Nadia menyendok sesuap demi sesuap gado-gado hangat yang ada di depannya. Sesekali ia menyerut es tehnya dengan nikmat.
"Ikat rambut kamu mana?" Gibran yang sejak tadi hanya menonton Nadia makan menyelipkan anak rambut gadis itu yang sesekali terjatuh menjuntai hampir menyentuh makanannya. "Ikat lah rambutnya."
"Gak tau." Nadia berucap tak peduli sembari terus menikmati sepiring gado-gado yang ternyata sangat pas rasanya dengan seleranya.
Gibran menggelengkan kepala pelan. Ia beranjak dari kursinya berjalan kebelakang Nadia. Pria berotot itu mengumpulkan rambut Nadia lalu menggulungnya. Beberapa anak rambut yang tak bisa tergulung dibiarkan begitu saja menghiasi tengkuk putih Nadia. Gibran jadi menyesal menggulung rambut Nadia karena sekarang tengkuk gadis muda ini terlihat sangat mengganggu. Gibran berdeham mengabaikan rasa tak nyaman yang menjalarinya. Ia kembali ke tempat duduknya, sekali lagi menghela nafas pendek, melihat bagian leher Nadia yang terekspos walaupun sudah memakai jaketnya. Seharusnya tadi dia mengambil model turtle neck saja sekalian Nadia dipakaikan syal.
"Yoooow baaaang Gibran! Astagaaaaa pengantin baru akhirnya ketemu jugaaa."
Gibran menoleh dan mendapati teman satu timnya di afrika dulu tersenyum lebar. "Oh hi, Vin."
"Duduk vin." Gibran menarik kursi plastik untuk Vina namun langsung di tolaknya.
"Gak usah, bang. Kami udah mau jalan."
"Kamu sama siapa?" Gibran menoleh kebelakang tapi tak melihat siapapun yang mungkin ia kenal.
"Elsa. Tuh sedang mesan makanan." Tunjuknya pada seorang wanita berhijab warna pastel yang sedang berdiri di depan meja pelayanan.
Gibran tersenyum kecil saat sosok wanita anggun dengan hijab membalut kepalanya tersenyum canggung padanya. Elsa, Satu nama itu yang sering sekali disandingkan dengan namanya selama ini, digadang-gadang sebagai kapten yoo dan dokter kang versi lokal namun semuanya tak berakhir seperti yang orang-orang pikirkan karena sejak awal Gibran hanya memiliki satu nama untuk mendampinginya, Nadia Gaudia Rasya, si gadis manja dan nakal yang kini sedang menyantap makanannya dengan lahap tanpa peduli apapun disekitarnya. Gibran memgangguk sebagai sapaan sopannya. Perhatiannya kini teralih pada gadis yang masih menikmati gado-gadonya. Tangan Gibran terulur menghapus peluh di pelipis Nadia yang tampak kepayahan dengan suasana warung yang cukup panas.
"Om, jaketnya di lepas aja deh." Nadia bersungut, sudah tidak tahan lagi dengan pakaian tebal yang membungkusnya. Oh ayolah, hanya orang dengan penyakit hipotermia akut yang memakai jaket siang bolong seperti ini.
"Habiskan makananmu." Gibran menahan tangan Nadia yang berusaha menanggalkan jaketnya.
"Ugh!!!! Geraaaaah." Rengek Nadia seperti ingin menangis. Gibran kalau sudah bertitah maka mutlak di laksanakan. Entahlah, Nadia jadi bingung sebenarnya ia ini istri atau seorang prajurit bawahan gibran sih, perasaan hidupnya beda tipis dengan penjajahan.
"Siapa, Bang? Ponakan?" Tanya Vina penasaran, sejak tadi melihat interaksi dua orang berbeda generasi yang terlihat imbang. Baru kali ini Gibran mendapatkan lawan yang cukup tangguh untuk berdebat, anak perempuan lagi.
"My Wife."
"Ooooh... . Hah????? Whaaaaaaat??? Wife??? Ngarang ah!!!"
Gibran melirik sekitarnya, beberapa pengunjung tampak memperhatikan kehebohan yang disebabkan suara nyaring seorang wanita berambut pendek dengan gaya pakaiannya yang lebih cocok di pakai oleh preman.
Vina menatap Gibran tak percaya lalu beralih pada Nadia yang kini menatapnya dengan wajah polos tanpa dosa. Ya ampun, si kecil manis lucu ini istrinya kapten? Tidak mungkin.
"Are you serious?"
Gibran mengangguk mengiyakan. Mulut Vina terbuka lebar saking tak bisa mempercayai kenyataan si kapten panutannya memperistri seorang yang, Oh my, harus dia sebut apa gadis remaja dengan penampilan yang eye catching ini?!
