Nadia terbangun dengan kepala terasa berat dan nyut-nyut. Ia mendunduk dan hanya menghela nafas pendek saat mengetahui dirinya masih mengenakan seragam lengkap, rok putih dan baju batik sekolah. Nadia menyibak selimut yang menutupinya lalu turun dari ranjang dengan pelan. Langkah kecilnya membawanya ke arah dapur dimana ia mendengar bunyi blender dan peralatan dapur lainnya saling bersinggungan. Ia melirik jam di dinding saat melewati ruang tamu, waktu sudah menunjukkan pukul setegah enam sore.
"Om?" Panggilnya saat mendapati punggung lebar Gibran yang sedang berkutat dengan alat masak dan bumbu dapur.
Gibran menoleh sebentar lalu kembali melanjutkan kegiatannya menghancurkan aneka rempah masakan.
Nadia merasa kepalanya semakin berat, sekelilingnya terasa ikut berputar. Ia langsung mendudukan dirinya diatas kursi makan membaringkan kepalanya diatas meja. Gibran yang menyadari kediaman Nadia yang tak biasanya lalu menoleh dan langsung meninggalkan pekerjaannya saat melihat wajah pucat Nadia dibanjiri keringat.
"Nad kenapa?" Gibran meletakkan punggung tangannya di kening gadis itu dan cukup kaget merasakan suhu badan Nadia yang panas. "Ayo ke kamar." Gibran memapah Nadia kembali ke kamarnya. Dengan pelan membaringkan gadis itu diatas ranjang.
"Kepala Nad berat." Rintih Nadia. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering. Helaan nafasnya terasa begitu hangat.
"Nad istrahat. Om ambilkan obat." Gibran menyelimuti Nadia lalu beranjak mengambil kotak P3K yang selalu siap di rumahnya. Gibran kembali ke kamar membawa kotak obat bersamanya. Ia mengambil obat pereda nyeri lalu meletakkannya diatas meja. Setalah itu ia ke dapur mengambil makanan dan segelas air putih untuk Nadia.
"Nad, makan biar sedikit lalu minum obat." Gibran meletakkan piring nasi diatas meja di samping air putih. Nadia membuka matanya pelan.
"Nad gak mau minum obat." Ucapnya dengan suara sengau.
"Supaya sembuh."
Nadia menggeleng. Ia tidak suka obat. Selain karena rasanya pahit, Nadia juga selalu kesulitan menelan obat yang biasanya langsung keluar lagi menghadirkan rasa pahit diseluruh rongga mulutnya.
"Atau obatnya di hancurin, mau?" Tanya Gibran memberikan opsi. Selama ini kalau Nadia sakit ia akan menghancurkan obat dan memaksa Nadia menelannya tapi itu saat Nadia masih kecil, belum bisa melawan tapi semenjak mulai remaja, Gibran semakin kesulitan memaksa gadis manja itu minum obat.
Nadia menggeleng kuat. Ia memalingkan wajah menghindari Gibran yang sudah pasti tak akan melepaskannya dengan mudah.
Gibran menghela nafas pelan "Ya udah, makan nasi aja dulu supaya perutnya tidak kosong." usul Gibran, membantu gadis itu duduk.
"Buka mulutnya." Gibran mengarahkan sendok di depan mulut Nadia. Gadis itu menatapnya sekilas, mau menolak tapi wajah Gibran menunjukkan tidak mau menerima penolakan. Nadia membuka mulutnya dan membiarkan makanan yang terasa pahit di mulutnya itu masuk ke dalam lambungnya.
"Nad harus minum obat." Ujar Gibran disuapan terakhir Nadia.
Nadia menggeleng keras. "Kata Om tadi cuma makan." Gerutunya.
"Supaya cepat sehat." Gibran menyeka bibir Nadia yang menyisakan sebutir nasi.
"Pahit."
