20 Ipar yang Sinis

Gilang menyanggupi syarat dari Galih. Soal selanjutnya akan dipikirkannya lagi nanti. Yang paling penting sekarang perkara tagihan iurannya bulan ini terselesaikan, begitu pikirnya.

Gilang mengirim nomor rekening kepada Galih yang kemudian mentransferkan sejumlah nominal yang diminta tadi melalui m-bangking. Setelah itu, tak berapa lama tampak Ely dan Gilang sudah berkemas hendak pulang bersama Fifi. Yah, memang mereka tak perlu mengemas banyak baju atau barang karena setiap kali ke sini ya hanya bawa sedikit bawaan. Kentara sekali kalau memang tidak ada rencana untuk menginap.

Lana yang masih sangat kesal dengan sikap mereka itu entah kenapa senang kali ini melihat kepulangan cepat mereka. Berbeda dengan Bu Tutik yang sedikit marah.

"Kamu kok nggak mau nginep, sih, Gilang? Ibu belum cerita semuanya, loh," kata wanita bercelak tebal itu dengan nada menggerutu.

"Duh, maaf, Bu. Nanti ceritanya bisa lanjut di telfon aja, ya," jawab Gilang pendek.

"Maaf, Bu. Kalau nginep kasihan Fifi besok harus bolos, dong?" Ely ikut menambahkan alasannya.

"Halah, Fifi masih TK aja. Mau bolos berapa hari juga nggak akan ada masalah yang berarti. Kalian aja emang gak mau nemenin Ibu lama-lama!" sanggah Bu Tutik kemudian.

Tapi ia langsung berbalik ke dalam kamar tanpa mau mengantar Gilang, Ely dan Fifi keluar. Alhasil, hanya Galih yang mengantar mereka hingga ke mobil. Lana enggan. Dia bahkan hanya menyapa Fifi dan menyelipkan sebuah amplop kecil bergambar kartun yang sudah diisinya uang. Ia memang selalu menyiapkannya khusus untuk para keponakan.

"Ingat, ya, Mas. Lepas ini jangan boros lagi, utamain dulu gaji untuk bayar tagihan. Baru sisanya untuk makan sederhana dan kebutuhan lainnya. Jangan kebalik," ujar Galih kembali menasihati abangnya.

Gilang hanya diam. Namun, tak begitu halnya dengan Ely yang merasa tersinggung.

"Kamu sok ngatur aja. Kamu pikir aku nggak seperti itu ya ngaturnya! Kamu sama Lana sih enak, gak bayar kontrakan karena tinggal gratis di sini. Coba kalian kontrak, pasti juga akan terbelit utang!"

Galih meradang.

"Mbak! Kalau Mbak mau gratis silakan tinggal di sini. Asal Mbak tahu, Lana dan saya akan dengan senang hati bertukar tempat dengan kalian kapan pun. Sungguh, Mbak, asal kalian mau bersikap baik pada Ibu, aku sangat berkenan kalau kalian yang tinggal di sini. Biar kami yang pergi!"

"Halah! Bolak-balik tawaran itu aja yang kamu ajuin. Jelas-jelas aku nggak sudi di sini, kok."

"Lalu, kalau nggak sudi kok sepertinya iri sama kami? Padahal kami di sini juga bukan mau kami, kan?"

"Udah, udah. Yuk, pulang aja, Ely. Aku akan segera bayar utangku, Galih. Jangan banyak omong mentang-mentang udah minjamin uang lah. Sama saudara kok gitu!" sergah Gilang yang kemudian sudah masuk ke dalam mobilnya diikuti oleh Ely dan Fifi.

Fifi terus melambaikan tangan ke arah omnya. Hal mana membuat Galih tetap berdiri di sana demi menjaga perasaab gadis cilik itu. Padahal, dalam hatinya cukup tersinggung dengan perkataan kakak dan kakak iparnya itu. Sangat tidak tahu berterima kasih sekali.

Galih pun kembali ke dalam kamar. Ia lalu memberitahu istrinya soal kejadian barusan.

"Hah? Nah, kan betul, Mas. Aku sendiri udah nyangka kalau mereka itu lagi terbelit utang. Itu tagihannya aja sepuluh juta, kira-kira pokok pinjamannya berapa tuh, Mas? Buat apa mereka emangnya pinjam segitu banyak, ya? Ya Allah," keluh Lana kemudian.

"Yah, palingan Mbak Ely masih aja suka berhura-hura dan nge-mall gak karuan." Galih mencoba menerka.

Mereka memang sering melihat gaya hidup kakak iparnya itu di akun sosial medianya. Tampak sangat berkelas dan sering liburan ke luar kota, juga nongkrong di mall. Berbeda sekali gaya hidupnya dengan Gilang dahulu semasa masih single.

