"Bu, Ibu jangan gitu dong. Dengerin juga penjelasan kita. Si Bu--Em maksud saya si cantika kesiram kran karena salah dia sendiri bukan karena Nadia atau siapa pun. Ngomong lo Tik, jangan diem aja kayak orang bisu." Aleksis menghardik Cantika yang diam sesunggukan menatap lantai.
Nadia yang dituduh sebagai tersangka utama bahkan sudah berbusa menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi namun karena imagenya sebagai biang onar di Nusantara membuat ia menjadi sosok yang tak dipercaya lagi. Benar-benar menyebalkan, bertemu dengan orang dewasa yang merasa diri paling benar, tidak bu wardah, Om Gibran, semuanya sama saja.
"Kalian bertiga silahkan keluar. Bawa surat ini untuk orangtua kalian." Bu wardah mengeluarkan tiga amplop surat dari lacinya dan menyerahkannya pada Aleksis, Sandra dan Gendis. Sementara Nadia dan Cantika masih di dalam ruangan BK menunggu wali masing-masing.
"Nad, kenapa sih selalu kamu setiap hari? Baru juga kemarin dapat skors karena rokok, Sekarang membuli cantika. Ibu benar-benar tidak habis pikir apa yang ada dalam pikiran kamu itu."
Nadia diam. Tak ada gunanya bagi nadia menjawab semua tuduhan itu. Iya membela diripun tidak akan ada yang percaya jadi biarkan saja, toh skors tidak buruk-buruk amat.
"Jawab Nad!"
"Jawab apa sih bu, percuma. Ibu juga gak bakal percaya kan." Nadia berujar malas. Untuk apa iya habiskan waktu membantah semua tuduhan kalau ternyata tersangkanya sudah di tetapkan.
Tok tok tok
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam, Pak Gibran. Silahkan masuk."
Nadia melirik sosok Gibran dengan sudut matanya. Laki-laki itu masih mengenakan seragam lengkapnya seperti tadi pagi.
"Kalian berdua tunggu di luar."
Nadia langsung keluar tanpa menoleh sedikitpun pada Gibran. Ia tau, hidupnya kali ini benar-benar akan berakhir. Tapi sudahlah, ini bukan pertama kalinya kan.
Sepeninggal Nadia, Gibran langsung duduk setelah di persilahkan oleh bu wardah.
"Mohon maaf pak Gibran, kami mengganggu waktu anda. Tapi kali ini Nadia dan teman-temannya benar-benar keterlaluan. kasus bullying adalah kasus yang sangat mencoreng sebuah institut pendidikan. Kami tau, Gaudia Group adalah penyumbang dana terbesar di sekolah ini tapi peraturan sekolah harus tetap di tegakkan."
Gibran mengangguk paham "Maafkan saya, Bu. Ini kelalaian saya sebagai wali Nadia sampai ia bisa melakukan hal yang ibu sebutkan tadi. Tapi bu, apakah Nadia benar-benar terbukti membully temannya? Karena setau saya, senakal apapun Nadia, ia bukan anak yang suka menindas orang lain." Ujarnya.
Bu wardah menarik nafas pelan, "Saya yang melihat langsung kejadiannya pak. Nadia menyiram temannya di kamar mandi."
"Ibu yakin Nadia yang melakukannya?"
Bu wardah tampak ragu-ragu untuk menjawab. "Begini saja, Pak. Kami akan melakukan pemeriksaan ulang tapi Nadia tetap harus di hukum untuk membersihkan kamar mandi selama tiga hari karena selain kasus bully, Nadia juga melanggar peraturan sekolah dengan membawa alat kecantikan di sekolah."
Gibran mengangguk "Baik, bu. Tapi tolong, sampai kasus ini benar-benar jelas, saya harap Nadia tetap mendaptkan haknya untuk belajar."
"Pasti, Pak. Kami jamin itu."
"Kalau begitu saya permisi. Nadia saya bawa pulang untuk hari ini."
"Iya, Pak Gibran. Silahkan."
Gibran keluar ruangan BK dengan wajah dingin dan kaku.
"Ambil tas kamu."
Nadia berlalu ke kelasnya tanpa menjawab ucapan Gibran. Laki-laki itu menghela nafas panjang sebelum kemudian kembali ke tempat parkir motornya.