Gibran menghela nafas "Mana ada obat yang tidak pahit." Ujarnya sembari meletakkan piring diatas meja lalu mengambil minuman dan diberikan pada Nadia.
"Minum!" Gibran mengansurkan obat berbentuk pil pada Nadia yang langsung menolak tegas, menutup mulut dengan kedua tangannya. "Mau Om bawa ke rumah sakit?"
Mata Nadia membelalak. Ia tidak suka rumah sakit, ia membenci tempat itu. Nadia menggeleng kuat dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Bayangan saat kehilangan orangtuanya selalu muncul setiap ia melihat bangunan tempat merawat orang sakit itu. Tak heran, jika banyak orang bercita-cita menjadi dokter, Nadia malah memilih menjadi pengemis daripada menjadi dokter dan harus bekerja di rumah sakit.
"Ya sudah, minum obatnya." Paksa Gibran, melepaskan tangan Nadia dari bekapan mulut sendiri.
"Nad nggak mau Om." Nadia mulai terisak. Menggelengkan kepala kuat saat Gibran memegang kedua rahangnya memaksa nadia membuka mulut.
"Ayo, Nad jangan paksa Om buat ngikat kamu lagi." Gibran berujar tegas. Airmata dipipi Nadia mengucur deras. Bayangan saat Gibran mengikat kedua tangannya melesat dalam kepalanya. Gibran bisa melakukan apapun padanya tanpa ada perlawanan berarti.
"Ngggghhh!" Nadia mengunci rapat mulutnya. Gibran yang mulai jengah dengan sikap keras kepala Nadia tanpa pikir lama langsung berdiri dan mengambil dasi sekolah Nadia yang tergantung di belakang pintu lalu mengikat tangan gadis itu tanpa mendapat perlawanan berarti.
Nadia memberontak berusaha melepaskan tangannya namun tenaganya tak sebanding dengan Gibran apalagi keadaannya sedang sakit.
"Setelah minum obat. Om lepas." Ujar Gibran tegas.
Butir-butir air mata jatuh dari mata hitam bulat Nadia, memandang Gibran dengan penuh permusuhan. Terlebih saat laki-laki itu menekan rahangnya dan memasukan obat secara paksa diikuti air putih.
"Sudah." Gibran menghela nafas lega setelah obat itu sudah berhasil ditelan Nadia walaupun harus dengan cara yang sedikit kasar. Di depannya Nadia menangis sesugukkan, merasa kesal atas perlakuan Gibran barusan.
Gibran melepaskan ikatan tangan Nadia dengan perlahan "Maaf. Hanya dengan cara ini Nad bisa minum obat." ucapnya menghapus sisa air mata di pipi gadis itu. "Istrahat lah."
***
Nadia membuka matanya dan dengan pelan menyesuaikan dengan cahaya matahari yang masuk lewat celah cendela kamarnya. Demamnya sudah mulai turun sejak semalam setelah minum obat dengan cara luar biasa tragis dari om nya. Pagi tadi Gibran membangunkannya lagi untuk minum obat tapi tidak lagi dengan mengikatnya karena Om nya menemukan cara baru yang tidak kalah ekstrimnya dari yang semalam. Entah bagaimana caranya Gibran menyelipkan obat dalam mulutnya yang pasti saat Nadia berpikir Gibran kembali 'berulah' ternyata lelaki itu memasukan obat dalam mulut Nadia dengan lidahnya. Memikirkannya saja membuat kepala Nadia kembali nyut-nyut. Laki-laki itu terlalu banyak modusnya, ia sampai pusing sendiri menghadapi orang dewasa yang baru saja membebaskan sisi liarnya.
Hari ini ia izin dari sekolah. Katanya Gibran sudah menelfon wali kelasnya untuk mengabarkan keadaannya. Walaupun demamnya sudah tidak sepanas semalam, badannya masih butuh istrahat karena berdiri terlalu lama masih sedikit membuatnya pusing.
