"Nah gitu dong masa istri sendiri loe belum pernah lihat wajahnya? Aneh bener itu namanya nolak rejeki tahu nggak sih? Udah bagus rejeki mau datang ke manusia macam loe!"
"Rejeki yang gak gue harepin maksud loe? Kalo bisa gue pindahin ato paketin tu rejeki, gue minta pindahin ke yang lain aja deh. Yang lebih membutuhkan ke jiwa-jiwa yang gersang dan penuh perhatian."
"Mana ada mindahin rejeki! Loe aja yang kurang bersyukur. Harusnya tuh loe bersyukur, orang tua loe masih mikirin dunia akherat loe sampe nikahin loe sama cewek kaya Romlah. Kurang apa coba Romlah? Udah cakep, rajin mengaji, suka menabung, menyiram tanaman, dan menyayangi hewan sebagaimana mestinya."
"Kok loe bisa ngomong dia cakep? Emang loe udah pernah liat muka dia?"
"Belum sih, cuma kira-kira aja pake rumus matematika. Panjang kali lebar kali tinggi biar ketemu luasnya."
"Apaan sih, malah ngomongin matematika mulu. Udah tau gue alergi matematika sampe penyakit insomnia gue kambuh kalo di kelas ada pelajaran matematika."
"Apa hubungannya insomnia sama matematika?"
"Ye kan loe tahu kalo pas di kelas gue tidur mulu, kecuali kalo pelajaran matematika, gue ga bisa tidur. Dan itu mengganggu keseimbangan hidup gue sebagai makhluk hidup terindah yang ada di dunia ini."
"Emang loe ye, gue harus bangga punya temen ga berguna kaya loe. Gue yakin loe pasti juga lupa kan dua kali lima itu berapa."
"Hahahahaha, kalo itu sih gue masih ingat, dua kali lima itu enam belas, sempat tidak sempat harus dibalas."
"Emang loe beneran bego."
"Kalo gue beneran pinter gue udah jadi anak buahnya Pak Habibie, biar bisa kongkow bareng ngomongin pesawat. Ga berdiri sama loe disini."
"Ya udah ah, yuk buruan pulang, terus buka tuh cadar si Romlah. Sekarang loe harus belajar bersyukur punya istri kaya Romlah."
"Idih, ngimpi loe gue harus bersyukur punya istri kaya dia."
"Loe jadi orang sombong bener sih, kalo udah liat muka Romlah, terus dia beneran cakep tau rasa loe jilat hidung sendiri."
"Mana ada jilat hidung sendiri, yang ada jilat ludah sendiri."
"Suka-suka gue, ah. Udah yuk buruan pulang, gue mau melanjutkan tidur panjang, tanggung tadi malem baru sepanjang jalan Jenderal Soedirman, sekarang harusnya udah bisa masuk sepanjang jalan kenangan."
"Norak banget loe, pake jalan kenangan. Udah yuk pulang!"
Mereka bertiga lalu keluar dari kantor manajemen tersebut. Sebenarnya sih mereka cuma berdua, tapi bukankah jika hanya berduaan, orang yang ketiga adalah setan? Jadi kita hitung tetep tiga orang. Sepanjang perjalanan, Rain begitu risau. Bahkan risau yang dirasakan olehnya, lebih tajam dibandingkan dengan risau yang digunakan oleh chef, Chef Juna.
Setelah mengantar Jo pulang ke rumahnya, Rain kemudian pulang ke apartemennya mengendarai mobil warna merahnya. Warna favorite Rain, memang warna merah, seperti warna bunga matahari.
Bergegas Rain menuju ke unit apartemennya. Saat dia membuka pintu apartemen tersebut, tampak Romlah sudah berdiri di belakang pintu itu. Rain pun mencoba tersenyum, meskipun sangat sulit menarik sudut bibirnya. Rasanya, bahkan lebih sulit dibandingkan mengerjakan rumus kimia E\=mxc².
"Selamat siang!" sapa Rain.
"Selamat siang," jawab Romlah.
"Tuan Rain, aku mau bicara dengan anda."
"Kebetulan sekali, aku juga ingin bicara denganmu."
"Kalau begitu, anda duluan."
"Kau saja yang duluan, bukankah ada pepatah yang mengatakan wedon first."
"Baiklah."
"Ya, katakan saja."
"Tuan Rain, aku ingin membatalkan pernikahan kita."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments