Setelah mencari informasi mengenai daftar tamu resort tempatnya menginap, akhirnya Bimantara menemukan di mana kamar Emma berada. Meskipun untuk mendapatkan itu semua tidaklah mudah, tapi pria berusia dua puluh sembilan tahun berhasil mendapatkan apa yang dicari. Demi mantan kekasih, dia rela melakukan apa pun asalkan dapat menemui wanita itu secara empat mata tanpa takut diganggu oleh Tsamara.
"Emma, I'm coming, Sayang," ucap Bimantara penuh semangat. Pria itu bergegas mengayunkan kaki menyusuri jalan setapak terbuat dari kayu.
Sementara itu, seorang wanita cantik bertubuh langsing bagai gitar Spanyol tengah terduduk lemas di tepian ranjang berukuran king size. Mata memerah, butiran kristal terus mengalir di sudut mata.
"Kenapa kita harus bertemu lagi, Bima? Kenapa?" lirih Emma sambil terus terisak. "Setelah lima tahun lamanya aku berusaha melupakanmu dan di saat aku hampir dapat menyingkirkan bayangan wajahmu dari memori ingatanku, Tuhan malah mempertemukan kita kembali. Apakah memang Dia ingin aku terus tersiksa, mengingat kenangan manis sewaktu kita masih bersama? Aku tidak sanggup bila terus terjebak dalam kisah masa lalu. Tidak bisa, Bima. Tidak bisa!" Kepala menggeleng lemah. Bulir air mata terus berjatuhan membasahi pipi wanita itu. Dada semakin sesak kala mengingat kembali tatapan mata penuh kekhawatiran terpancar jelas di sorot mata Bimantara.
"Apakah selamanya aku memang ditakdirkan untuk hidup menderita sedangkan dirimu hidup bahagia bersama Tsamara, istrimu? Ini tidak adil bagiku, Bima! Sangat tidak adil!" Kembali menenggelamkan wajah di antara lutut. Suara isak tangis terdengar di antara deburan ombak yang terdengar syahdu.
Malam itu, setelah sekian lama, akhirnya Emma kembali menangisi kisah cintanya yang kandas akibat terhalang restu orang tua. Terlahir dari keluarga kurang mampu, melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi hanya modal beasiswa membuat dia harus menerima penolakan dari kedua orang tua Bimantara. Irawan dan Hasna langsung menolak Emma mentah-mentah tanpa memberikan kesempatan kepada gadis itu untuk membuktikan bahwa dia layak menjadi salah satu bagian dari keluarga Danendra.
Lima tahun yang lalu, Bimantara dan Emma baru saja menyelesaikan studi-nya di salah satu kampus terkenal di London. Saat wisuda, seluruh orang tua-wali dari belahan dunia mana pun turut menghadiri moment bersejarah bagi anak-anak mereka, begitu pun dengan orang tua Bimantara. Namun, sayang, orang tua Emma tidak dapat hadir menyaksikan prosesi wisuda anak tercinta karena tidak mampu membeli tiket pesawat.
Jangankan membeli tiket pesawat, untuk makan sehari-hari saja sulit kalau tidak dibantu oleh paman Emma yang bekerja di salah satu restoran cepat saji di kota Jakarta. Dengan sangat terpaksa, Kartika--ibu kandung Emma tak menghadiri moment bersejarah bagi anak tercinta. Meskipun begitu, Kartika tetap mendo'akan yang terbaik bagi anak semata wayangnya.
"Sayang, Papa dan Mama-ku sore nanti tiba di London. Malam hari, aku akan mengajak mereka makan di restoran sekaligus memperkenalkanmu di hadapan kedua orang tuaku. Jadi, persiapkan diri untuk menemui calon mertuamu," ucap Bimantara kepada Emma. Saat ini mereka sedang duduk di sebuah taman belakang kampus yang menghadap langsung ke sebuah danau buatan.
