14 Super Cerewet

l“Apa ini, Lana?”

Terdengar Bu Tutik menegur Lana yang sedang menghidangkan masakannya di meja makan.

“Sayur sop dan perkedel kentang, Bu,” Lana menjawab santai.

“Buat Ibu apa?”

“Nggak suka sayur sopnya, Bu? Biasanya kan suka? Ini tadi sengaja ku bikin tanpa kuah daging, kok.” Lana menjelaskan karena ingin mertuanya tahu bahwa masakannya sudah memenuhi standar diet anti kolesterol Bu Tutik.

“Tapi kan perkedel kentangnya pakai telur? Ibu gak bisa makan itu, dong!” Protes masih terdengar dari mulut Bu Tutik.

“Kalau gitu Ibu lauk apa maunya? Ini Lana juga goreng tempe bacem, loh.” Lana menghidangkan sepiring lagi tempe bacem yang ia beli dari tetangga pengusaha catering.

“Bacemnya Ani, ya? Nggak enak itu. Jangan beli di dia lagi!” Bu Tutik langsung berdiri dari kursinya. Tampaknya sudah tak berselera makan. Padahal harus segera minum obat.

Lana memilih mengabaikan tingkah mertuanya itu. Palingan nanti kalau lapar juga akan ambil makan sendiri ke dapur, pikirnya membatin dalam diam. Ia pun kembali bersenandung sambil meneruskan mengulek sambal kecap sebagai pelengkap.

Yang tak diduganya adalah bahwa Bu Tutik ternyata melapor pada Galih bahwa Lana tak membuatkannya makan. Karena itu ia meminta Galih membelikan nasi jagung saja di kedai Mak Ripah.

Lana hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak bisa mencegah suaminya menuruti pinta sang mertua. Tapi, begitu Galih kembali dari kedai Mak Ripah, istrinya itu tak kuasa lagi menahan protesnya.

“Lihat, kan, Mas. Aku udah goreng kan tempe bacem, loh, karena kalau perkedel kentangnya Ibu gak bisa makan. Tapi tetep aja minta beli di luar. Huh! Tau gitu kan aku gak usah beli dan gak usah goreng juga. Mubazir amat.”

“Gak apa. Biar nanti Mas bawa ke kantor buat cemilan siang,” ucap Galih yang tahu betul kalau istrinya itu paling tidak suka bila masakannya sampai tidak dimakan.

Lana pun memindahkan semua tempe bacem tersebut ke dalam kotak bekal lantas memasukkannya ke dalam tas kerja sang suami. Galih ada jatah makan siang katering dari kantor di setiap Senin karena itu adalah hari meeting mingguan.

“Mas kan udah kubilang jangan diturutin terus Ibu itu. Sesekali Mas bilangin, lah. Soal sakitnya itu juga Ibu sendiri yang kurang bener jaga pola hidupnya. Masa’ tiap pagi tidur, nanti malamnya dikata ajaib kalau gak bisa tidur. Ya jelas aja lah malam gak bisa tidur, lha wong paginya udah,” ujar Lana masih menggerutu.

“Lah mau dilarang tidur pagi ya kasihan kan, Dek, kalo kurang tidur nanti malah gimana?” bantah Galih kemudian.

“Ya dari siklusnya aja dihentikan. Kalau terus dibiarin seperti itu ya gak bisa berubah, Mas. Nanti malah banyak penyakit mudah datang kalau udah gitu. Ya bukannya nyumpahin. Semoga senantiasa sehat.”

Akhirnya Galih mengalah dengan cara diam dan tak mau melanjutkan diskusi mereka. Seperti itu selalu yang terjadi. Bukan menciptakan solusi tapi berakhir dengan kediaman Galih yang seolah pasrah. Hal mana mungkin dikarenakan ia pun sadar ucapan Lana benar. Hanya saja untuk membujuk sang ibu juga bukan hal yang mudah untuk dilakukan.

Ketika Lana berbelanja di tukang sayur, beberapa ibu kompleks bertanya soal Bu Tutik yang tak pernah keluar rumah.

“Sedang tidak enak badan, Bu,” jawab Lana pendek. Ia tahu topik berikutnya akan seperti apa. Yah, sudah bukan rahasia lagi.

“Tidak enak badan terus, ya. Emang kurang amal, sih,” seringai Bu Yayuk yang terkadang memang tak terkontrol kalimatnya.

“Iya, terus juga sombongnya itu, loh. Padahal mobil juga punya menantunya, kan?” Mbak Erlin turut menimpali.

Lana tersentak ketika mobilnya ikut dibahas pula. “Eh, gimana, Mbak, maksudnya?” Lana mencoba mengkonfirmasi pendengarannya.