.
.
"Saya kembali ke kantor. Kamu di rumah saja, jangan kemana-mana." Ucap Gibran setelah menurunkan Nadia di depan rumah.
Nadia mengangguk. Lalu tanpa menunggu Gibran pergi, ia langsung masuk ke dalam rumah yang tidak terkunci.
Sesampainya di dalam rumah, Nadia bergegas menutup pintu rapat-rapat, lalu mengintip di balik jendela memastikan Gibran sudah tidak di depan.
"Huuuuf, Alhamdulillah. Selamat." Nadia mengelus dadanya lega. Setelah suara motor Gibran tak lagi terdengar, ia segera masuk ke dalam kamar lalu membuka lemari mengeluarkan beberapa potong pakaian dan memasukkan dalam ranselnya. Nadia mengambil beberapa lembar uang merah dari kantong baju Gibran dan memasukkannya ke dalam dompetnya.
"Pinjam om." Ucapnya seolah Gibran mendengarnya.
Nadia baru akan keluar rumah setelah menyadari bahwa penjaga pos akan mencurigainya jika ia membawa tas besar maka segera ia membuka pakaian tersebut dari tasnya dan hanya menyisakan satu pasang saja.
"Siap jalan." Nadia menepuk tas ranselnya dengan senyum lebar. Wajahnya tiba-tiba sendu saat melihat foto Gibran dan dirinya yang terpajang di dinding "Maaf ya, Om, Nad belum siap dapat amukan om hari ini jadi sementara Nadia pergi dulu. Nad bisa jaga diri, Om tenang saja." Ujar Nadia pada foto tersebut.
Nadia keluar rumah dengan hati-hati. Tidak akan lucu kalau pelariannya tertangkap sebelum sempat benar-benar lari.
"Selamat siang, Dek Nadia. Kok sudah pulang dari sekolah?"
Nadia menggigit bibir dalamnya kesal saat suara nyinyir itu menyapanya. Ia memang tak bisa menghindar bertemu dengan tante nyinyir itu tapi tidak sekarang saat ia sedang dalam usaha melarikan diri.
"Eh tante agus. Selamat siang, tante. Ia nih, ada buku ekskul yang ketinggalan." Jawab Nadia berbohong. Dalam hati ia memohon ampun karena sudah membohongi orang tua.
"Oh, Dek Nadia ikut ekskul? Ekskul apa? Bisa dong nanti ngajarin ibu-ibu asrama." Tetangga Nadia satu ini benar-benar ramah sampai-sampai Nadia ingin menjadikannya Ibu RT saking ramahnya.
"Ah iya, tante. Permisi ya tante, saya buru-buru." Nadia bergegas pergi tanpa menghiraukan Ibu Agus yang mulai aksi nyinyirnya.
Saat melewati pos jaga, Nadia menundukkan kepala menyembunyikan wajahnya. Dan semesta sedang mendukungnya sekarang, tak ada satu penjagapun yang menegurnya. Sebuah keajaiban karena biasanya saat lewat di pos jaga, adik-adik tingkat Gibran akan selalu memanggilnya dengan panggilang 'Tante Gibran' benar-benar menggelikan. Nadia berlari menuju sebuah warung kecil tak jauh dari asrama untuk menunggu angkot. Ojek tentu bukan pilihan bijak karena Ojek pengkolan di sekitar sini pasti sudah di hafal oleh Gibran.
***
"Assalamualaikum, Bang Gi."
"Oh, Waalaikumsalam dokter Elsa."
Gibran yang tengah membagikan makanan bagi para pendonor darah tersenyum tipis pada Elsa yang baru saja menyelesaikan tugasnya mengambil darah. Hari ini kesatuan mereka sedang melakukan kegiatan donor darah gratis untuk memperingati hari kesaktian pancasila. Dokter Elsa dan beberapa dokter muda lainnya dari Universitas negri ikut serta dalam kegiatan tersebut sebagai tim medis.
"Dari sekolah Nadia?"
Gibran mengernyit, terlalu cepat berita tersebar, padahal ia hanya meminta izin pada salah satu petugas tapi sekarang bahkan Elsa sudah mendengar kabar ini. Gibran tersenyum lembut.
