5 Terungkap

"Eh, Lan. Ini aku bawa banyak kue bikinan mertuaku. Makan bareng, yuk." Hesti mengeluarkan sekotak besar beraroma lezat ketika mereka akan pergi ke kantin untuk makan siang.

“Wah, asyik amat mertua kamu, Aih. Aromanya lezat gini, mau dong,” celetuk Aldo yang berada di satu ruangan yang sama dengan Lana dan Hesti.

Lana pun ikut mencomot sepotong kue dari kotak bekal yang dibawa oleh Hesti. Mereka adalah karyawan di bagian administrasi sebuah pabrik produksi sepatu impor besar di kota Surabaya. Ketiganya bekerja dalam satu ruangan di sebelah kantor HRD. Dan biasanya mereka begitu akrab sampai tak segan untuk terkadang salin curhat masalah rumah tangga mereka masing-masing.

Di saat seperti itu, Lana mengingat mertuanya sendiri yang jangankan membuatkan kue untuknya, memasak saja yang enak disembunyikan. Ck. Hampir saja ia membuka aib sang mertua karena keceplosan, beruntung langsung teringat bahwa ia akan malu sendiri kalau sampai menceritakan hal sememalukan itu.

Karena terlalu banyak kuenya sampai dibawa pulang oleh Aldo dan Lana karena Hesti bilang di rumahnya juga masih ada banyak. Sepulang kerja, Lana menghidangkan kue tersebut di meja depan teras untuk dimakan sembari mengobrol bersama suaminya.

“Mas, bawain nih ke kamar Ibu, kayaknya Ibu di dalam kamar, deh,” ucap Lana.

“Nggak usah, nanti kalau keluar aja biar makan bareng kita di sini,” jawab Galih santai.

Dan rupanya, hal itu malah membuat Bu Tutik salah paham. Tak ada angin tak ada hujan, mendadak saja dia muncul di teras sambil mendengkus kasar.

“Ya begitu, kalau punya makanan enak dimakan sendiri aja! Galih, sana belikan ibu brownies kukus di Amindya Bakery!”

Mendengar perintah sang ibu yang disertai emosi itu, Galih mencoba menjelaskan kesalahpahaman itu.

“Ya Allah, Bu. Ini kuenya juga banyak. Cukup buat kita bertiga, kan?”

“Nggak perlu, Ibu punya uang kok buat beli sendiri!” Bu Tutik menyodorkan uangnya di depan wajah Lana.

Spontan Lana tersulut emosinya.

“Ibu apa-apaan sih? Ini juga Lana nggak beli,kok. Ini tuh Lana dikasih Hesti. Ibu mertuanya lagi praktik bikin banyak dan enak, makanya dibagiin. Kalau Ibu mau ya ambil aja. Lana juga tadi udah nyuruh Mas Galih buat anterin ke kamar Ibu, tapi katanya biar tunggu Ibu keluar sendiri aja,” jelas Lana dengan nada setengah tak enak hati dan setengah tak sabar lagi menghadapi sang ibu mertuanya itu.

Bu Tutik lantas berlalu dari teras. Sepertinya malu dengan apa yang sudah terjadi.

Menuduh Lana makan enak sendiri, padahal yang biasanya melakukannya kan dirinya sendiri? Astaga! Lana meenggeleng-gelengkan kepalanya tak habis piker dengan pwmikiran sang ibu mertuanya itu.

“Sabar, ya, Dek,” ucap Galih menenangkan sang istri.

Melihat wajah Lana yang cemberut, Galih mencoba menghiburnya dengan berkata hari Minggu depan mereka akan ke rumah teman Galih.

“Diundang Andi tasyakuran rumah barunya. Ikut kan? Rumahnya di daerah Jemursari, dekat bioskop baru katanya,” ajak Galih antusias.

“Wah, ikut dong, Mas!” pekik Lana kemudian. Rona wajah bahagia tampak di wajah Lana. Ia begitu semangat karena bisa me time bersama suaminya.

Ia sangat gembira bila diajak keluar rumah. Mau ke manapun, terpenting pergi sejenak dari rutinitas rumah, maka ia akan bahagia. Terlebih menjauh sejenak dari Bu Tutik yang sikapnya semakin hari semakin tak mengenakkan hatinya itu.

”Asyik ya, nanti abis dari rumah teman kamu, kita mampir nonton ya?” tanya Lana dengan tatapan penuh harap.

“Boleh, asalkan nggak kesorean pulangnya, ya,” jawab Galih menyanggupi.

Galih sebenarnya suami yang baik, yang mencintai Lana dan sangat perhatian. Tapi karena rasa bakti juga cinta pada Ibunya membuat kadang ia bingung harus membela siapa kala pertikaian demi pertikaian terjadi antara istri dan ibunya.

Dan akan berakhir dengan ia membujuk istrinya untuk bersabar.