Tok tok tok!
"Assalamualaikum Naaaaad. Yuhuuuu!"
Nadia yang baru saja ingin ke dapur mengambil air minum menghentikan langkahnya. Suara perdebatan di luar rumah yang tidak asing di telinganya membawa langkahnya berbalik arah. Ini mengintip lewat jendela sebelum membuka pintu dan tampak mengerutkan kening melihat tiga orang sahabatnya sedang mendebatkan sesuatu.
Nadia melirik jam, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, seharusnya tiga gadis itu sedang di sekolah sekarang mengikuti pelajaran bukannya berdebat di depan rumah orang.
"Waalaikumsalam. Lo bertiga ngapain disini?" Sambutan 'manis' dari tuan rumah yang 'ramah'.
"Nadiaaaaaaa!!!"
Nadia terhuyung kebelakang karena tidak siap dengan serangan tiga orang gadis bar-bar yang kini memeluknya erat.
"Aww! Lepasin gilak!" Nadia mengurai pelukan dari tiga sahabatnya itu lalu memegang kepalanya yang tiba-tiba pusing.
"Ops, Sorry Nad, sorry." Aleksis langsung memegang Nadia lalu mendudukan gadis itu di sofa.
"Duh, maafin kita." Sandra dan Gendis duduk di dekat kaki Nadia dengan wajah panik.
"Lo nggak apa-apa kan?" Gendis memijat betis Nadia, bingung mau melakukan apa.
"It's oke. Gue cuma kaget aja diseruduk tiba-tiba." Ujar Nadia menenangkan ketiga sahabatnya. Aleksis, Sandra dan Gendis mengelus dada lega.
"Kalian ngapain datang jam segini? Bukannya masih jam belajar ya?" Tanya Nadia kemudian menatap selidik ketiga sahabatnya yang kini malah saling mencolek.
"Jengukin lo lah." Ujar Sandra menyengir lebar.
"Iya, Nad. Sepi gak ada lo di skolah." sambung gendis.
"Ya tapi jangan pas jam belajar dong. Kalian izin apa bolos?"
"Bolos doooong." Sambar Aleksis bangga. Emang dasar sahabat-sahabatnya tidak ada yang beres.
"Songong amat lu bolos." Timpal Nadia heran.
"Kan niatnya mulia buat jengukin lo." Ujar Gendis polos. Ck. Gendis juga, boleh lah juara kelas, tapi kok b*gonya ikutan juara juga ya.
"Niatnya sih baik, pelaksanaannya yang sesat." Ujar Nadia memijit pelipisnya.
"Ck sekali-kali Nad. Tapi jangan bilang-bilang sama Om gi ya kalau nanyain kenapa kita bisa kesini sekarang. Bilang aja kami dapat izin khusus dari sekolah." Pinta Aleksis menangkupkan tangan. Bisa diusir sama Gibran mereka kalau ketahuan bolos sekolah. Bagus kalau cuma diusir, kalau di kembaliin di sekolah kan namanya setor nyawa. Mana pelajaran pak Jatmi ngebosanin lagi.
"Dih ogah! Gak mau gue disuruh bohong, apalagi sama Om Gi. Kalau ketahuan hukumannya dobel."
"Diem aja udah. Ya ya ya... kan gak bohong." Lanjut Sandra memberi solusi sesat.
"Kalian naik apa kesini? Gue gak denger suara mobil." Tanya Nadia melongokkan kepala keluar pintu.
"Grab. Kami manjat dinding dong. Tempat pelarian kita biasanya." Terang Sandra bersemangat. Nadia meringis, tempat pelarian yang selalu menjadi penyebab utama ia dihukum Gibran.
"Betewe Om Gi mana? Kok sepi?" Sandra menelisik sekelilingnya.
"Kantor."
"Lo ditinggal sendiri?" Gendis berdiri lalu duduk di salah satu kursi kosong begitupun Sandra.
