Nadia bersungut menyeret kopernya masuk ke dalam salah satu rumah bercat hijau yang berjejer rapi dalam kompleks militer. Ini bukan pertamanya ia datang ke tempat ini. Menjadi seorang istri tentara dengan segala macam keribetan administrasi pernikahan kompi membuat ia terbiasa ke komplek ini untuk menyelesaikan urusan mereka yang waktu itu membuatnya hampir melarikan diri keluar negeri jika saja Gibran tidak menemukan jadwal tiket keberangkatannya menuju seoul, tempat yang pas untuk melarikan diri. Sebenarnya dirinya termasuk anak yang mudah diatur tapi saat kedua orangtuanya pergi selama-lamanya ia tak punya alasan lagi untuk menjadi anak patuh dan disiplin. Ia tak punya siapa-siapa lagi yang bisa ia banggakan. Ditambah lagi dengan keberadaan Gibran mengobrak abrik seluruh hidup tenangnya dengan peraturan-peraturan yang menyakitkan kepala.
"Masuk! Jangan bengong disitu."
Nadia memutar bola mata kesal. Satu-satunya orang yang bisa menyeretnya ke tempat ini hanyalah orang itu, Kapten Gibran Al fateh si penguasa alam semesta yang berstatus sebagai suaminya. Nadia sebenarnya lebih baik lupa ingatan daripada mengingat dirinya sebagai istri dari seorang Gibran. Pernikahan itu, jika bukan karena pesan ayahnya di akhir nafas lelaki yang dicintainya itu, ia tak akan pernah sudi menjadi istri orang tua sekaku kanebo kering itu. Seingatnya dulu Om Gibrannya adalah seorang cowok ganteng yang hangat begitu memanjakannya, menuruti setiap keinginannya bukan om-om tua pengatur yang kerjaannya cuma bisa memerintah hidupnya seenak perasaannya.
"Kamar Nad mana?"
Gibran menatap Nadia dengan kering berkerut "Itu! Kamu lupa ranjang pengantin kita?" Ujar Gibran dengan seringai nakalnya.
"Astaga mulutnya!!!" Nadia mengipasi wajahnya yang tiba-tiba menghangat. Ingatan saat malam pertama ia datang ke tempat itu benar-benar membuat ia memikirkan kembali keinginannya untuk membenturkan kepala di tembok agar segera amnesia. Dirinya yang pagi itu terbangun dengan posisi menelungkup diatas badan Gibran yang tak mengenakan baju dengan otot-otot liat yang super wow seketika mengubah dirinya seperti wanita ja*ang mengendus, menjilat, mengemut---astagaaaa, Oke salahkan dirinya yang tak bisa membedakan pangeran di surga dan Gibran si malaikat penjaga neraka dan minuman bening si*lan itu.
"Om jangan macam-macam ya. Nad laporin kak seto loh!"
Gibran mengedikkan bahu "Kak seto kamu itu tidak akan bisa apa-apa kalau om tunjukin kartu hijau." Balas Gibran mengambil alih koper Nadia dan menyeretnya masuk dalam kamar. Nadia menyusul dengan gerutuan tak berujung.
"Itu sepreinya gak bisa ganti pink saja? Hijau mulu kayak t*i kuda." Nadia melipat tangan di dada mengomentari satu persatu barang yang ada di kamar yang pernah di tempatinya selama seminggu.
"Terserah kamu saja." Gibran tak mau ambil pusing dengan urusan pemilihan warna. Bahkan tanpa ranjangpun ia masih bisa tidur nyenyak.
"Beresin pakaian kamu! Disini gak ada bibik yang bisa kamu perintah." Lanjut Gibran membuka koper Nadia dan membiarkannya begitu saja. Pria itu keluar kamar meninggalkan Nadia yang menganga tak percaya mendegar perintah dari si malaikat kerak neraka. Nadia menghentakkan kaki kesal membayangkan hari-harinya di tempat itu pasti tidak ada ubahnya dengan tinggal dibalik jeruji besi.