"Bang, Dia masih kecil loh. Lebih cocok jadi anak daripada dijadiin istri." Vina berucap sepelan mungkin agar tak terdengar oleh Nadia. Melihat bagaimana gadis remaja di depannya ini berani melawan Gibran, sudah pasti kepalanya tak kalah keras dengan si kapten. Vina menggelengkan kepala tak percaya. Seorang Gibran melepaskan perempuan dewasa, cerdas, solihah, cantik, terpandang, anak bos besar, seorang dokter seperti Elsa demi menikahi gadis remaja yang, ---astagaaaa bahkan makan saja masih belepotan.
"Tante temannya Om?" Nadia menjauhkan piring kosong yang sudah dilahap habis kesisi kanannya. Tangan kanannya meraih pipet dan menyerup Es tehnya menatap Vina dengan mata bolanya.
Vina mengangguk dengan wajah bloon. "Beneran istri bang Gibran?" Tanyanya masih tak bisa percaya dengan pernyataan Gibran. Meskipun Gibran tak pernah berbohong tapi ini terlalu sulit untuk ia percaya.
Nadia mengangguk dengan malas "Nadia Gaudia Rasya. Panggil aja Nad. Tante kok tahan temenan sama Om-om galak gini?! Kalau jadi tante, udah lama Nad jorokin di selokan depan sekolah." Katanya sembari mengulurkan tangan yang langsung disambut Vina dengan kening berkerut heran.
"In fact He is your husband." Kata Vina tak menyembunyikan nada geli dalam kalimatnya.
"Yes. Nasib buruk." Ujar Nadia melirik kesal Gibran dengan sudut matanya. Lelaki itu tampak tenang menikmati makanan di depannya seolah dua orang perempuan di depannya ini sedang membicarakan hal lain bukan dirinya.
"He is a nice guy." Kata Vina ikut-ikutan melirik Gibran yang makan dengan lahap. Ya terlepas dari sikapnya yang menyebalkan suka memerintah dan irit bicara, Gibran seseorang yang setia kawan. Kepemimpinannya juga tak perlu diragukan lagi. Vina bahkan tak segan mengaguminya dengan terang-terangan.
"Pencitraan, Tan. Nad aja tiap hari udah kayak hidup di zaman jepang. Apa-apa di larang. Kan kesal, Tan." Sungut Nadia.
Vina terkekeh. Baru pertama kalinya ia bertemu perempuan yang tak mempan dengan pesona seorang Gibran Al Fateh. Selama ia mengenal dan bekerja bersama Gibran, tak sedikit perempuan yang dengan terang-terangan maupun diam-diam menyukainya. Gibran Al Fateh seorang kapten dengan kemampuan perang yang mumpuni, berwajah rupawan, lelaki baik-baik dan berduit, semakin mempesona dengan kediamannya yang membuat orang penasaran padanya.
"Vin, balik yuk!"
"Oh, ok." Vina langsung berdiri saat Elsa menghampiri mereka.
"Bang Gi." Panggil Elsa dengan suara lembutnya. Gibran mengangkat kepala lalu tersenyum pada Elsa.
"Kalian sudah mau pulang?" Tanyanya basa basi.
Elsa mengangguk. Matanya melirik sosok gadis remaja yang sedang memangku dagu dengan dua tangannya yang sedang menatap padanya.
"Hai, Tan." Nadia melambaikan tangannya menyapa.
"Oh, Hai." Balas Elsa ramah. Ia kemudian menoleh pada Gibran menunggu laki-laki itu mengatakan sesuatu namun Gibran sepertinya tak berniat mengatakan sesuatu.
"Saya Nadia. Tante namanya siapa? Teman Om Gibran juga?"
Elsa tersenyum lembut menganggukkan kepalanya. Ia mengulurkan tangannya menyambut Nadia "Elsa."
"Wah, teman-temannya Om Gi semuanya cantik-cantik." Ucap Nadia penuh kekaguman. "Tapi Nad juga tidak kalah cantik." Lanjutnya penuh percaya diri.
"Iya, Nad juga cantik. Nad ponakannya Bang Gibran?" Tanya Elsa penasaran. Setaunya Gibran adalah yatim piatu tanpa sanak saudara di dunia ini jadi siapa Nadia?! Elsa melirik Gibran yang tenang-tenang saja di tempatnya, menumpuk piring yang sudah kosong.