Namun, Gilang yang malang memang tak punya pendirian. Dia begitu menurut pada apa pun kemauan istrinya. Tanpa ada banyak pertimbangan. Hal mana akhirnya kini malah menjeratnya dalam hutang berkepanjangan.

"Lagi-lagi Mas nyalahin pihak istri! Ya tanggung jawabnya Mas Gilang lah untuk ngarahin istrinya. Kalau gak bisa ya itu berarti bukan sepenuhnya salah si istri. Suami begitu menikahi wanita, tanggung jawabnya itu banyak. Gak cuma nafkahin aja, tapi juga bimbing ke jalan yang benar," sergah Lana.

"Tapi Mas Gilang emang tipenya lemah sama wanita, Dek—"

"Ya lantas gimana dong solusinya? Dibiarin aja? Kan udah tanggungan dia! Berubah, dong!" tukas Lana gusar sekali dengan sikap abang dari suaminya itu.

"Huuuft, Mas cuma bersyukur punya istri seperti kamu, Dek. Duh, gak kebayang kalau istri Mas seperti Mbak Ely itu. Bisa gila muda deh kayaknya," ucap Galih kemudian. Berusaha mengalihkan perbincangan mereka dari topik sensitif tersebut.

Lana memonyongkan bibirnya. Ia mencibir sang suami meskipun dalam hati juga mengucap syukur yang sama. Ia pastilah tak akan suka bila suaminya bersikap seperti Gilang.

"Padahal kalian ini dua bersaudara. Tapi bisa beda sekali gitu ya perangainya," ungkap Lana membandingkan.

"Dek, jadi kamu sekarang tolong lebih bersabar dan lebih maklum aja sama sikap Ibu, ya? Kamu lihat sendiri anak dan menantunya yang lain seperti itu. Apa kita tega ninggalin Ibu?" Galih akhirnya meminta istrinya dengan tatapan memelas penuh permohonan.

"Entahlah, Mas. Ibu juga tuh harusnya dikasih tahu aja sikap Mas Gilang sama Mbak Ely. Jadi biar bisa mikir kalau tinggal sama kita ini udah enak banget. Bukannya malah banding-bandingin dan ngaduin kita yang enggak-enggak gitu ke mereka! Dih!" Lana menggerutu panjang lebar.

Tapi meskipun sebenci itu pada sikap Bu Tutik, Lana sesungguhnya juga kasihan sekali dengan nasibnya memiliki anak sulung dan menantu seperti Gilang dan Ely. Menyedihkan!

"Mas nggak tega, Lana. Kalau Ibu sampai kena serangan darah tingginya gimana? Beresiko besar," jawab Galih menatap sang istri dengan mata membelalak ngeri.

"Iya, iya, Mas. Aku nggak akan ngadu apa-apa. Aku nggak sama dengan mereka!" Lana berkata meyakinkan sang suami.

"Lagipula kalau aku tetap bersikap baik pada Ibu, itu cuma karena tanggung jawabku sama suami aja. Dan aku nggak mau jadi menantu durhaka yang sebenarnya, padahal udah dikatain kayak gitu selama ini baik di depan tetangga dan di depan ipar! Menyebalkan!"

"Sabar, Dek. Nanti kamu akan dapat hadiah kebahagiaan di akhir, ya?" ucap Galih seraya mengelus perut istrinya dengan penuh sayang.

"Demi bayi kita, si jagoan atau si putri cantik kita nantinya akan membawa kebahagiaan yang besar buat kita, ya, kan, Sayang?"

Galih menciumi perut istrinya karena begitu gemas dan tak sabar menantikan kelahiran si jabang bayi. Si kecil yang kelak pasti akan menceriakan suasana rumah itu. Ia pun bahagia menikah dengan perempuan tegas, tapi berhati lembut juga sangat menyayangi dirinya juga. Ia merasa dihargai menjadi lelaki ketika menikah dengan Lana.

Jika sesekali istrinya berkeluh kesah, hal yang wajar. Suaminya lah tempat ia berbagi cerita apalagi terkait aib ibunya yang pelit dan karakter yang ajaib.

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

alhmdulilah sya sma mba ipar saya selaly akur,dan baik orang nya gak suka neko2 malah kayak punya kakak perempuan sendiri,,apalagi mikirin harta gono gini gak ada sma sekali,yang penting saling membantu kalau yang satu nya kesusasah,,tapi alhmdulilah malah mba ipar yang banyak selalu membantu😇

2023-05-09

1

SEPTi

SEPTi

ngga d pinjemin bilang masih saudara kok ga mau pinjemin, giliran udh d pinjemin ga tau terima kasih

2023-01-03

1

Leanee keae

Leanee keae

memang siapa yang salah ku tak tau... 🤭🤭🤭🤭,,, entah gilang entah ely.. yqng jelas rumah tangga itu saling mengingatkan dalam kebaikan.. ✌️✌️✌️

2022-12-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!