"Iya lah emang sama siapa lagi."
"Tapi kan lo lagi sakit. Tega bener." Aleksis mengelus bahu Nadia.
"Udah baikan kok gue. Besok juga udah bisa masuk sekolah." Terang nadia kalem.
"Tetep aja. Gue mah kalau jadi elo, gak mau ditinggal." Sela Sandra.
"Makanya istrinya Om Gi bukan lo tapi Nadia." Ujar Gendis yang langsung mendapat pelototan tajam dari Sandra.
"Kalian pulang aja kalau cuma mau gangguin istrahat gue. Gue butuh istrahat." Nadia menatap ketiganya malas.
"Yah lo jahat banget sih. Gue kan belum ketemu Om Gi, masa lo ngusir." Sandra menatap Nadia manyun.
"Ck. Nanti juga lo liat idola lo itu." Nadia menyandarkan badannya di sandaran kursi.
"Iya sih, Nad butuh istrahat. Nanti kita ketemu di skolah." Aleksis berujar bijak
"Bener." Gendis meletakkan keranjang buah dan beberapa jenis kue di atas meja. "Gak ada minumannya karena kata momi gue, kalau lagi demam banyakin minum air putih." Jelas Gendis tanpa di minta.
"Banyak beneer. Gue bisa sekalian jualan ini mah." Celetuk Nadia membuat ketiga sahabatnya tertawa.
"Lo lekas sehat ya. Cheers butuh pemimpinnya." Ucap Aleksis memeluk hangat Nadia, menyusul sandra dan gendis.
"Thanks, guys." Nadia tersenyum hangat kepada ketiga sahabatnya. Biarpun dimata guru-guru dan anak-anak lain mereka dicap sebagai pembuat onar, tapi Bagi Nadia Aleksis, Sandra dan Gendis adalah kebaikan lain yang Tuhan beri dalam hidupnya yang sepi setelah Om gibran tentunya.
Nadia mengantar ketiga sahabatnya keluar rumah. Sebuah mobil sudah menunggu di depan rumah untuk menjemput ketiga pewaris itu.
Nadia kembali ke dalam rumah setelah sahabat-sahabatnya pergi. Ia mengambil satu apel dalam keranjang lalu menuju dapur untuk mencucinya. Nadia kembali ke ruang tengah dengan apel bersih di tangannya. Ia berbaring diatas karpet yang sudah Gibran sediakan untuknya sebelum berangkat ke kantor dengan bantal serta selimut disana. Nadia menarik selimut lalu membaringkan badannya dengan nyaman.
.
.
Gibran membuka pintu yang tidak terkunci setelah mengucapkan dan tidak mendapatkan jawaban.
"Istri lo tidur?" Gio yang menyusul di belakangnya langsung duduk di kursi setelah Gibran membuka pintu. Vina, Elsa, dan Dewa menyusul di belakang.
"Kenapa tidak di bawa ke rumah sakit Nad nya, bang?" Tanya Vina duduk di samping Gibran yang sedang melepas sepatu larasnya.
"Cuma demam biasa." Jawab Gibran santai. Ia berdiri meletakkan sepatunya di rak sepatu yang ada di belakang pintu.
"Udah di periksa?" Tanya Elsa, netranya tertuju pada rak sepatu dimana ada beberapa sepatu Gibran berjejer bersama sepatu-sepatu sekolah Nadia. Melihat ini saja Elsa merasa bahkan rak sepatu sedang mengejeknya sekarang.
"Sudah. Semalam dokter datang." Ungkap Gibran. "Saya liat Nadia sebentar." Gibran masuk ke ruang tengah dan menemukan Nadia sedang tertidur meringkuk di depan tv. Gibran menghampiri Nadia, memegang kening gadis itu. Seulas senyum lega terpatri di wajahnya saat tau suhu tubuh Nadia sudah kembali normal. Setelah itu ia kembali bergabung dengan keempat temannya di ruang tamu.