"Iya." Ucapnya sembari melanjutkan kegiatannya membagi makanan.
"Nadia pasti gadis yang aktif. Bang Gi harus banyak bersabar." Elsa mengambil satu gelas minuman mineral dari dos yang sedang dibawa Gibran.
Gibran hanya menimpali dengan senyum tipis.
"Susu?" Gibran menyodorkan susu kotak kepada dokter Elsa.
"Thanks."
"Sama-sama." Gibran duduk disalah satu brangkar kosong setelah pekerjaannya selesai. Elsa yang juga tidak memiliki pekerjaan lain, ikut duduk di brangkar yang ada di depan Gibran.
"Nad sangat beruntung memiliki abang. Bertanggungjawab dan bisa diandalkan." Elsa berucap sembari memainkan alat tetoskop yang menggantung di lehernya.
"Gimana kuliah spesialisnya, lancar?" Gibran mengalihkan pembicaraan dengan membahas hal lain. Membicarakan keadaan rumah tangganya bukanlah kebiasaan gibran. Elsa yang paham Gibran tak ingin membahas privasinya hanya tersenyum kecut.
"Alhamdulillah lancar. Berkat doa mama dan papa. Doa abang juga."
Gibran terkekeh, "Banyak yang mendoakan dokter Elsa. Saya bukanlah apa-apa."
Elsa menggeleng "No. Abang berarti banyak buat Elsa."
Gibran mengangguk samar. Ia melirik jam di pergelangannya. Sebentar lagi waktu ashar dan kegiatan pun sudah selesai. Berlama-lama dengan seorang wanita lain bukanlah hal bijak yang ia lakukan.
"Maaf, Dok. Saya pamit duluan. Sebentar lagi waktu sholat." Gibran beranjak dari tempat duduknya.
"Ah, Iya. Elsa juga harus pulang. Mama pasti sudah menunggu."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, bang Gi."
Elsa menatap punggung Gibran yang menjauh dengan perasaan sesak yang menghimpit dadanya. Perasaan ini terlalu menyakitkan dan ia tidak tau lagi bagaimana caranya untuk mengikhlaskan sosok yang dicintainya itu.
***
"Assalamualaikum, Nad?" Gibran membuka pintu dan mengernyit saat mendapati suasana dalam rumah yang sepi. Biasanya sore begini Nadia sedang menonton tv dengan volume yang membuat tetangga sebelah ingin membanting pintu.
Perasaan Gibran mulai tak enak saat melihat beberapa potong pakaian Nadia berserakan diatas lantai. Seingatnya ia sudah merapikan kamar saat berangkat tadi lalu ini apa?
"Nad? Kamu dimana?" Gibran membuka pintu kamar mandi namun tak menemukan nadia disana. Perasaannya mulai diliputi kekhawatiran mengingat kediaman nadia saat ia jemput di sekolah tadi. Belum lagi otak ajaib Nadia yang selalu memiliki ide-ide cemerlang untuk melakukan hal-hal luar biasa.
Gibran segera mengambil hpnya lalu menelfon rumah.
"Assalamualaikum mbak, Nadia pulang ke rumah?"
"...."
"Tidak ya, mbak. Ya sudah, kalau Nadia kembali ke rumah besar tolong kabari saya."
"...."
"Makasih, mbak. Assalamualaikum."
Gibran mengusap wajahnya kasar. Kemana lagi anak itu. Sebandel apapun Nadia, sekeras apapun dia menghukum gadis itu, tidak sekalipun Nadia menghilang seperti ini.
Gibran segera menelfon sahabat-sahabat Nadia yang lain. Selain rumah besar, Nadia hanya punya tiga tempat pelarian lainnya, yaitu ketiga sahabatnya. Gibran menghela nafas gusar saat tak seorangpun dari sahabat Nadia yang mengetahui kabar gadis itu.
Kemana kamu, Nad?
Gibran melirik jam tangannya. Sudah hampir satu jam lamanya menelfon semua kenalan Nadia tapi tak seorangpun yang mengetahui keberadaan gadis itu. Gibran lalu ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah solat maghrib ia akan melanjutkan pencariannya.
.
.
.