Dilain sisi, Vina sudah mulai gelisah. Ia belum pernah membayangkan disituasi yang seperti ini. Bahkan medan perang dibawah hujan peluruh lebih baik daripada berada disituasi yang rawan seperti ini. Ia berdoa dalam hati semoga Nadia tidak mengatakan apa-apa tentang hubungannya dengan Gibran atau kalau bisa ada seseorang yang menghentikan Nadia, Gibran misalnya tapi sepertinya lelaki itu tak berniat menutupi apapun.
"Lebih baik kali ya, Tan jadi ponakan tapi sayangnya Nad bukan ponakan om tapi istrinya. Menyebalkan." Gerutu Nadia tak menyadari aura yang berubah di sekelilingnya.
"Istri? Maksudnya?" Elsa berusaha menahan suaranya agar tak bergetar namun sia-sia. Ia menatap Gibran meminta penjelasan.
"Iya, Tan. Sebel bangat. Dasar Om om pedofil." Sungut Nadia melipat tangan di dadanya.
"Benar, Bang?" Elsa tak lagi memperdulikan Nadia yang bersungut di kursinya. Ia hanya menunggu kejujuran dari laki-laki di depannya ini. Laki-laki yang dalam diamnya telah mematahkan hatinya.
Gibran tersenyum tipis, "Iya. Nadia istri saya." Katanya menatap lurus Elsa yang berusaha untuk tidak menangis.
"El, Ayo balik." Vina sudah tidak tahan lagi. Ia memegang lengan Elsa yang terlihat begitu rapuh. "Bang, kami duluan." Vina segera membawa Elsa keluar tanda menunggu jawaban Gibran.
"Teman abang kenapa?" Tanya Nadia heran, memperhatikan punggung Elsa dan Vina menjauh dari mereka.
Gibran mengedikkan bahu "Ayo pulang." Gibran beranjak dari kursinya menuju kasir. Nadia berlari kecil menyusul Gibran, berdiri disamping lelaki jakung itu. Jari-jarinya menyelip diantara jari-jari panjang Gibran yang bebas. Sesekali ia menggigitnya gemas membuat Gibran meringis saat gigi-gigi kecilnya menancap di kulit berotot itu. Nadia paling suka memainkan jemari Gibran karena hangatnya mengingatkannya dengan jari-jari milik ayahnya yang hangat yang selalu membelai rambutnya.
Gibran menyentil kening Nadia yang sudah iseng menjahilinya. Gadis itu bahkan tak segan-segan melakukannya di depan banyak orang. Nadia menyengir memarkan gigi-gigi putihnya puas. Keduanya keluar dari warung beriringan setelah membayar pesanan.
"Om, Itu Tante Vina dan tante Elsa kan?" Nadia menahan langkah Gibran saat tak sengaja menangkap dua sosok yang baru saja di kenalnya sedang berpelukan di depan sebuah mobil putih.
"Iya kan?" Nadia mengguncang lengan Gibran saat lelaki itu tak menjawab.
Gibran menghembuskan nafas pelan "Hm." Ia melepaskan tautan tangan mereka lalu mulai membelokkan motor dan menyalakan mesin.
"Naik."
Nadia mengangguk, ia duduk dibelakang Gibran. Ia meneloh kebelakang dan mendapati kedua teman Gibran itu menatap kearah mereka dengan pandangan yang sulit Nadia artikan. Tapi yang jelas Nadia bisa melihat kedua mata Elsa yang basah dan Vina yang tersenyum lemah di sampingnya.
"Pegangan." Nadia tersentak saat kedua tangannya ditarik Gibran untuk memeluknya. Mengabaikan tatapan dari Elsa dan Vina, Nadia menautkan jarinya kuat melingkari perut Gibran. Ia menempelkan pipinya di punggung hangat lelaki yang sudah tujuh tahun belakangan ini mengambil peran sebagai orangtuanya. Entah kenapa perasaan takut kehilangan tiba-tiba datang. Elsa? Nadia mengenyahkan semua pikiran buruk dikepalanya, ia mengeratkan pelukannya membenamkan wajahnya di punggung lebar Gibra.
Ada apa sebenarnya antara Om Gibran dan Tante Elsa?
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Harus dong Nad percaya diri dan Tegas,Jangan mau kalah dgn tante2..Apalagi sampai memberi peluang/celah utk orang ke 3 dlm RT kamu..
2024-09-20
0
Qaisaa Nazarudin
Cinta itu gak bisa di paksain,Jadi jangan oernah berharap lagi,Kalo nukan kita yg jadi menjadi pilihan,Itu namanya di tolak secara halus..
2024-09-20
0
Qaisaa Nazarudin
Waahh Ternyata Om Gibran emang udah suka sama Nadia ya dari dulu,Elsa nya aja yg kegeeran kali...
2024-09-20
0