11 Pisah Ranjang

"Ada apa kalian berisik di kamar?" Bu Tutik rupanya mendengar suara tangisan Lana. Ia berdiri di depan pintu kamar mereka dan menuntut jawaban sambil mengetuk pintunya.

"Mas akan bicara sekarang sama ibu, ya. Kamu sabar sebentar. Ibu nanti akan jelasin apa yang sebenarnya terjadi sama kamu. Bisa aja Bu Sri bohong, kan, Dek." Galih akhirnya meninggalkan Lana di kamar, masih dalam kondisi sesenggukan.

Ia lantas keluar kamar dan meminta Bu Tutik untuk bicara sebentar di ruang keluarga.

"Kenapa lagi itu istri kamu?" sergah Bu Tutik mengawali interogasinya.

"Bu ... apa benar Ibu tadi ngomong sama Bu Sri kalau kehamilan Lana itu tidak baik-baik aja dan butuh bed rest sampai-aampai Ibu yang kerjakan semua di rumah?" Galih mencoba mengutarakan dengan kalimat yang tidak bernada menuduh agar ibunya tidak marah.

Tapi tetap saja Bu Tutik menerimanya dengan amarah. Matanya membila dan membuat Galih sedikit goyah dengan niat awalnya. Sungguh, si anak bungsu itu belum pernah sekali pun melawan ibunya. Namun, pengaduan dari sang istri memang selayaknya dibela bila benar apa yang terjadi sesuai perkataan Bu Sri.

"Kamu mulai berani nuduh Ibu macem-macem, yq, Galih! Istri kamu itu tukang ngadu ya! Semua hal dia adukan sama kamu. Memang niatnya itu mau misahin Ibu sama kamu. Persis seperti kelakuan Heni istrinya Gilang itu! Dasar!" Bu Tutik langsung mencerca Lana tanpa ampun.

Hal mana membuat Lana yang mendengarnya dari dalam kamar semakin tak kuat menahan emosinya. Sedari pulang dari toko Bu Sri tadi ia sengaja masuk ke dalam kamar dan menanti suaminya pulang agar tak sampai emosi di hadapan Bu Tutik langsung. Tapi yang dikatakan ubu mertuanya barusan sungguh keterlaluan.

"Bu! Jangan samain aku sama Mbak Heni, ya! Jelas kami beda! Mbak Heni emang pinter. Beda sama aku yang bodoh mau-maunya aja dipaksa tinggal di sini sama mertua kayak Ibu! Udah, Mas. Aku nggak tahan seatap lagi sama Ibu kamu. Aku mau tinggal di rumah ibuku aja!" Lana berucap lantang menentang sang ibu mertua yang sudah kelewatan memfitnahnya.

"Bu! Beda lah Lana sama Mbak Heni. Mbak Heni mana ada pernah ke sini? Ini Lana sudah lama bisa tahan di sini kok masih disama-samain dengan Mbak Heni, sih? Gak adil, dong, Bu!" sergah Galih yang juga mulai tersulut emosi.

Hanya saja, pria itu memang tetap saja tak dapat bersuara keras terhadap ibunya itu. Entah bagaimana, tapi ia begitu hormat dan sayang dengan ibunya walau apa pun sikap dan perilaku ibunya yang selama ini tidak cocok dengan hatinya sendiri. Sebenarnya suatu kebahagiaan sendiri bagi Lana karena sang suami adalah anak yang patuh dan taat juga sangat menyayangi ibunya. Tetapi sifat dan karakter ibu mertuanya yang mulai kelewatan membuat Lana mulai jengah jika sang suami hanya terus mendiamkan kelakuan ibunya.

Galih tak teka jika harus mengorbankan perasaan istrinya seperti itu.

"Sama aja. Istri kamu yang ngajarin kamu membantah sama ibu, kan? Dulu mana pernah kamu bersikap gitu sama Ibu?"

"Ya itu karena Ibu sendiri yang sikapnya udah keterlaluan, Bu. Tolonglah ngertiin Lana sedikit, Bu. Dia itu lagi hamil. Ibu kan juga pernah hamil. Ibu pasti tahu kalau ibu hamil itu dilarang stres, Bu. Kalau Lana stres terus dengan perlakuan Ibu kan kasihan bayi kami, Bu." Galih seolah meratap kepada Bu Tutik.

Namun nihil. Tidak ada perubahan dalam sikap Bu Tutik. Wanita itu tetap tak mau meminta maaf kepada Lana atau pun mengakui perkataannya kepada Bu Sri itu salah. Bahkan, ia ikut gondok dengan pergi ke dalam kamarnya sendiri dan tidak lagu keluar meski Galih memanggilnya.

