8 Sebuah Keangkuhan

Galih sibuk mengobrol bersama Paklik Tarmo yang bercerita soal hasil ladang beserta bagaimana proses yang sedang mereka hadapi musim itu. Kedengarannya karena curah hujan yang tak pernah bisa diduga seperti apa dan intensitasnya yang tak tentu membuat hasil panen sedikit menyusut daripada tahun-tahun lalu.

“Waduh, kalau begitu kenapa malah kemarin bawa bawaan banyak sekali ke rumah kami, Paklik?” ujar Galih. Ada nada turut prihatin dalam suaranya yang tertangkap juga dari sorot sendu mata hitam kelam itu.

“Oh, itu tidak akan mengurangi jatah rezeki kami, Nak. Memang kami seringkali ingin berkirim ke rumah Mbak Yu Tutik, hanya saja selalu ada kesibukan sehingga baru kapan hari itu terlaksana. Ini kalian dating ke sini Paklik dan Bulik jadi senang sekali. Kami tidak ingin persaudaraan ini terputus hanya karena ayah kamu sudah tiada. Jangan sampai, ya?” Paklik Tarmo mengungkapkannya dengan tulus.

“Tentu, Paklik. Mulai sekarang kami janji akan sering berkabar dan berkunjung ketika ada waktu luang.” Terdengar Galih berjanji karena ia juga teringat pesan serupa pernah didengungkan oleh almarhum ayahnya semasa masih sehat. Entah setelah ayahnya meninggal, Bu Tutik lah yang seringnya menolak ajakan Galih untuk ke dusun. Sekedar mengunjungi makam nenek dan kakeknya di sana pun ia sering dilarang.

Sementara itu, Bulik Darmi yang bolak-balik dari dapur ke kamar tamu untuk menanyai Bu Tutik ingin dibuatkan apa selain the hangat dan juga wedang jahe yang sudah disediakannya sejak tadi plus beberapa makanan pendamping seperti pisang kukus dan juga sukun goreng.

“Tidak usah. Aku hanya ingin berbaring, ya. Soalnya punggung rasanya pegal sekali perjalanan jauh. Sudah lama tidak bepergian jauh begini,” keluh Bu Tutik sambil tangannya sibuk memijat sendiri bahu serta punggungnya yang memang terasa remuk redam. Bu Tutik kurang beraktifitas di rumah sehingga badannya tidak begitu fit dan seringkali jatuh sakit.

Bulik Darmi langsung menawarkan diri untuk memberikan pijatannya yang katanya ampuh. Dan tentunya langsung diterima dengan senang hati oleh Bu Tutik yang tak punya sungkan itu.

“Maaf ya, Mbak Yu, gara-gara berkunjung ke sini jadi pegal semua begini badannya,” ucap Bulik Darmi penuh rasa bersalah.

“Itu si Galih sama Lana yang maksa. Katanya gara-gara kalian antar hasil panen itu jadi mereka nggak enak kalau tidak ke sini juga balas pemberian kalian,” jawab Bu Tutik yang sempat didengar oleh Lana yang menyusul Bulik Darmi ke kamar tamu untuk menanyakan di mana letak buliknya itu menyimpan mangkuk sayurnya.

“Oh, iya sebentar. Ada di dalam lemari paling bawah. Biar Bulik carikan.” Bulik langsung bergegas pergi ke dapur usai pamit kepada Bu Tutik dengan berkata akan segera kembali.

“Loh, Ibu minta pijit Bulik? Sini biar Lana aja yang mijitin,” ujar Lana yang merasa tak enak karena merepotkan sang tuan rumah lebih jauh lagi.

“Dia sendiri yang nawarin, kok. Ya biarin, pijatannya lumayan enak. Kalau kamu itu nggak terasa sama sekali memijatnya, kayak mijat bayi aja,” tukas Bu Tutik menolak tawaran Lana.

Lana pun mengembuskan napas sedikit gusar. Sungguh, menurutnya Bu Tutik sangat keterlaluan dengan memanfaatkan kebaikan Bulik Darmi yang polos itu.

“Tapi, Bu. Kan sungkan kalau bikin Bulik Darmi lebih repot lagi. Dia dari tadi gak ada istirahatnya sama sekali loh. Aku kira dia ke depan mau ngobrol sama Ibu, tapi rupanya malah disuruh memijat. Ya Allah ….”

