"Ini nih istri kamu. Bilangin ya, sebelum ngata-ngatain itu ngaca dulu!"
"Loh, ini ada apa, sih, Dek? Apa maksud Mbak Ely bilang seperti itu, coba?" Galih yang sama sekali tak tahu menahu awal pertengkaran mereka itu pun bertanya pada Lana.
"Mas, Mbak Ely tuh sama Mas Gilang masa' udah mau minta jatah warisan dibagi. Tanah sebelah itu katanya udah jadi jatah mereka! Kan aneh! Ibu aja masih segar bugar, kok," ucap Lana mencoba memberikan penjelasan kepada suaminya.
Spontan saja Galih terperangah mendengarnya.
"Bener gitu, Mbak? Kalian ... astaghfirulloh ...." Galih sampai kehabisan kata tak tahu harus mengatai kakak iparnya seperti apa.
Dia dan Lana sama-sama tak menduga sedikit pun bahwa kedua suami istri itu datang hanya untuk meminta jatah warisan. Lah jelas-jelas ibu mereka masih sehat dan bugar.
"Heh, kamu ikutan nyalahin kami? Padahal kamu sendiri malah mau nguasain sendiri warisan itu, ya? Kalian kan udah enak tinggal di sini. Artinya ini rumah bagian untuk kalian. Sementara kami dapat yang masih berupa tanah itu. Lah harusnya kalian juga nanti bantu tambahin kami buat beli rumah setelah tanah itu terjual, karena kan kalian dapat jatahnya udah tanah plus bangunan. Enak amat tinggal tidur dan makan doang!" Ely semakin mengata-ngatai Galih dan Lana dengan sangat membabi-buta.
Keributan itu membuat Fifi menangis dan akhirnya Gilang pun ikut datang.
"Ada apa ini? Kok ribut sekali?" tanyanya sembari menggendong sang putri, mencoba menenangkan sebisanya meski tak tahu ada apa yang sebenarnya terjadi.
Fifi tetap menangis meski sudah berada dalam gendongan sang ayah. Ia meronta ingin digendong oleh Ely. Sementara ibunya itu masih sedang tak berniat menggendongnya karena tengah dikuasai oleh emosi menggelegak.
"Mas, lihat ini kelakuan adik kamu! Dia mau nguasain harta warisan Ibu semuanya. Kita nggak ada dibagi sama sekali!" ucap Ely lantang.
Galih serta merta mendekat kepada Ely sambil memperingatinya.
"Mbak! Pelankan suaranya, ya. Aku nggak mau sampai Ibu dengerin tuduhan jahat Mbak itu pada kami! Jelas-jelas kami nggak pernah ada minta warisan sedikit pun, ya!"
"Halah! Lalu apa yang dibilang Lana tadi itu bohong? Dia bilang kamu ada rencana mau bangun rumah di tanah sebelah itu, kan?" Ely tetap bersungut seraya jemarinya menunjuk ke tanah kosong yang ada di sebelah rumah Bu Tutik.
"Bukan seperti itu, Mbak. Aku memang pernah bilang sama Ibu kalau ada keinginanku untuk membangun rumah kami sendiri. Karena itu Ibu maksa aku untuk pakai tanah itu. Cuma biar aku nggak berjauhan aja sama Ibu, Mbak. Ingat, ya. Itu bukan permintaanku. Justru sebaliknya!"
"Nah, Mbak denger itu, kan? Kalau Mbak dan Mas Gilang emang mau bangun rumah di situ, wah, kami malah sangat bersyukur dan senang hati bisa bangun di tempat lain. Mbak dan Mas harus tahu, ya, pekarangan ibu aku sendiri jauh lebih luas dan masih bisa dipakai kalau kami memang mau bangun rumah di sana. Bahkan dua rumah sekaligus!" Lana menambahkan ucapan suaminya.
Hal, itu memang terdengar sangat sombong. Tapi tuduhan mereka jauh lebih menghinakan sehingga rasanya layak untuk disombongin seperti itu! Biar bungkam, pikir Lana sarat emosi.
Ia sungguh marah dan emosi karena telah dituduh akan merebut harta warisan yang tak seberapa itu. Astaga! Kalau bukan karena dipaksa harus bangun di sebelah rumah mertuanya, tentu Lana akan dengan sangat senang hati bangun rumah di tempat lain. Sungguh, sepasang iparnya itu memang sungguh gila.
