, bang. Salam sama Nad."
Gibran berdiri menyusul Elsa "Oh, ok. hati-hati."
Elsa mengangguk. Di depan pintu ia menoleh pada Gibran yang mengikut di belakangnya.
"Usahain datang ya, Bang." Katanya dengan semburat merah jambu di pipinya.
Gibran mengangguk "Insya Allah." balasnya.
"Elsa pamit. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Gibran berdiri di depan pintu hingga Elsa hilang dari pandangannya. Ia masuk ke dalam rumah dan saat menutup pintu, ia cukup terhenyak merasakan benda keras mengenai punggungnya. Sepatu larasnya sebelah kiri teronggok di dekat kakinya.
"Om Jahaaat!!!"
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Wkwkwkwk Keliatan banget Modusnya...
2024-09-20
0
Naura Sabrina
woah...sainganmu nad no kaleng2🙄🙄
2023-03-06
1
StAr 1086
tampilannya aja solikha, lemah lembut tapi .....
2022-11-27
1