Bukannya membereskan kopernya Nadia malah melemparkan tubuhnya diatas ranjang yang tak seempuk ranjangnnya. Ia mengernyit saat merasakan punggungnya yang sedikit nyeri merasakan kerasnya kasur tipis Gibran. Badannya pasti hancur lebur kalau ia tidur setiap malam di ranjang seperti ini. Seminggu dulu saja ia sampai tidak masuk sekolah karena merasa badannya tak bisa di gerakan sama sekali. Oleh karena demi keselamatan jiwa dan raganya Ia harus pikirkan cara agar secepatnya keluar dari rumah hijau tersebut. Bahkan kalau pilihan terakhirnya adalah pura-pura mati, ia akan lakukan.
.
.
.
"Om, nad laper." Nadia keluar kamar dengan penampilannya yang masih sama. Baju hitam dan rok hitam hanya saja kunciran di rambut panjangnya sudah ia lepas.
Gibran yang tengah membaca buku di ruangan depan melirik jam di pergelangannya "Mau makan apa?" Tanyanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari halaman perhalaman buku di tangannya.
"Pizza, ayam bakar, dan thai tea yang ada di dekat rumah." jawab Nadia mendekat pada Gibran, tanpa segan duduk menyandarkan kepalanya di bahu bidang pria dewasa itu mengintip apa yang sedang dibacanya. Nadia mencibir melihat tulisan kecil yang selalu seperti obat tidur baginya. Seharusnya Gibran nikahi saja buku-bukunya tak perlu menyeret dirinya dalam masalah rumah tangga yang pelik. Tapi amanah papa? Nadia memanyunkan bibirnya mengendus-endus bahu Gibran. Baunya enak.
"Isi koper kamu udah dipindahin dalam lemari?" Gibran yang kegelian menjauhkan kepala Nadia dari badannya.
Nadia mengangguk, "Lengan nad sakit bangat. Butuh spa dan menipedi sekalian." Katanya sembari mengangkat kakinya bertumpu diatas meja. Sepatu boots selututnya masih terpasang lengkap membungkus kaki putihnya. Kepalanya tak lagi menyandar setelah diberi sentilan manis di jidatnya dari sang suami.
Gibran mendorong kaki Nadia dengan kakinya hingga terhempas diatas lantai.
"Duduk yang bener."
Nadia berdecih, sekuat tenaga mengepalkan tangannya memukul dada Gibran "Ngeseliiiiiin!!!" Pukulnya bertubi-tubi "Pokoknya nad nggak mau lama-lama disini. Sumpek. sempit dan arghhhh... tante-tantenya sibuk bangat nyinyirin nad." Ujarnya kesal. Ia tak menghiraukan bagaimana Gibran menatapnya yang penting ia harus segera meninggalkan tempat menyebalkan ini. Salah satu yang membuatnya tidak bisa betah di rumah hijau itu adalah omongan tetangga, ibu-ibu komplek yang bermulut manis namun menyimpan nyinyiran di belakangnya tentang statusnya yang masih sekolah tapi sudah menjadi seorang istri. Di tuduh MBA lah, penebus utanglah, nikah bayaran lah, paling parah dirinya dituduh menggoda Gibran si lelaki baik-baik, astagaaaaaa sinetron dan segala kebulshitannya dianut oleh ibu-ibu kurang kerjaan itu dan Nadia sangat membencinya.
"Tergantung sikap kamu." Kata Gibran tenang, mengabaikan semua umpatan dan makian gadis belia yang kini menatapnya dengan bibir manyun, kedua alis menukik tajam.
"Lapeeeeeer!!!" Nadia mengelus perut ratanya yang sudah mengeluarkan bunyi protes sejak di kamar tadi.
"Belum kenyang makan hati?"
"BELOOOOM!!! OM GAK ADA HATI, GAK ADA YANG BISA DIMAKAN!!!" Nadia kembali menjatuhkan kepalanya di bahu Gibran sengaja menghentakkannnya dengan sedikit keras.
"Kamu gak capek teriak-teriak?"
"GAK!!!"