Akhirnya dengan berat hati Galih mengantar Lana untuk menginap di rumah Bu Asih. Sebelum ke sana, ia membantu Lana packing sedikit saja. Dengan harapan istrinya itu tidak akan lama menginap. Karena ia sungguh masih berharap istrinya dan ibunya, dua wanita paling dikasihi Galih itu akan bisa hidup rukun bersama.

Sebelum sampai ke rumah mertuanya, Galih mengajak Lana berputar-putar dulu di jalanan. Makan sore juga di tempat favorit mereka. Hanya agar istrinya itu tak terlalu terlihat habis menangis dan sedang dalam duka.

"Dek, nanti jangan cerita ke Ibu kamu, ya, kalau lagi bertengkar sama Ibuku," pinta Galih ketika sudah akan sampai di dekat rumah masa kecil istrinya itu.

Lana mengangguk, lagipula ia juga tidak suka membuat Ibunya cemas dan khawatir. Selama ini ia selalu memendam masalah tekanan batinnya selama tinggal di rumah Bu Tutik terhadap ibunya.

Bu Asih menyambut dengan sukacita kedatangan Lana ke rumah. Ia memang seringkali meminta Lana untuk tinggal sementara di rumah itu selama hamil. Karena ia ingin sekali bersama putrinya itu di masa kehamilan pertamanya.

Galih sendiri mulai hari itu harus bersedia bolak-balik setiap hari antara kantor, rumah Bu Asih dan juga rumahnya sendiri setiap hari karena jelas ia tak mau sehari pun tak bertemu dengan istrinya yang tengah hamil.

Sementara Bu Tutik pun menuntut Galih untuk tidur di rumah mereka karena ia tak pernah mau tidur sendirian saja di rumah. Dilema sekali untuk Galih yang sebenarnya dalam hati ingin sekali selalu bersama istrinya, menghadapi masa kehamilan pertama anak mereka.

"Mas kalo capek nggak usah ke sini," ucap Lana berpesan ketika ia tengah menelepon sang suami di jam makan siang kantor.

Ia sendiri sudah resign karena kehamilannya memang diidentifikasi kandungan lemah hingga dokter kandungan menyarankan untuk tidak bekerja dulu.

"Tidak apa, Dek. Mas malah akan cemas kalau nggak jenguk Adek di rumah sana." Galih menjawab dengan nada suara ceria.

"Nanti mau dibawain apa? Kamu apa belum ngidam apa-apa?" Galih lanjut bertanya.

"Belum, Mas. Cuma kepingin rujak manis terus makannya. Tapi udah dibikinin Ibu, kok."

"Wah, semoga Ibu nggak kerepotan ya, tiap hari bikinin kamu jamu, ya rujak, ya apa aja kemarin tuh?"

"Ibuku emang gitu, Mas. Dia mana pernah capek kalau buat anaknya. Kadang aja maksa mau mijitin pundak aku loh, karena dia bilang dulu pas hamil seringnya pegal di pundak sama punggung atas," jawab Lana menyanjung Bu Asih untuk sedikit menyindir juga mertuanya.

Karena semasa di rumah Galih, ia belum pernah sekalipun dibuatkan jamu atau ditanyai ingin makan apa. Padahal, begitu pulang ke rumah ibunya sendiri, bukan hanya ibunya, bahkan para tetangga dekatnya pun banyak yang datang dan membawakannya buah, atau kurma atau membuatkannya jamu dengan tanpa diminta.

"Syukurlah. Maaf, ya, Dek. Kalau ibuku memang dulu mungkin nggak pernah bikin jamu jadi kamu pun nggak pernah dibikinin, deh." Galih seolah tahu maksud perkataan Lana sehingga ia memberikan penjelasan yang membela Bu Tutik.

Lana memilih tak memperpanjang perdebatan. Baginya, dengan Galih memperbolehkannya tinggal sementara di rumah orangtuanya saja ia sudah senang. Meskipun jadi harus serasa pisah ranjang dengan suaminya karena tiap malam Galih harus pulang ke rumah ibunya.

Terpopuler

Comments

Nining 99

Nining 99

beneer2 tu bu tutik yaaa... bikin darah berdesir...

2023-01-21

3

Mety Nailla

Mety Nailla

harusnya galih punya sikap.. iya bnr itu ibunya.. tp ibu yg gmn dlo.. pantesan kk iparnya heni gk betah..& milih minggat.. keputusan yg Bagus.. akrng biar semua tinggalin aja.. mertua kyak begono.. biar tahu rasa..

2022-12-10

1

pena_knia04

pena_knia04

Sepertinya Bu Tutik harus diruqyah🤭🤭
Sungguh mertua yang menyengsarakan bathin😒😒

2022-12-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!