Gilang dan Ely saling tatap. Fifi sudah kembali diam dan bocah kecil itu mulai berlarian ke sana ke mari, mengacuhkan kericuhan yang tengah terjadi.
Galih menghela napas panjang dan beberapa kali melirik ke arah kamar Bu Tutik. Takut-takut kalau sang ibu akan mendengar pertengkaran mereka.
“Pokoknya jangan sampai Ibu dengar soal ini, ya, Mas, Mbak. Cukup kami yang tau kegilaan kalian! Ibu bisa jantungan kalau tau!” Galih memperingatkan sepasang suami istri di hadapannya itu.
“Kamu jangan sok suci, lah, Galih. Aku tau kamu minhta kami diam biar gak ada yang akan ganggu rencana kamu buat nguasain semua harta ibu, kan?” Dengan kejam Gilang menlempar tuduhan.
“Ya Allah, Mas. Aku sama sekali nggak ada niat seperti itu. Mas boleh tinggal di sini dan kami yang pergi kapan pun kalian mau. Sumpah, aku dan Lana sama sekali tidak akan meminta bagian apa pun meskipun seharusnya kami pun ada hak di situ. Tapi Mas keterlaluan sekali dengan mengungkit masalah itu saat ini, sekarang ketika Ibu sedang dalam kondisi marah pada kami berdua.” Galih menjawab sambil menyabarkan hatinya.
Sungguh, dalam hati ia sangat ingin meninju wajah abangnya kalau saja ia tidak sedang di rumah dan berada di hadapan dua wanita serta ada kemungkinan juga akan terlihat oleh Bu Tutik.
Ely mendengkus kesal. Seolah tak percaya pada apa pun penjelasan Galih. Hal mana sangat menjengkelkan bagi Lana. Istri Galih itu sampai tak lagi menaruh respeknya pada wanita itu. Dia yang selama ini tak pernah akur dan tak pernah baik pada Bu Tutik kecuali hanya kebaikan yang bersifat basa-basi semata, bisa-bisanya datang dan hendak memperkarakan pembagian warisan. Terlebih niatnya adalah untuk dijual. Di mana otak dan pikirannya. Apa dia tidak hadir saat sekolah dan ada pelajaran adab di mata pelwajaran agama.Lana tak habis pikir.
“Kamu bilang gitu karena kamu tahu kan kalau kami tidak sudi tinggal di sini sama Ibu?” sergah Ely dengan nada sangat geram.
“Dan lihat betapa tidak tahu malunya kamu, Mbak! Gimana bisa Mbak bilang gak sudi tinggal sama Ibu, tapi di sisi lain meminta pembagian warisan dari harta Ibu? Ya Allah, ada amat orang ajaib gini, ya?” Lana hampirhisteris saking herannya melihat kelakuan absurd dua iparnya itu.
“Diam! Mulutmu itu tadi juga bilang nggak suka sama Ibu, kan? Siapa yang gak benci kalau sikapnya emang kayak gitu? Jangan munafik kamu!” Ely mengatai Lana dengan kejam.
“Ya tapi seenggaknya aku nggak munafik, Mbak. Aku awalnya udah usaha banget deketin Ibu. Berbaik-baik sama Ibu, yah meskipun sampai sekarang belum terlihat timbal baliknya, palingan aku cuma mengeluh. Bukan malah meminta warisan! Astaga! Sumpah, aku gak habis pikir sama ajaibnya kalian!” Kali ini Lana bilang sambil menuding-nuding kedua iparnya.
Galih segera menarik lengan istrinya menyuruhnya diam. Karena tampaknya keributan mereka telah menarik perhatian Bu Tutik. Wanita separuh baya itu tampak berjalan menuju ke arah mereka dengan tatapan penuh selidik.
Keempat anak dan menantu itu pun terdiam seketika. Tak tahu harus berbuat atau berkata apa ketika beliau menanyai mereka,
“Ada apa di sini? Ribut sekali?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Leanee keae
serba ajaib,,, kakak ipar dan mertua kompak ajaibnya...😂😂😂😂
2022-12-14
1
pena_knia04
Keluarga apakah ini......sultan Margonda atau sate Maranggi🤭🤭 fenomena zaman now ortu masih ada udah ribut soal warisan...emang ada Thor,asliiiii......
2022-12-14
0
naynay
ya Alloh...
2022-12-14
0