“Iya, Lana. Bu Tutik pas masih awal-awal kamu pindahan ke sini dulu aduh sombongnya minta ampun. Bilang gak akan ngizinin menantunya naik taksi lah karena udah ada mobil. Lah, padahal kami semua kan tahu itu mobil kamu bawa sendiri, kan? Bukan dia yang beliin kamu?” Mbak Erlin menjelaskan perkataannya yang ambigu tadi.

“Ya ampun, Mbak. Kan emang waktu itu aku masih kerja. Jadi mobil aku bawa. Karena di rumah masih ada satu mobil lagi yang dipakai orang tua,” kata Lana menjelaskan kenapa sampai dia bawa mobil sendiri. Kantornya berbeda jam masuk dan pulangnya dengan Galih, sehingga agar tak perlu bingung mereka lebih memilih berangkat masing-masing.

“Nah iya itu. Tapi bicaranya itu seperti dia atau anaknya aja yang udah memfasilitasi kamu,” ucap Mbak Erlin yang sempat membuat Lana meringis masam. Dih, ibu mertuanya semakin absurd aja, pikirnya membatin.

Lana pamit pulang cepat-cepat setelah menyelesaikan belanjanya karena ia memang tak begitu suka bergosip dengan tetangga. Khususnya kalau yang sedang dibahas adalah ibu mertuanya sendiri. Ya ampun, malu sendiri lah ya jadi Lana. Ia haru berjuang menutupi rasa malu nya setiap para tetangga bergosip tentang ibu mertuanya.

“Ini kembaliannya kurang dua ribu, Mbak Lana. Ayolah ambil jajanan atau apa gitu, biar nggak ninggal di sini. Nanti lupa lagi,” pinta Bu Sri sang pemilik kedai. Akhirnya Lana yang juga tak mau memperpanjang urusan pun segera mengambil onde-onde sebiji yang katanya seharga dua ribuan itu sebagai ganti kembaliannya.

Siapa sangka sesampai di rumah, Lana yang mencomot onde-ondenya harus dibuat mengurut dada sebab tuduhan absurd sang mertua.

“Ya begitu. Satu rumah aja makan kue enak sendirian. Nggak ada dibagiin mertuanya barang sebiji pun. Hih, dapet baunya doang!” tuduh Bu Tutik yang hidungnya mencium bau gurih onde-onde tersebut.

Lana sampai terbatuk-batuk dan buru-buru mengambil air putih untuk diminum karena kaget sekali dituduh serupa itu.

“Ya Allah, Ibu mau onde-onde, Bu? Kok nggak bilang titip, sih? Bentar aku balik, ya, Bu?” Lana hampir saja langsung kembali ke kedai Bu Sri tapi di sergah oleh ibu mertuanya tersebut.

“Nggak usah! Kalau ada niat ngasih itu ya dari tadi dibeliin. Beli buat mulutnya sendiri aja. Dikira orang tua ini juga nggak pengen ngemil apa?” Gerutu Bu Tutik dengan semakin garang.

“Tap-tapi, Bu. Ini Lana nggak beli. Cuma kembalian dua ribu nggak ada. Makanya dikasih onde-onde ama Bu Sri. Ini pun Cuma sebiji aja. Mana Lana tahu kalau Ibu pengen onde-onde. Lain kali ngomong dong, Bu. Mau dibeliin jajanan apa gitu. Biar Lana tahu Ibu maunya apa. Kalau diem aja ya mana Lana ngerti, kan?” Lana mencoba membela diri.

Karena dulu ia seringkali membelikan mertuanya itu makanan sepulang kerja pun jarang sekali ada yang cocok. Selalu ada saja kurangnya. Kadang nggak suka lah, kurang enak lah, terlalu manis takut gula darah naik lah, kan repot.

Ranah masih mengusap perutnya pelan. Menata emosinya agar tak tersalurkan kedalam perut. Ia pun berusaha masih mengeluarkan ektra Kesabarannya. Jika bukan karena cinta yang besar untuk suami. Dan cinta suami yang besar untuk dirinya, belum lagi berpikir jika besok ia pun akan tua dan akan bertemu menantu. Setidaknya, harapan dan doa Lana , esok ketika ia mempunyai menantu, ia punya menantu seperti dirinya atau sang suami. Yang sayang dan sabar menghadapi orang tua.

Terpopuler

Comments

¢ᖱ'D⃤ ̐Nu⏤͟͟͞R❗☕𝐙⃝🦜

¢ᖱ'D⃤ ̐Nu⏤͟͟͞R❗☕𝐙⃝🦜

yang sabar ya Lana,ngadepin mertua antik

2023-04-09

1

sitimusthoharoh

sitimusthoharoh

alhamdulilah stok kesabaraneb lana masih ad.ih bu tut nich........
lanjut

2022-12-12

0

Visha_Varisha

Visha_Varisha

info alamat rumah Bu Tutik Thor ..
klo maish wilayah Bendul Merisi, tak paranine .. 😆😁 gemesss liat nya ..

2022-12-12

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!