Bu Tutik hanya diam dan tak lagi berkomentar. Entah apa itu karena dia sadar ucapan Lana ada benarnya atau hanya malas tak mau berdebat saja. Lana pun memaksa diri untuk tetap di kamar itu dan memijit bahu mertuanya agar tak perlu merepotkan sang pemilik rumah yang sudah kerepotan sekali itu.

Beberapa lama kemudian mereka dipanggil keluar oleh Bulik Darmi yang mengabarkan bahwa sudah waktunya makan siang. Bahkan, aroma masakan opor ayam kampung dan ikan bandeng bumbu kuningnya sangat lezat menusuk indera penciuman mereka sejak beberapa waktu lalu.

“Yuk, Mbak Yu dan Lana. Kita makan dulu di ruang makan, ya. Sudah ditunggu Galih dan Bang Tarmo,” ajak Bulik Darmi yang melongo kan kepalanya ke dalam kamar tamu.

“Ah, baik, Bulik. Wah, udah mateng aja, padahal kami nggak bantuin apa pun,” ujar Lana menyatakan rasa segan nya.

“Lah kan emang tamu, sudah selayaknya kami tuan rumah yang menjamu,” jawab Bulik Darmi ramah.

“Tapi saat Bulik bertamu ke rumah kami, aku nggak menjamu kalian dengan baik, Bulik. Maafin Lana, ya?”

Namun, Bulik Darmi sama sekali tidak mendengar perkataan tersebut sebab mereka sudah sampai di ruang makan yang telah ramai Galih dan Paklik Tarmo berbincang seru soal ladang.

Akhirnya mereka makan siang dengan masakan yang lengkap dan menu special andalan di dusun itu. Lana dan Galih sangat menikmati semua hidangan hingga mereka dengan cepat menandaskan isi piring di hadapan masing-masing.

“Wah, enak sekali emang nih masakan Bulik,” puji Galih sembari mengelap sudut-sudut bibirnya dengan tissue.

Lana juga mengucapkan pujian yang hampir serupa. Sementara yang mengangetkan adalah komentar Bu Tutik yang terdengar begitu penuh kecewa.

“Enak, tapi pedas semuanya. Seperti bukan untukku saja ini masakannya!”

Spontan Bulik Darmi dan Paklik Tarmo mendongak dari piring mereka dan menatap ke arah Bu Tutik.

“Ya ampun, Mbak Yu. Mbak Yu bukannya biasa suka pedas, ya, dulu?” tanya Bulik Darmi yang ingat betul bahwa abang iparnya, ayah Galih dulu seringkali makan bersama mereka semua dan bercerita kalau dia dan Bu Tutik sama-sama penyuka pedas.

“Iya tapi itu kan dulu sebelum tua begini, Darmi. Kalau sekarang ya sudah berbeda, dong. Tanya saja Galih. Aku sekarang harus berhati-hati kalau makan,” jawab Bu Tutik dengan wajah cemberutnya.

“Ah, kalau ini sih tidak terlalu pedas, Bu. Tidak masalah. Sesekali makan pedas tidak akan sampai menyebabkan usus buntu.” Lana menyerah dengan sangat sengaja. Sungguh, ia tak tega melihat tampang Bulik dan Pakliknya itu merasa bersalah padahal mereka sudah susah payah mempersiapkan itu semua. Dasar ibu mertuanya saja yang tak tahu bagaimana menghargai jerih payah orang lain.

“Benar, Bu. Nggak apa kalau sesekali begini. Dan lagipula benar kata Lana, tidak terlalu pedas juga, kok,” ucap Galih menguatkan pendapat Lana.

Bu Tutik tetap hanya makan sedikit sekali dari piringnya. Wanita angkuh itu lantas meminum air putih banyak-banyak sambil berkata ingin segera pulang saja agar jangan sampai kemalaman di jalan.

“Maafkan kami, ya, Mbak Yu. Akan kami ingat mulai sekarang bahwa Mbak Yu tidak suka makanan pedas.” Bulik Darmi mengutarakan sebabnya.

Hal mana membuat Galih dan Lana berusaha keras membujuk sang Bulik agar tak merasa hati ataupun menganggap serius keluhan Bu Tutik tadi.

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

gak suka pedes makan nya ae nambah2 terus resik yo buk🙄🙄

2023-05-09

1

Sepriyanti Adelina

Sepriyanti Adelina

abaang cekik mbokmu baanggg😏😏😏😏😏
bikin sewot baeee

2022-12-07

3

AlAzRa

AlAzRa

ish, iso nteng awake dwe maratua kaya Bu Tuk Tik kui....

2022-12-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!