Little Persit
Gibran memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Wajahnya mengeras, sesekali melirik seorang gadis berseragam batik yang sesunggukan di sampingnya. Rasa lelahnya yang baru saja pulang latihan tak terasa lagi di gantikan rasa marah pada gadis dengan seragam awut-awutannya.
"Nad tidak merokok, oooom. Nad di fitnah."
Gibran menulikan telinga mendengar pembelaan gadis belia di sampingnya itu. Apa yang disampaikan guru BK gadis ini membuat kepalanya serasa ingin pecah. Ini ke sepuluh kalinya dalam bulan ini Gibran ke sekolah untuk menjemputnya di ruang BK dengan alasan yang kadang otak cerdasnya tidak bisa pahami. Bagaimana mungkin seorang gadis belia berwajah manis polos seolah tanpa dosa melakukan hal-hal luar biasa itu. Kedapatan bolos dengan memanjat tembok, berebut lipstick sampai cakar-cakaran, menghajar seorang cowok, mengempeskan ban motor guru, membakar buku perpus, mencoret---Arg, Gibran tak sanggup lagi mengabsen satu persatu ulah gadis ini.
"Nad--"
"Diam Nadia. Om bilang, diem!!!" Gibran menatap tajam gadis bernama nadia itu, gadis belia yang baru saja duduk dibangku SMA kelas 12 yang kini menjadi tanggungjawabnya dengan statusnya, Nyonya Gibran Al Fateh.
"Oooom jahaaaat. Om gak pernah dengar Nadia. Nad benci om. Benci!!!"
Gibran terkekeh sinis, "Om nggak peduli Nadia."
Gadis di sampingnya itu semakin kesal. Ia tak segan melempar tas punggungnya pada Gibran hingga mobil oleng hampir menabrak pembatas jalan.
"NADIA!!!"
"APA? OM MAU MUKUL?! NIH PUKUL!!! NADIA BENCI SAMA, OM. BENCIIII!!!" Nadia mengarahkan wajahnya menantang Gibran. Pria berseragam loreng itu hanya menghela nafas. Ia menepikan mobil di pinggir jalan dan hanya diam membiarkan Nadia memukulinya sesuka hati. Tenaga dari kepalan tangan gadis kecil itu tak berpengaruh sama sekali pada dirinya.
"Udah?" Tanyanya saat Nadia tak lagi memukulinya. Mungkin lelah sendiri karena jelas Gibran tak merasa sama sekali harus menghentikan pukulan yang terasa seperti gelitikan itu.
"Nadia benci, om." Nadia menangis sesungggukan, kesal karena Gibran sama sekali tidak menanggapinya dengan serius.
"Nanti lanjutin di rumah. Bahaya kalau dijalan." Ujar Gibran lalu kembali memacu kendaraannya menuju salah satu kompleks mewah dimana Nadia tinggal.
Mobil berhenti tepat di depan pintu rumah. Satpam yang berjaga sudah menutup kembali pintu gerbang dan bergegas untuk membuka pintu rumah megah itu.
Gibran melepaskan Seatbelt yang membelit tubuh tegapnya lalu keluar dari mobil. Ia membuka pintu mobil samping dan tanpa beban mengangkat badan kecil Nadia yang sudah terlelap setelah lelah menangis.
"Terima kasih, Pak. Tolong mobilnya di masukan dalam garasi." Ucapnya pada satpam yang mengangguk patuh di depan pintu.
Gibran masuk dalam rumah besar nan megah itu dengan Nadia dalam gendongannya. Ia beranjak ke lantai dua setelah sebelumnya berpesan pada bibik untuk menyiapkannya makan malam.
Kamar dominasi pink dengan banyak tempelan gambar-gambar cowok dari negara gingseng tertata dengan rapi. Gibran membaringkan Nadia dengan hati-hati. Tanpa sungkan melepaskan satu persatu kancing seragam Nadia yang sudah berselancar di alam mimpinya. Setelah semua kancing terlepas, ia tak langsung melepaskan seragam Nadia melainkan menaikkan selimut untuk menutupi badan gadis berumur tujuh belas tahun itu. Gibran lalu berdiri membuka lemari dan mengambil sepasang piyama bergambar stroberi yang ada di tumpukkan baju lainnya yang tersusun dengan rapi.
