15 Terfitnah

“Gimana, Bu?”

Galih terkejut ketika ibunya menelepon dengan suara sesenggukan.

“Pokoknya kamu nanti pulang kerja beliin ibu kue onde-onde yang banyak!” Ucapan di telepon itu sengaja diperdengarkan dengan suara keras di hadapan Lana. Hal mana tidak mempengaruhi menantunya itu karena ia toh tidak pernah keberatan kalau Galih membelikan oleh-oleh kue untuk ibunya sepulang kerja. Bahkan memang ia yang seringkali mengingatkan sang suami.

“Tapi Ibu kenapa suaranya gitu? Kayak lagi sedih?”

“Lha habisnya istri kamu itu tega bener, Galih. Makan enak aja sendiri. Giliran nanti bikin sendiri nggak enak dibagi-bagi!”

Mendengar itu Galih terperangah. Tapi seperti biasa, pria itu tak mengedepankan amarah. Ia nanti akan mengkonfirmasi dulu kepada istrinya. Karena terkadang Bu Tutik suka salah paham kepada istrinya itu. Lana selalu saja tampak salah di mata beliau.

Sementara Lana pun sudah bersiap-siap saat suaminya pulang. Ia duduk di tepi ranjang sembari menanti Galih menanyainya atau memulai percakapan. Namun, sampai beberapa lama, suaminya itu malah bertingkah seperti biasa. Seolah tak terjadi apa-apa.

“Mas? Mas nggak pengen marahin aku gitu? Atau tanya soal apa gitu?” Lana akhirnya tak tahan lagi tetap diam dan memperhatikan suaminya berganti pakaian, bersiap mandi sore.

Galih menoleh kea rah istrinya. Bibir tebal pria itu mengulas senyum yang dulunya mampu meruntuhkan pertahanan hati Lana. Ya, senyum itu yang akhirnya mampu membawanya ke rumah ini dalam status sebagai istri dan juga menantu dari seorang Bu Tutik.

“Soalnya Mas udah tahu kamu pasti nggak seburuk yang dibilang Ibu. Iya, kan, Dek? Aku kenal sekali siapa istriku ini,” jawab Galih sambil melingkarkan lengan di pinggang ramping istrinya.

Lana melengos. Galih selalu saja bersikap begitu. Merayunya hingga ia tak tega untuk terus memarahi suaminya itu. Ya ampun, yang namanya cinta itu memang terkadang bisa membuatmu bodoh, menerima saja apa yang terjadi asalkan bisa terus hidup bersama orang yang dicintai.

“Ya syukur deh kalau Mas percaya sama aku. Soalnya tuduhan Ibu tadi tuh keterlaluan banget sih, Mas. Masa’ aku dituduh belanja kue tanpa bagiin ke dia. Padahal itu aku cuma comot sebiji onde-onde bonus dari Bu Sri karena gak ada uang kecil buat kembalian. Ck! Kan bikin ngerasa aku ini menantu pelit dan durhaka banget, Mas!” Lana kini langsung mengadukan apa yang terjadi sebenarnya.

Galih seketika tersenyum sumringah. Ya, ia yakin istrinya memang tak mungkin seburuk yang diceritakan Bu Tutik.

“Gak apa-apa, ya, Dek. Kayaknya emang Ibu tuh sekarang suka baperan, deh. Kita lagi-lagi harus terus mengalah. Khususnya kamu. Anggap aja ini latihan sabar untuk ladang pahala buat ibu hamil, ya?” bujuk Galih kepada istrinya.

Lana hanya melengos. Gini amat cobaan. Tiap hari harus menghadapi keajaiban mertuanya.

“Yah, aku Cuma berharapnya pas aku udah lahiran nanti, Ibu udah gak suka bikin masalah sih, MaS. Kok aku udah kebayang bakal repot banget ya ngadepin beliau sambil ngurusin bayi kita nanti,” ucap Lana mengutarakan keresahannya.

“Insya Allah nggak akan, Dek. Allah pati hanya akan kasih cobaan yang sanggup dipikul oleh hamba-Nya kan?” tutur Galih bernasihat. Hal mana membuat Lana sedikit senang karena jauh dalam hatinya, sang suami sudah sepakat dengan Lana kalau Bu Tutik memang adalah cobaan mereka. Yah, setidaknya suaminya akan selalu lebih percaya padanya dengan dasar pemikiran tersebut.