"Nadia sedang istrahat." Ujar Gibran meletakkan air minum kemasan diatas meja setelah memindahkan beberapa jenis kue dan keranjang buah yang memenuhi meja. Saat membaca nama toko kuenya, Gibran langsung menebak kalau itu dari sahabat-sahabat Nadia. Siapa lagi orang yang mau menghabiskan uang jutaan rupiah hanya untuk beberapa potong kue kalau bukan para Crazy rich student, sahabat-sahabat istrinya.
"Harga kuenya sama dengan harga makanan gue selama seminggu meeen." Celetuk Dewa setelah melihat price tag yang belum terbuka dari kue-kue yang baru saja di pindahkan Gibran.
"Siapa yang berkunjung, Bang?" Tanya Vina ikut penasaran dengan tamu yang baru saja membuat jiwa misqiiinnya bergejolak.
"Teman sekolah Nadia." Jawab Gibran kalem. Ia tentu akan syok juga kalau seandainya ia baru mengenal anak-anak itu. Siapa yang tidak kaget melihat harga tas sekolah siswa SMA yang hampir sama dengan gaji seorang prajurit dua garis merah dalam sebulan.
"Gilak! Horang khayaaaa" Dewa menggelengkan kepala takjub.
"Lo nggak liat bininya Gibran, bro? Nangis dompet lu kalo lu yang jadi suaminya." Ucap Gio yang mengundang tawa rekannya yang lain terkecuali Dewa yang keki setengah mati.
"Iya sih. Gue aja ampe kaget liat outfit Nadia di internet. Puluhan jetoooong." Lanjut Vina tak kalah speechless-nya saat tak sengaja melihat di salah satu situs belanja online harga baju yang Nadia kenakan saat mereka pertama bertemu di warung gado-gado.
"Kenapa jadi bahas pakaian Nadia, itu suaminya di depan kalian." Elsa yang sejak tadi menyimpak tak tahan juga mendengar komentar-komentar tentang betapa kayanya seorang Nadia. karena ia sadar, walaupun kedudukan ayahnya seorang petinggi TNI, tak akan pernah menandingi kekayaan Gaudia Group. Ia melirik Gibran yang tampak tak terganggu sama sekali dengan ucapan Dewa dan vina mengenai istrinya.
"Tapi Nad anteng ya, Gi. Padahal biasanya anak-anak konglomerat seperti dia hidupnya glamor." Vina belum juga habis bahan membahas Nadia.
Gibran mengedikkan bahu. Mereka tidak tau saja kalau kemarin Nadia baru saja membeli sebuah tas seharga hampir sepuluh juta. Untung saja tidak sering, kalau Nadia sophaholic, sudah pasti ia mesti mencari pekerjaan sampingan untuk tambah-tambah penghasilan.
"Setuju gue sih. Istri lu cukup bijak ngatur gaji seorang prajurit." Imbuh Gio yang hanya mendapat seulas senyum tipis dari Gibran. Mereka salah menilai gadis kecilnya itu. Bagaimana mau mengatur gaji, harga garam di pasaran saja Nadia tidak tahu.
"Ketemu pawangnya sih." Tambah Dewa lagi.
"Lo salah bro. Nad--"
"Om?"
Vina menghentikan kalimatnya saat Nadia muncul dengan wajah kuyu yang tampak lucu mengenakan baju kaos kebesaran Gibran yang menutupi lututnya. Diam-diam tentara wanita itu melirik sisi kanannya saat Nadia dengan santainya menjatuhkan diri diatas pangkuan Gibran.
Ada yang patah tapi bukan ranting.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
Naura Sabrina
salah sendiri nongol terus d rumah orang
2023-03-07
1
buk e irul
ada yang patah tapi bukan ranting...🤣
2022-07-13
1
EkaYulianti
yg patah, hati nya Elsa
2022-07-09
1