"Jadi gini rasanya kabur? Menyenangkan juga." Nadia terkekeh akan pemikirannya sendiri. Berada diatas puncak gedung Gaudia Group tak pernah dibayangkannya akan semenyenangkan ini. Ia bisa melihat banyak bintang dan juga kendaraan berlalu lalang yang terlihat seperti mobil mainan di bawah kakinya.
Hari ini ia sudah membuat kesal Gibran lagi. Sepanjang hidupnya, mungkin hanya masalah yang ia hadirkan untuk Gibran. Padahal Om nya itu sudah berbaik hati mau mengurusnya saat ia hanyalah sebatang kara di dunia ini. Ia tidak pernah berniat menyusahkan Gibran hanya saja setiap keadaan selalu dirinya di posisi salah. Mungkin saja kehadirannya di dunia ini juga kesalahan. Mungkin seharusnya saat itu ia memaksa ikut mobil orangtuanya agar bisa bersama orangtuanya selamanya sehingga tidak perlu ada pihak yang ia repotkan.
Nadia membaringkan badannya telentang beratapkan langit. Udara dingin tak membuatnya beranjak dari tempat itu.
Bunda, Ayah, Nad kangeeen. Lirihnya tanpa sadar liquid bening itu mengalir dari sudut matanya.
Ya Allah, ambil Nadia. Nadia ingin Bunda dan Ayah. pintanya dalam hati. Malam semakin larut, sudah hampir lima jam ia bertahan di tempat itu. Hp sengaja ia matikan karena Gibran sudah pasti akan melacaknya lewat GPS.
"Sudah selesai acara larinya?"
Nadia tersentak, ia langsung terduduk saat melihat keberadaan Gibran yang menatapnya tanpa ekspresi.
"Om kok disini?"
"Harusnya dimana?"
Gibran berjalan menuju terali besi yang tadi di duduki Nadia.
"Kita pulang?"
"Nad mau disini." Nadia mengambil jarak beberapa langkah dari Gibran.
"Sampai kapan?" Gibran melirik jam tangannya. Sebentar lagi tengah malam.
"Sampai kapan-kapan." Jawab Nadia sekenanya. Wajahnya pias, namun egonya menahannya untuk bersikap lemah.
"Kenapa lari dari rumah?"
"Itu bukan rumah tapi penjara."
"Penjara?"
"Iya, penjara dan Nad gak mau disana."
"Kamu tidak punya pilihan."
"Kenapa tidak? Ada rumah Nad yang bisa Nad tinggali."
Gibran menoleh, dengan bibir tersenyum simetris "Rumahku adalah rumah kamu."
"Nggak."
"Sekali lagi saya bilang, Nad tidak punya pilihan."
"OM KOK MAKSA!?"
"Bukan memaksa tapi wajib." Ujar Gibran tanpa beban.
Nadia mengambil tasnya lalu sekuat tenaga melemparnya mengenai punggung Gibran.
"Jahat!"
"Sudah? Ayo pulang. Saya tidak punya waktu berlama-lama disini." Gibran mendekat kearah Nadia.
"Pulang aja sendiri. Nad gak mau." Nadia bersiap akan lari namun segera di tahan oleh Gibran.
"OM!"
"Jangan keras kepala Nadia. Saya sedang tidak ingin di bantah sekarang."
"Lepasin Nadia, Om!" Nadia yang berada dalam kuasa Gibran hanya bisa berteriak karena tak ada gunanya melawan si raksasa.
Gibran lantas membopong Nadia yang terus memberontak layaknya anak kecil. Hanya dengan satu tangannya ia bisa melumpuhkan gadis kecil itu.
"Diem atau malam ini om rendam kamu dalam kolam asrama."
Nadia langsung terdiam mendengar ancaman yang tak main-main itu. Iya tidak akan mengambil resiko mendapat dua kali lipat hukuman dari Gibran.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments
anca
sampaikan aja unek unekmu itu biar gibran juga paham,,,
bar bar boleh tapi bodoh jangan,,,,kamu kudu lebih cerdik dr lawanmu mau cantika mau elsa ato siapapun
2022-04-21
4
⸙ᵍᵏKᵝ⃟ᴸ🦎ᵏᵉʸ
lucu bin seru😘😘😘
2022-02-11
1
Cucu Saodah
hah... kurang jauh dong kabur nya... jadi ketahuan wkwkwkw
2021-12-11
1