Akan tetapi, rupanya kesadaran yang sama tidak dialami oleh Bu Tutik. Dengan masih dipenuhi amarah, Bu Tutik menelepon Gilang. Kakak dari Galih itu serta merta termakan oleh omongan sang ibu. Yah, memang sudah lama Lana tahu kalau sikap dari Gilang sama sekalu jauh berbeda dari Galih, adiknya. Tidak ada dewasa-dewasanya sama sekali meskipun dari segi usia lebih tua.

“Ya sudah, Bu. Gilang nanti akan bicara sama Galih. Dia harus negur istrinya itu,” tukas Gilang yang nalurinya tak tahan melihat ibunya menderita. Yang tak diingatnya ialah bahwa istrinya sendiri saja tak pernah menghargai Bu Tutik, bahkan selalu terkesan jaga jarak dan memusuhi. Untuk bertemu saja rasanya tak sudi. Tapi, malah mau sok menasihati Galih untuk mengurusi istrinya.

“Mas gak usah ikut campur lah. Mas itu nggak tahu kejadian sebenarnya itu seperti apa. Aku yang di sini jadi aku tahu apa yang benar dan apa yang salah, Mas. Dan aku sudah dewasa, sudah akan jadi ayah juga. Jadi tolong Mas hargai aku dengan tidak mencampuri urusan rumah tanggaku.” Galih memperingatkan sang kakak ketika Gilang meneleponnya malam itu juga.

“Tapi kenapa Ibu sampai lapor seperti itu ke aku, coba?” Gilang masih menyelidik karena ia tak begitu saja percaya pada pembelaan adiknya itu terhadap sang istrinya.

“Ya itu cuma salah paham aja. Mas makanya kalau ingin tahu keadaan Ibu yang sebenarnya yang silakan datang langsung ke sini, ya. Ditunggu Ibu, loh.” Galih menambahkan dengan penuh sindiran.Sesungguhnya Galih memang jadi kurang respect pada abangnya itu karena jadi pria terlalu takut pada istrinya. Kalau istrinya baik sih tak apa. Lah ini si istri memintanya menjauh dari ibunya kok ya nurut aja? Di mana harga dirinya sebagai kepala keluarga, coba?

“Ya udah hari Minggu besok aku sempetin pulang, ya. Lagipula Ibu juga pesen mau dibawain kue dan buah yang banyak,” jawab Gilang dengan nada mempersalahkan.

Sedikit tak enak hati, Galih pun menutup teleponnya dan langsung mendatangi kamar ibunya.

“Bu, Ibu ngadu gimana ke Mas Gilang? Kok dia katanya mau dating Minggu besok sambil bawain pesanan Ibu, kue dan buah yang banyak?” tukas Galih tanpa berbasa-basi lebih dulu.

Galih cukup sensitif ketika mulai dibandingkan dengan abangnya itu. Karena dalam banyak hal, tentu Galih jauh lebih baik sebagai anak Bu Tutik ketimbang Gilang sendiri.

“Ibu kok gitu sih, Bu? Jangan karena satu maslaah kecil yang bahkan cuma sekedar salah paham aja bikin Ibu mengubah persepsi secara drastis, dong. Itu nggak adil untuk kami, Bu!” Galih terus memprotes sang Ibu karena wanita paruh baya itu belum juga bersuara menjawab segenap pertanyaannya.

“Apa lagi? Kamu masih terus mempersalahkan Ibu? Ah, kalau begitu benar adanya Galih. Kamu itu juga sudah terpengaruh oleh istri kamu. Kamu akan dengan senang hati meninggalkan Ibu sendiri kan demi istri kamu yang kolokan dan manja itu?” Bu Tutik membalas dengan nada geram.

“Istri Mas Gilang sendiri gimana, Bu? Apa bisa dibandingkan dengan Lana? Kurang apa Lana selama ini sama Ibu, sih?” tuntut Galih yang semakin tersulut emosi sebab kebaikan dan pengorbanan istrinya untuk bersabar menghadapi keajaiban sikapnya itu sama sekali tak dihargai sepertinya.

Terpopuler

Comments

pembaca 🤟

pembaca 🤟

Bu Tut Bu Tut

2023-03-30

1

ik@

ik@

Bu Tutik emg emak ajaib ya

2022-12-26

0

🍊🍾⃝ᴄʜͩᴀᷞɪͧʀᷠᴀͣ ғᴀᴊɪʀᴀ🅠🅛

🍊🍾⃝ᴄʜͩᴀᷞɪͧʀᷠᴀͣ ғᴀᴊɪʀᴀ🅠🅛

sekali"tegas gk ppa kali ya thor,,, 🤭
semoga bu tutik cpt mndpt hidayah

2022-12-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!