Gibran terkekeh, ia meletakkan buku di tangannya diatas meja. Kedua tangannya beralih meraih pipi Nadia menepuk-nepuknya pelan membuat wajah Nadia terlihat semakin lucu dengan bibir monyong.
"Tunggu disini, om keluar beli makanan. Nanti malam saja kita memasak." Kata Gibran melepaskan kedua tangannya dari pipi gadis belianya lalu berdiri mengambil kunci motor yang tergantung di dinding dekat pintu kamar. Nadia segera beranjak menyusul saat melihat gibran membuka pintu keluar rumah.
"Tunggu disini saja."
"Nad ikut." Nadia berucap ngeyel. Satu tangannya mengapit lengan Gibran tak mau ditinggal.
Gibran menarik nafas melihat penampilan istri kecilnya yang terlihat seperti rocker kecil yang siap manggung, pakaian yang serba hitam super minim.
"Ganti baju sana!"
Nadia menggeleng "NO! Ribet, nanti om tinggal." Tolak nadia mengeratkan lilitannya di lengan berotot Gibran.
"Gak boleh ikut kalau begitu." Gibran pun tak mau kalah dengan gadis keras kepala yang bergelayut manja di badannya.
Nadia menggelengkan kepala dramatis. Kali ini kedua tangannya berpindah memeluk pinggang Gibran dari samping seolah tak ingin terpisah.
Gibran memijat pelipisnya yang tiba-tiba pusing akan kelakuan Nadia yang tak bisa diberi tau. Dengan langkah berat karena Nadia yang tak juga melepas pelukannya, Gibran masuk ke dalam kamar dan mengambil salah satu jaket Armynya yang ia gantungkan di belakang pintu. Tangannya melepas lilitan jari Nadia yang bertaut disisi tubuhnya.
"Pakai!" Ujarnya menyerahkan jaketnya pada Nadia.
Nadia menggeleng "Ih, gak matching, Om. Udah gini aja, keren. Ngapain sih ngerecokin style nadia?!" Kedua tangannya terlipat di dada menatap malas jaket Gibran yang menurutnya sangat tidak sesuai dengan pakaian yang ia kenakan.
Tak memperdulikan penolakan Nadia, Gibran memakaikan jaket miliknya ketubuh mungil Nadia tanpa kesulitan.
"Ayo!" Katanya puas melihat jaket besarnya membungkus badan Nadia.
Nadia menghentakan kaki kesal melihat penampilannya yang sangat tidak bergaya. Jaket gibran bahkan menyentuh ujung bootsnya. Apa-apaan ini, Udah mirip orang-orangan sawal, gerutunya sebal.
"Naaad!!!"
Suara Gibran dari arah luar rumah mau tidak mau menyeret langkahnya keluar. Mukanya kusut dan masam, menatap sebal pria yang sudah duduk tenang diatas motornya.
"Jadi ikut nggak?"
"JADIIII!!!" Ujarnya sebal lalu berjalan dengan kaki di hentakkan membuat bunyi yang sangat berisik.
"Tutup pintu!"
"ARGH!!! BAWEL!!!" Nadia rasanya ingin mengacak-ngacak wajah menyebalkan Gibran. Dengan langkah yang semakin di hentakkan ia berbalik untuk menutup pintu rumah.
"Buruuuu!"
"Iyaaaa ughhhh susah bangat sih ngoncinya." Nadia memukul daun pintu dengan kesal karena kesulitan mengunci pintu. Seumur-umur dia baru melihat modelan kunci dengan lubang berkarat seperti ini.
"Arg! Akhirnya. Ribet elaaaah." Nadia menendang pintu setelah berhasil menguncinya.
"Sekalian robohin dindingnya." Sindir Gibran.
Nadia memutar bola mata malas tak peduli sindiran yang diarahkan padanya. Dengan lincah ia melompat di belakang gibran, menyelipkan kedua lengan kecilnya dikedua sisi tubuh Gibran.
"Jalan!!! Cacing di perut Nad udah pada demo." Ditempelkan pipinya di punggung tegap Gibran.