Gibran menghembuskan nafas kasar, menatap gamang sosok gadis remaja yang terlelap dalam bungkusan selimut. Jika saja keadaan ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, ia tak akan sebingung ini sekarang. Nadia bukan lagi gadis berseragam merah putih yang bisa ia perlakukan sebagai anak sendiri. Nadia seorang gadis belia dengan paras dan bentuk tubuh yang meskipun mungil tapi tetap saja terlihat pas pada bagian-bagian tertentu yang menunjukan bahwa ia tak bisa lagi sembarang menyentuhnya. Tapi bagaimanapun ia tak bisa membiarkan Nadia tertidur dengan pakaian yang seharian ia pakai. Maka dengan ragu, disingkapnya selimut tersebut. Gibran menghalihkan pandangannya ke tempat lain sedangkan tangannya melepaskan seragam yang membalut tubuh Nadia. Setelah seragamnya serlepas, ia menggantinya dengan piyama kancing yang cukup memudahkannya menyelesaikan pekerjaan itu secepatnya. Gibran menghembuskan nafas lega setelah kancing terakhir terpasang dengan benar. Ditatapnya Nadia dengan lekat sebelum kemudian meninggalkan kamar gadis itu.
***
"Nadia belum turun, Bik?"
Bibik yang sedang menyiapkan makanan menggeleng.
"Belum, Pak. Katanya non nadia mogok makan hari ini."
Gibran menghela nafas pelan, ia membalik piring lalu menyendok nasi goreng yang sudah disiapkan dengan segelas air hangat di depannya. Ia baru saja selesai lari pagi. Saat ia bangun subuh tadi, Nadia masih tertidur lelap.
"Dia sering begini, bik?" Tanya Gibran setelah meneguk air putih di gelasnya.
"Baru kali ini, Pak. Dulu waktu masih ada Tuan dan Nyonya juga biasa begini tapi Nyonya selalu bawa makanan ke kamarnya." Jelas bibik sembari menyerahkan jus apel pada Gibran.
Gibran mengangguk paham. Kehilangan orangtua bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang. Kedua orangtua Nadia yang merupakan seniornya telah tiada karena kecelakaan mobil sepulang dari mengantarnya ke bandara tujuh tahun lalu ketika Gibran akan berangkat ke afrika sebagai pasukan pengamanan daerah konflik. Ia tidak mengetahui kabar meninggalnya dua sahabatnya itu sampai ia menelfon di Indonesia di waktu luangnya. Perasaannya hancur mengetahui keadaan dua karibnya yang telah tiada tepat di hari keberangkatannya terlebih memikirkan putri mereka yang sangat muda, Nadia.
Setelah selesai sarapan, Gibran kembali ke kamar Nadia. Ia membuka gorden yang menghalau sinar matahari menembus kamar gadis itu.
"Biiiik, jangan di bukaaa." Rengek Nadia merasa terganggu dengan sinar matahari yang menyilaukan matanya. Ia mengambil bantal untuk menutup kepalanya. Selimut yang ia pakai sudah terjatuh ke lantai memperlihatan tungkai putihnya yang hanya mengenakan rok abu-abu yang kini tersingkap setengah pahanya. Gibran yang berdiri menyaksikan bagaimana gadis itu kembali menikmati tidurnya hanya bisa menggelengkan kepala.
Gibran mendekati ranjang dan menurunkan rok Nadia. Ia kemudian menarik bantal yang menutupi kepala Nadia membuat gadis itu memberenggut kesal.
"Bibik jangan rese deh!!!" Gumamnya kesal.
"Bangun!" Gibran menyenggol kaki Nadia.
"Ish!!!"
"Bangun atau Om siram."
"ASTAGAAAAAAA TIRANIIII!!!" Nadia terduduk dengan wajah bantalnya. Bibirnya memberenggut kesal.
"Mandi lalu sarapan."
"NGGAK!!!"
"nad?!" Tegur Gibran penuh ancaman.
"IYAAAA AH!!! BAWEL BANGAT!!!" Semprotnya kesal. Nadia beranjak dari ranjang dengan menghentak-hentakkan kakinya kesal menuju kamar mandi.
Gibran yang sudah terbiasa dengan kekeras kepalaan gadis itu hanya bisa menghela nafas lelah. Menunggu gadis itu menyelesaikan kegiatannya di kamar mandi yang akan sangat lama, Gibran merapikan ranjang bersprei pink itu. Setelah merapikan ranjang ia beranjak menuju meja belajar Nadia mengecek buku pelajarannya apakah terpakai dengan benar atau hanya berakhir menjadi pesawat-pesawatan seperti biasa. Ia cukup bangga saat melihat nilai-nilai gadis itu. Meskipun bandel, Nadia adalah anak yang cerdas, kecerdasannya sudah tentu mengalir dari DNA kedua orangtuanya yang merupakan orang-orang hebat yang sangat di hormatinya.
"Oooooom! Nad lupa bawa handuk." Nadia berteriak dari dalam kamar mandi.
Gibran menutup buku di tangannya lalu berjalan mengambil handuk bersih nadia yang ada di dalam lemari.
"Ini!" Katanya membalikkan badan memunggunggi pintu kamar mandi. Nadia membuka pintu pelan lalu mengulurkan tangan merebut kasar handuk pink di tangan Gibran kemudian menutup kembali pintu kamar mandi dengan sedikit bantingan. Rupanya kekesalannya semalam belum juga reda.