Lana memang ia merasa semenjak menikah, waktu mereka berduaan saja terasa sangat kurang. Hal mana seringkali menjadi bahan protes dan keluhan dari sang istri.

Namun, semuanya tinggal rencana. Lana yang bahkan sudah mempersiapkan bingkisan sebagai bawaan untuk keluarga Andi pun lagi-lagi harus menelan kecewa.

Di hari yang ditentukan, Bu Tutik membuat perkara dengan berpura-pura sakit hingga tidak bisa ditinggal.

“Galih, belikan Ibu jamu ya. Sama tolong pijitin punggung Ibu nih, pegal-pegal banget. Pasti karena terlalu capek masak, nih,” keluh Bu Tutik dengan wajah sengaja dibuat sememelas mungkin.

Lana yang malang, yang sedari pagi sudah mempersiapkan semua yang akan dibawa maupun yang akan dipakai dan bahkan apa saja yang akan dilakukan di sana nanti harus memupus semuanya. Terlebih mendengar alas an sang ibu mertua yang seakan mempersalahkannya yang meminta beliau memasak. Padahal kan itu permintaan beliau sendiri. Ish!

“Ibu kan udah Lana larang untuk belanja dan masak, Bu. Biar Lana aja. Meskipun kerja, Lana masih sempat kok bangun pagi dan belanja lalu masak dulu.' Akhirnya Lana tak tahan juga untuk tidak mengutarakan keberatannya. Lagipula selama ini juga dia selalu membantu Bu Tutik memasak, kecuali di kala siang ketika berada di kantor tentu saja.

“Habisnya kamu itu kalau belanja suka tidak dihitung yang irit, Lan. Masa’ beli cabai banyak banget. Nanti keburu busuk, tomat juga. Belilah secukupnya biar gak dibuang nantinya, kan saying,” ujar Bu Tutik kemudian.

Lana kini mahfum alasan Bu Tutik meminta urusan belanja dan memasak diserahkan kepadanya adalah agar dia bisa mengatur keuangan rumah tangga sesuai kemauannya.

Padahal, Lana juga sudah mecoba seirit mungkin. Yah, tentu saja tidak bisa seirit Bu Tutik karena dia masih menyesuaikan selera makanan yang biasa dimakannya dulu di rumah orangtuanya. Menu yang sama sekali berbeda dengan menu yang disediakan Bu Tutik biasanya.

“Sudah-sudah, iya sini Galih pijitin, ya, Bu. Jamunya tolong dibelikan dong, Dek. Biar pas waktunya kita masih akan sempat ke rumah Andin anti.” Galih mencoba menengahi.

Kalau dibiarkan, kedua wanita itu tak akan sebentar berbantahan seperti biasanya.

“Jangan Lana yang berangkat. Ibu tidak suka,” ucap Bu Tutik berkeras hati.

“Ya Allah, Bu. Kan sama aja. Tinggal pesan jamu apa dan yang bikini juga penjualnya, kan?” protes Galih yang mulai tak tahan juga dengan sikap kolokan ibunya itu.

“Biarin, Mas. Alasannya Ibu aja itu emang biar kita nggak jadi berangkat!” Lana berkata gusar sambil melipir ke kamar, menenangkan hatinya.

Galih pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak kuasa melawan sang Ibu, pun tak bisa juga menyalahkan istrinya karena terbukti sikap Bu Tutik memang sedikit keterlaluan barusan. Ibunya memang terlalu kolokan bila badannya sedikit tak enak.

“Jangan gitu, lah, Buk. Mulai besok biar Lana aja yang belanja dan masak. Ibu istirahat aja biar sehat dan nggak kecapaian,” tutur Galih mencoba memberikan solusi.

Namun, justru perkataan Bu Tutik kemudian malah semakin membuat pertikaian meruncing. Bagaimana tidak, dengan tidak ada rasa bersalah sedikit pun, Bu Tutik menjawab,

“Lana boleh gantiin Ibu masak, tapi soal uang belanja biar tetap ibu aja yang belanja. Dia itu belum becus urus uang belanja. Boros sekali kalau di biarin.” Ucap Ibu Tutik.

"Astaghfirullah... Bu... jangan buat Galih bingung bersikap. Ibu dan Lana sama-sama penting dan berarti buat Galih." Keluh Galih pada ibunya.

Terpopuler

Comments

Arnissaicha

Arnissaicha

masya allah bu, heran lho ak nya....
kog ya ada mertua seperti ini ....
klo galih nggak bisa jadi tengah² bisa pisah tuh sama istri....
alhamdulillah nya di kasih mertua yang pengertian bak orang tua sendiri....

2023-04-03

1

ik@

ik@

angel pancen Angel wis toh punya ibu kayak gini

2022-12-25

0

Nar Sih

Nar Sih

siapa pun yg punya mertua kaya gitu pasti ndak sabar 'terlalu .,.pelit nya

2022-12-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!