Gibran melepas satu tangannya untuk mengencangkan pegangan Nadia di badannya. "Jangan di lepas."
"Hmmmmmm!!!"
Gibran menjalankan motornya keluar kompleks. Ia membunyikan klakson saat melewati pos jaga di gerbang depan. Kompleks perumahan prajurit ada di jejeran paling belakang disusul oleh para pejabat dan kemudian petinggi lain di bagian paling depan. Gibran dengan pangkatnya sebagai kapten korvet, perwira menengah menempati rumah di jejeran depan. Sebenarnya rumah asrama yang ia tinggali sangat layak tapi apalah artinya jika di bandingkan dengan kastil si tuan putri Nadia Gaudia yang super megah yang semua fasilitas ada di dalamnya.
"Udah sampe?" Nadia mengangkat wajahnya saat motor sudah berhenti. Ia memukul bahu Gibran gemas karena laki-laki itu bukannya menjawab malah meninggalkannya masuk ke dalam warung kecil beratap rumbia di hadapannya. Nadia mengibaskan rambutnya lalu dengan langkah penuh percaya diri menyusul Gibran yang sudah berdiri memesan makanan. Padahal ia ingin makan pizza, eh malah berakhir di warung penjual gado-gado. Sabaaaar Nad... Om kamu emang jelmaan siluman. Batinnya mengurut dadanya pelan.
"Tambahin esnya yang banyak om di tehnya." Ujarnya berlalu di belakang Gibran yang langsung menyampaikan pesanan si tuan putri.
Nadia duduk di deretan paling belakang yanh menghadap langsung kearah sawah warga yang sedang membentang hijau. Gibran menyusul setelah memastikan pesanannya di catat dengan baik dan tidak ada yang terlewatkan apalagi pesanan Nadia, Gibran tidak ingin ada drama di situasi yang panas begini di tengah orang banyak.
"Kita bangun rumah di tengah sawah aja gimana, Om?" Nadia menoleh pada Gibran menunjuk tengah sawah dengan mata berbinar.
Gibran melongokkan kepala. Angin siang menerpa wajahnya memberikan kesejukan di tengah cuaca terik. Tangannya terulur menyelipkan anak rambut nadia dibelakang telinga gadis itu.
"Pasti seru, Om. Paginya bisa liat matahari terbit, Sorenya kita bisa main layangan di tengah sawah, terus malamnya bisa liat banyak kunang-kunang deh." Nadia membayangkannya dengan ekspresi yang membuat Gibran menyunggingkan senyum tipis. Sudah lama sekali ia melihat senyum ceria Nadia yang seperti itu. Setelah kedua orangtuanya meninggal, hanya airmata dan bibir yang selalu mengucapkan kemarahan dan umpatan yang Gibran liat dari gadis itu. Salahnya karena ia tak meluangkan waktu lebih banyak untuk Nadia sehingga ia tumbuh menjadi remaja dan manja, terbiasa dengan keinganan yang selalu terpenuhi.
"Nanti Om pikirkan." Ucap Gibran menimpali seadanya. Tapi dalam hatinya yang terdalam, ia akan melakukan apapun demi kembalinya Nadia gadis manisnya yang pintar.
"Ini Bang pesanannya."
"Terima kasih."
Nadia semakin berbinar melihat saos kacang yang melumer diatas potongan nasi dan sayuran, keinginannya akan pizza hilang seketika. Es teh pun menggantikan thai tea kesukaannya. Se-labil itu seleranya.
"Selamat mak--"
"Bismillah, Nad." Tegur Gibran menahan sendok yang siap meluncur dalam mulutnya.
"IYA! BISMILLAH!!"
Gibran tersenyum tipis, mengelus pelan rambut Nadia.
---
Si rocker cilik
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Duuhh Gado-gado enaaaakkk bangeeeettt 😋😋😋😋😋
2024-09-20
0
Lalu
aku sampai sudah hapal Thor dgn kalimatnya,saking seringnya ngulang untuk di baca
2024-02-20
3
Sari Hanifbae
aku baca yg ke 4 kalinya niiih
2023-11-18
1