13 Kembali Seatap

Belajar dari pengalaman lalu, Bu Tutik sudah menjaga sikapnya terhadap Lana.Terlebih menantunya itu bisa dengan mudah memutuskan akan kembali ke rumah orangtuanya lagi saja bila Bu Tutik kembali membuat masalah. Hal mana ternyata itu juga dirasakan sebagai sebuah kerugian. Karena ia jadi mengerjakan semua pekerjaan serumah sendirian. Cukup membuatnya lelah karena ia sudah terbiasa untuk berpangku tangan selama Lana ada di rumah itu dan tidak bekerja.

Hubungannya dengan Galih juga semakin harmonis karena kembali berada dalam satu rumah lagi. Galih tampak sangat tidak sabar menantikan kelahiran buah hati mereka. Sengaja mereka tidak mencari tahu jenis kelaminnya meskipun setiap bulan Lana menjalani USG untuk memantau perkembangan dan kondisi si jabang bayi.

“Mas, nanti Lana naik taksi ke rumah Ibu dan pergi belanja keperluan bayi, ya?” pamit Lana setiap kali ia ingin pergi bersama Bu Asih.

“Iya, Dek. Tapi nanti jangan sampai kamu angkatin sendiri belanjaannya, ya? Minta tolong penjaga took atau supir taksinya untuk angkatin, loh.” Galih selalu memperingatkan istrinya untuk tak mengangkat beban berat. Bahkan di rumah juga ia berpesan pada Bu Tutik untuk mengawasi Lana agar tak bekerja terlalu keras. Istrinya itu terkadang terlalu ceroboh dan menganggap remeh sehingga ia tenggelam dalam kekhawatiran.

“Iya, Mas. Tenang aja. Ibu juga selalu ngingetin Lana, kok.”

Beberapa kali Lana pergi berbelanja dengan Bu Asih untuk mencari perlengkapan bayi karena Lana memang meminta saran apa saja yang dibutuhkan nantinya. Menjadi calon ibu sungguh menjadi hal yang luar biasa bagi Lana meskipun awal kehamilannya diwarnai percekcokan dengan sang mertua.

Bu Tutik sendiri tampaknya biasa saja. Tidak seperti calon nenek yang akan heboh juga menyiapkan ini itu untuk calon cucunya, beliau tampak masih tenggelam dalam urusan pribadinya sendiri. Yang mana seperti biasa kehidupannya hanya di seputaran rumah, tidur di pagi hari, bangun hanya untuk makan siang lalu tidur lagi sampai sore. Baru setelah Galih datang ia baru keluar kamar dan duduk-duduk di teras minta ditemani mengobrol atau nonton TV.

“Banyak sekali sih persiapannya. Pamali, loh. Jangan banyak-banyak lah. Kan juga belum tentu nanti jenis kelaminnya akan perempuan atau laki-laki,” ucap Bu Tutik tampak menegur menantunya yang baru pulang dari belanja dengan ibunya sendiri itu.

Bu Asih yang saat itu ikut mampir pun segera menjawab mewakili putrinya,

“Kami beli perlengkapan secukupnya aja, kok, Mbak. Dan sengaja pilih warna biru yang netral. Bisa dipakai untuk bayi laki-laki ataupun perempuan nantinya.”

“Lagian kenapa sih pakai tidak mau lihat jenis kelamin segala? Kalau perempuan kan enak, bisa pakai perlengkapan dan baju-baju bayinya anak Gilang dulu. Masih tersimpan semua rapi di gudang, loh,” tukas Bu Tutik memprotes.

Lana yang mencium gelagat tak enak antara ibunya dan mertuanya itu pun segera menengahi.

“Mas Galih yang minta gitu, Bu. Biar surprise katanya.”

Terdengar Bu Tutik berdecak lidah tak suka.Ia kemudian pamit masuk ke dalam kamar dan meninggalkan Bu Asih sang besan yang seharusnya ia segani karena sedang bertamu ke rumahnya itu.

“Maafin, ya, Bu, sikap ibunya Mas Galih. Tapi aslinya dia baik, kok,” ucap Lana sedikit berbohong soal ibu mertuanya itu. Semua ia lakukan agar hubungannya dengan Galih tidak memburuk. Soal sikap absurd Bu Tutik ia sudah pasrah dan mulai belajar menerimanya sebagai ujian dalam rumah tangganya. Bagi Lana, Suami yang begitu menyayangi dan bertanggungjawab sudah salah satu rezekinya. Setiap hidup pasti ada cobaan, apalagi hidup berumahtangga.

Ibu mertuanya masih bisa ia hadapi dengan sabar walau kadang suka bikin tahan napas dan mengelus dada. Akan tetapi butuh ektra Kesabaran ketika tabiat ibu mertuanya kumat di depan orang tuanya. Ia harus jadi lem perekat antara keluarga dirinya dan ibu mertua.

