Sepandai-pandainya Galih menjaga perasaan istrinya, tetap saja selama mereka tak berada di satu kamar yang sama selama sebulan menimbulkan masalah baru. Khususnya dalam hal romantisme serta kecemburuan pada diri Lana. Ia jadi sering mencurigai Galih sedang lembur atau kelayapan dengan wanita lain.
“Mas kok jadi sering telat, sih? Masa’ lembur itu tiap hari, Mas?” tuntut Lana suatu sore ketika Galih baru saja sampai di rumah Bu Asih.
Galih melirik ke jam tangan yang melingkar di pergelangannya dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Ini jam setengah lima, Dek. Ya memang setengah jam perjalanan kan kalau dari kantor Mas ke sini. Kalau ke rumah Ibu baru Cuma lima belas menit udah sampai,” jawab Galih mencoba mengingatkan Lana yang sepertinya sedang tak ingat bahwa ia berada di rumah yang berbeda.
Lana mendengar dan menyadari kebenaran alas an Galih tersebut. Namun, kecurigaannya tetap tak hilang begitu saja. Malah berubah menjadi amarah karena merasa suaminya sedang mengeluhkan jarak yang menjadi dua kali lebih jauh dari kantornya saat itu.
“Oh, jadi Mas udah keberatan pulang dari ke kantor ke sini dulu, gitu? Ya udah, sih. Gak usah ke sini aja sekalian. Mas langsung pulang ke sana. Gak usah peduliin aku!” sembur Lana yang membuat Galih menghela napas berat.
“Ya Allah, Dek. Jangan emosi begitu lah. Siapa yang bilang Mas keberatan? Nggak ada, kok. Kan Mas Cuma lagi jelasin perbedaan jam perjalanan pulangnya. Cuma biar gak dituduh kelayapan. Lha Mas aja gak pernah mau diajak teman-teman kumpul dulu setelah pulang. Itu semua biar segera bisa ketemu istriku yang menggemaskan ini, loh,” bujuk Galih menggoda Lana.
Namun wanita itu masih cemberut. Mungkin memang sedang sensitif sehingga Galih mencoba memaklumi kondisi mood istrinya yang sering berubah-ubah itu. Ada saja kalimat atau perkataan Galih yang dirasa kurang berkenan oleh hatinya.
Padahal dalam pikiran Galih sendiri sama sekali tidak pernah terlintas sedikit pun untuk selingkuh dari istrinya. Galih memang pria yang tidak pernah neko-neko. Baginya istri cukup satu, cinta Cuma satu hanya untuk Lana seorang. Bahkan meskipun mereka hanya bertemu beberapa jam dalam sehari, yaitu sepulang Galih kerja hingga waktu pukul sembilan di mana ia harus pulang ke rumah Bu Tutik. Galih selalu menyempatkan mencumbui istrinya.
Mereka akan berada dalam kamar dan melepas kangen sebagai suami istri yang masih terhitung pengantin baru meskipun sudah hampir mencapai usia satu tahun pernikahan. Kondisi Lana yang memang kandungannya sedikit lemah itu memang tak memungkinkan mereka berhubungan suami istri dahulu sebelum kehamilan Lana mencapai usia agak kuat kata Dokter, yaitu di atas enam bulan.
Mungkin hal itulah yang juga memicu perubahan suasana hati Lana yang jadi lebih sering uring-uringan serta marah tak jelas pada Galih tanpa suaminya itu tahu apa kesalahan yang diperbuatnya. Beruntung Galih termasuk sangat sabar menghadapi temperamen istrinya. Dengan sabar ia terus bertahan menerima tuduhan Lana sambil pelan-pelan membuktikan bahwa semua itu tidak benar adanya.
***
Sampai di usia kehamilan yang keenam bulan, akhirnya Galih bisa merayu Lana untuk pulang kembali bersamanya. Selama di rumah ibunya, Lana juga beberapa kali menerima telepon dari Bu Tutik yang meski tidak terucap kata maaf dari bibirnya, tetapi mencoba mengungkap perhatiannya dengan menitipkan kue buatannya atau minuman herbal yang diperolehnya dari seorang teman yang baik khasiatnya untuk ibu hamil kepada Galih untuk Lana.
“Apa benar Ibu udah nggak akan ghibahin aku sembarangan lagi sama orang, Mas?” Lana bertanya untuk memastikan.