Gibran tengah duduk di sisi ranjang menatap foto di frame besar yang terpasang di dinding dekat cermin besar Nadia. Dua orang berwajah teduh tengah tersenyum lebar kearah kamera sedangkan seorang gadis kecil dengan rambut di kuncir dua mengenakan seragam putih merah mengalungkan kedua tangannya erat mencium pipi seorang pemuda berseragam loreng baret biru yang tengah menggendongnya. Gibran ingat foto tersebut diambil saat hari naas itu. Itulah terakhir kalinya ia melihat senyuman dua orang yang berarti dalam hidupnya.
"Om ngapain masih disini? Balik sana!!!" Gibran menoleh keasal suara. Nadia menatapnya tajam dengan kedua tangan terlipat di dadanya. Gibran memindai Nadia dari ujung kaki keujung kepala. Naura hanya mengenakan handuk sebatas paha dengan rambut basa di gulung handuk kecil tanpa alas kaki.
"Saya tunggu kamu. Cepat gantian. Kita harus sudah berada di asrama sebelum siang." Gibran beranjak dari ranjang mengambil sendal bulu-bulu Nadia dan memakaikan pada gadis remaja yang menatapnya dengan alis terangkat satu.
"Kita? Om aja, nadia enggak." Katanya jutek. ia memasukkan kakinya dalam sendal bulunya lalu berjalan kearah lemari untuk memilih pakaian yang akan dia pakai untuk menghabiskan hari minggunya bersama sahabat-sahabatnya.
"Mulai sekarang Nadia ikut ke asrama. Tinggal disana."
"Whaaaaat!!! No way!!! Om jangan semena-mena ya. Nad nggak mau hidup di tempat kayak penjara gak jelas seperti itu." Tolaknya keras. Nadia menatap Gibran nyalang. "Om nggak bisa maksa-maksa nadia."
"Kamu tidak bisa menolak. Itu hukuman untuk kamu." Kata Gibran tenang. Ia mendekati Nadia, berdiri di depan gadis belia yang melihatnya seolah siap untuk mengunyahnya. Ia mengulurkan tangannya melewati tubuh Nadia meraih baju kaos dan sepasang dalaman yang juga bisa di jangkaunya dengan mudah.
"Pakai!" Perintahnya mengabaikan wajah kusut Nadia.
"Nggak mau!"
Gibran mengangguk, meraih ujung handuk Nadia "Biar saya pakaikan."
"SINIIN!!!" Bentaknya kesal mengambil kasar pakaiannya yang ada di tangan Gibran.
Gibran tersenyum tipis, menepuk pelan pipi Nadia "Jangan nakal. Kamu tidak akan pernah menang melawanku." Ujarnya pelan mengantarkan pesan mengancam dengan cara yang sangat halus membuat Nadia semakin kesal.
"Dasar om-om jahat!"
Gibran acuh. Ia berlalu membiarkan Nadia memakai pakaiannya sementara dirinya mengambil koper hitam Nadia dan mulai memasukkan barang-barang yang perlu di bawa gadis itu.
"Kenapa pakaianmu kekecilan semua?" Tanya Gibran heran merentangkan satu persatu pakaian nadia dengan wajah heran.
Nadia yang sudah selesai memakai dalamnya di balik handuk mencibir "Pakaian anak jaman now, om. Orangtua mana paham." Sindirnya mendekati Gibran dengan melipat kedua tangannya di dada. Tak niat sama sekali untuk membantu.
"Setelah ini kita ke toko pakaian. Beli yang baru. Yang ini di bakar saja."
"NO WAY IN MILLION WAYS!!!" Tolak Nadia merebut pakaiannya dari tangan Gibran. Ia mendorong tubuh besar itu menjauh dari lemarinya. Nadia merentangkan tangannya di depan pintu lemari menghalau Gibran menyentuh koleksi pakaiannya yang setengah mati ia dapatkan.
"Kalau om berani menyentuh sehelai pakaian Nad, om bakalan liat pesawat-pesawat om yang selemari itu menjadi sampah daur ulang." Ancamnya.
Gibran terdiam. Bukan karena memikirkan pesawat-pesawatnya namun karena pemandangan di depannya yang cukup mengusik nalurinya sebagai pria dewasa.
"Handuk kamu lepas."
"Huh? KYAAAAAAAAAAA!!!"
---
Kenalan yuk sama gadis nakalnya om Gibran
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Wkwkwk udah langsung ngakak aja aku..🤣🤣🤣
2024-09-20
0
Qaisaa Nazarudin
Kan tadi katanya tadi udah jadi Nyonya Gibran,Kok Gibran masih memperlakukan isterinya kayak anaknya doang..
2024-09-20
0
Qaisaa Nazarudin
Waahh udah nikah ternyata..Bar-bar banget nih bu persit,Tapi aku suka..😍😍😍
2024-09-20
0