“Tapi kok kayaknya kurang ramah gitu, ya Lan?” Tanya Bu Asih yang tampaknya mempunyai feeling kuat bahwa putrinya menyembunyikan sesuatu dari dirinya. Begitulah memang tabiat Lana. Ia tak akan pernah mau membagi kesusahannya kepada sang ibunda.

“Kadang gitu mungkin pas lagi capek aja, Bu.” Lana lantas segera mengalihkan pembicaraan dengan jalan meminta tolong ibunya ikut menata belanjaan mereka di lemari yang khusus dibeli untuk aneka perkakas sang calon bayi.

Usai menyelesaikan pekerjaan rumah di pagi hari, kini Lana selalu menyempatkan berjalan-jalan atau mengobrol dengan para tetangganya yang juga sedang duduk-duduk di teras melepas lelah setelah beberes rumah. Ada juga yang baru belanja di warung Bu Sri kemudian singgah untuk mengobrol sebentar sekedar berbasa-basi.

“Wah, Lana perutnya udah siap lahiran ini, ya?” tanya Bu Feni seraya mengelus perut Lana yang memang sudah sangat besar.

Lana tersenyum ramah.

“Iya, Bu. Kurang sebulanan lagi HPL nya. Deg-deg an ini bawaannya. Udah sering kontraksi palsu,” jawab Lana.

“Sering-sering nyapu pakai sapu lidi sambil membungkuk gitu, ya. Itu buat latihan biar bayinya nanti posisinya nggak sungsang,” saran Bu Feni yang sudah pengalaman tiga kali melahirkan.

“Iya, Bu. Setiap pagi udah nyapu halaman belakang itu pakai sapu lidi. Diajarin Ibu saya,” jawab Lana yang memang banyak mendapat wejangan serupa dari ibunya. Bukan dari Bu Tutik. Karena Bu Tutik memang sangat irit bicara padanya meskipun mereka serumah. Yah, mungkin ia menyadari bahwa mereka memiliki banyak perbedaan sehingga sebaiknya meminimalisasikan pembicaraan.

“Kalau Bu Tutik lagi apa di rumah? Jarang sekali keluar rumah, ya? Tidak sakit, kan?” Bu Feni bertanya lebih lanjut.

“Nggak, kok, Bu. Ibu sehat aja. Tapi ya gitu kalau di rumah sukanya tidur pagi. Mungkin capek karena kalau malam katanya tidak bisa tidur,” ucap Lana menjelaskan sesuai fakta yang diketahuinya.

“Ya ampun. Itu soal kebiasaannya aja itu. Kalau terbiasa tidur pagi hari ya tentu aja lah malamnya jadi gak bisa tidur. Kalau terus gitu gak baik buat kesehatannya loh. Kan udah tua itu harus jaga kesehatan. Banyak berjemur di jam segini. Kapan-kapan diajak juga lah Lan, Bu Tutik berjemur,” saran Bu Feni perhatian.

“Baik, Bu. Nanti Lana sampaikan saran Ibu,” jawabnya acuh.Dalam hati ia enggan menyampaikannya karena dirinya sendiri pun sudah sering kali mengatakan hal yang sama persis.Tapi tak pernah digubris sama sekali.

Dan betul saja, beberapa hari kemudian Bu Tutik mengeluh sakit. Ia tidak bangun dari kamar tidurnya di waktu sarapan. Hingga Galih melihat ke dalam kamar dan mendapati ibunya itu sedang bergelung dalam selimut, katanya kedinginan.

Segera Galih menanyai sakit apa dan dijawab tak enak badan saja. Galih pun akhirnya tidak berangkat kerja demi mengantar ibunya ke dokter untuk periksa dan mendapati bahwa ibunya kena asam urat dan kolesterol tinggi juga tensinya pun naik hingga sangat tinggi.

“Aduh, jadi harus menjaga pola makan nih, Bu. Jangan sering beli makanan nasi bungkus itu lagi ya, Bu.” Galih mengingatkan ibunya ketika dalam perjalanan pulang. Ibunya memang seringkali minta dibelikan nasi bungkus rendang atau rawon empal. Sementara kedua makanan itu jelas adalah pemicu kolesterol tinggi yang dideritanya tersebut. Bu Tutik hanya menganggukkan kepala pasrah.

“Kalau begitu suruh Lana masak yang enak, biar ibu doyan!”

Galih menautkan kedua alisnya. Ingin sekali ia membela istrinya. Tapi kondisi ibu yang telah melahirkannya ini sedang sakit. Ia mencoba menahan napasnya. Ia berusaha agar tak mengikuti rasa emosinya.

Terpopuler

Comments

Lili Aprilia

Lili Aprilia

duhhh buk Tutik mulai merasakan sakit akibat perbuatannya sendiri

2023-09-01

1

fa _azzahra

fa _azzahra

pasti tontonanya sinetron ikan terbang

2023-06-14

1

pembaca 🤟

pembaca 🤟

untung gk stroke ya Bu..

2023-03-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!