“Iya, Dek. Ibu udah ngaku salah dan gak akan ngulangin katanya,” jawab Galih yang memang selama ini setiap hari berusaha menyadarkan ibunya bahwa kelakuannya kurang baik untuk kesehatan mental Lana. Bahwa mereka membutuhkan Lana untuk tetap tinggal di rumah itu. Toh, setidaknya Bu Tutik juga tidak akan kesepian di rumah bila ada Lana juga di sana. Terlebih Galih juga secara tidak langsung mengutarakan kebutuhannya atas diri Lana, istrinya. Sehingga lama-lama Bu Tutik pun bersedia mengalah dsan memintya Lana untuk kembali ke sana.
“Huuft, aku ragu sih, Mas. Tapi aku sepertinya udah akan kuat menghadapi semuanya. Aku akan belajar mengabaikan tingkah absurd beliau daripada memendam luka dalam hati.” Lana memutuskan akan menerima resiko yang akan ditemuinya nanti sambil berharap tabungan mereka akan segera cukup untuk membangun rumah kecil mereka sendiri di sebelah rumah Bu Tutik.
“Nak, kamu jaga diri baik-baik, ya. Meskipun kandungan sudah dinyatakan dalam usia yang tidak rentan lagi, tapi kamu tetap harus hati-hati. Ibu akan antar jamu atau Galih datang ke sini ambil setiap tiga hari sekali, ya? Biar tidak kekurangan asupan jamu penguat rahim,” saran Bu Asih penuh perhatian.Lana mengangguk penuh terima kasih kepada ibunya.
“Baik, Bu.” Galih tentu saja langsung menyanggupi titah tersebut.
Lana dan Galih memutuskan selalu menerima jamu yang disodorkan oleh Bu Asih meskipun tak selalu meminumnya. Karena kalau saran Dokter justru tidak boleh mengkonsumsi jamu. Namun, Lana tak tega untuk menolak ataupun membantah titah sang ibunda.
Bila ibunya menunggui Lana saat meminumnya, maka dengan bismillah Lana akan meminumnya setengah sambil berdoa dalam hati agar minuman yang dibuat dengan penuh kasih sayang sebagai bentuk perhatian ibunya kepada Lana itu akan berkah bermanfaat dan tidak menjadi bahaya dalam dirinya. Namun, bila ibunya tak mengawasi, maka jamu itu akan berakhir dibuang ke wastafel.
Pun mereka juga kembali ke rumah Bu Tutik setelah acara tujuh bulanan Lana dilaksanakan di rumah Bu Asih. Kali itu Bu Tutik ikut hadir sekaligus untuk menjemput Lana. Sebagai simbolis bahwa keadaan mereka berdua tidak ada masalah. Bu Asih menjamu besannya dengan baik, meskipun Bu Tutik tidak melakukan hal yang sama ketika ia yang datang ke rumahnya.
Lana selalu membela Bu Tutik di hadapan ibunya bahwa di lingkungan mereka memang tidak begitu adat berkali-kali mengadakan syukuran kehamilan seperti yang dilakukan di lingkungan rumah Bu Asih. Awalnya Bu Asih sedikit heran namun kemudian percaya saja dengan ucapan sang putri.
“Kalau begitu biar di sini aja nanti setelah lahirannya juga ya, Lana. Nanti ada lagi syukuran setelah kelahiran. Syukuran lepas tali pusar, selapan, tiga bulan dan tujuh bulan.” Bu Asih sengaja memperdengarkan hal itu di hadapan Bu Tutik.
Bu Tutik yang memang mungkin selama hidupnya jarang sekali mengadakan syukuran selain ketika kedua anak lelakinya itu sunat dan menikah jadi sedikit bergidik. Mungkin memikirkan berapa biaya besar yang pasti akan dikeluarkan dalam rentetan syukuran yang disebutkan Bu Asih tersebut. Belum lagi kerepotannya. Apalagi melihat orang-orang yang akan makan sepuasnya dikediamannya selama acara syukuran atau apapun itu berlangsung.
Ia berpikiran jika ia mengadakan acara, para tetangganya akan merasa senang dan berusaha menghabiskan semua yang ia siapkan. Sehingga dirinya menjadi banyak pengeluaran. Padahal jika sedang berada di tempat para tetangga yang syukuran atau hajatan, mertua Lana itu akan senang sekali makan kue dan menu yang dimasak ketika hari H nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
pembaca 🤟
Bu ibu,,Yo wis karepmu Bu😂😂
2023-03-30
1
Misna Wati
next
2022-12-11
0
Mety Nailla
licik bener kau bu tutik.. pengen enak sendiri.. harusnya kan bnyak syukuran biar berkah hidupnya
2022-12-11
0