Emma yang sedang menatap lurus ke depan segera mendongakan kepala kala mendengar Bimantara memintanya menemui kedua orang tua sang kekasih. "Bertemu dengan orang tuamu? Jangan bercanda, Bima! tandas gadis itu dengan debaran jantung tak beraturan.
"Aku bersungguh-sungguh ingin memperkenalkanmu pada kedua orang tuaku." Bimantara merangkul Emma hingga tubuh gadis itu berada di dekatnya. "Aku mau hubungan kita melangkah ke jenjang yang lebih serius lagi. Untuk itulah aku berencana mengenalkanmu pada Papa dan Mama. Aku ingin mereka tahu bahwa kamu ini adalah kekasih sekaligus calon ibu bagi anak-anakku."
"Orang tuamu akan menerimaku? Aku hanyalah gadis miskin yang terlahir dari keluarga biasa. Bagaimana kalau mereka menolakku mentah-mentah?" lirih Emma tersenyum.
"Kita tidak pernah tahu bila tidak mencobanya. Sudah ya, jangan dipikirkan lagi! Terpenting saat ini, persiapkan dirimu untuk bertemu Papa dan Mama," balas Bimantara sambil memberikan ciuman di puncak kepala Emma.
Bimantara mengajak Irawan serta Hasna makan malam di sebuah restoran cukup terkenal di London. Sebuah restoran mahal dan mewah yang sering mereka datangi ketika mereka ingin membahas hal penting tanpa ingin diganggu oleh siapa pun.
"Tumben sekali kamu mengajak Papa dan Mama makan malam bersama di luar. Apa ada hal penting yang ingin kamu sampaikan pada kami?" tanya Irawan dingin sambil memilih menu dari daftar menu yang dibawakan oleh seorang pelayan.
Bimantara menatap orang tuanya secara bergantian. Ada rasa cemas menyelinap masuk ke dalam nasubari yang terdalam. Namun, dia mencoba bersikap tenang dan meyakinkan diri bahwa apa yang ditakutkan tidak mungkin terjadi.
"Pa, Ma. Aku memang sengaja mengajak kalian makan di sini karena ada seseorang yang ingin kukenalkan," jawab Bimantara mantap, tak terlihat sedikit pun keraguan saat dia mengucapkan kalimat terakhir.
Hasna memandang lekat kepada anak tercinta. Mata memicing, otak berusaha keras berpikir siapakah orang yang ingin dikenalkan oleh Bimantara, anak semata wayangnya. "Seseorang? Siapa?" tanya wanita itu penasaran.
"Ehm ... dia adalah ...." Suara Bimantara terhenti tatkala terdengar suara lembut seorang gadis menginterupsi percakapan pria itu dengan kedua orang tuanya.
"Selamat malam. Maaf, saya datang terlambat," sapa Emma sambil memberikan senyuman manis untuk menutupi rasa canggung di hadapan orang tua Bimantara.
Melihat sang pujaan hati berdiri anggun di depan sana, pendar bahagia terpancar di sorot mata Bimantara. Lantas, pria itu bangkit dan menghampiri Emma. "Ayo, kukenalkan kepada Papa dan Mama," berbisik lirih sambil menggandeng tangan gadis itu.
Tanpa dikomanda untuk kedua kali, Emma menuruti perintah Bimantara. Gadis itu berjalan mendekati meja Irawan dan Hasna. Dia menggenggam erat hand bag yang dibelikan Bimantara sebagai kado anniversary yang kedua tahun. Sebuah kado yang dibeli menggunakan uang pribadi hasil jerih payahnya bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran cepat saji.
"Papa, Mama. Gadis inilah yang ingin kukenalkan kepada kalian. Namanya adalah Emma. Dia adalah ... kekasihku," ucap Bimantara penuh percaya diri.
Sontak, sepasang suami istri itu saling menatap satu sama lain kemudian beralih menatap ke arah Emma.
"Sayang, kenalkan dirimu kepada kedua orang tuaku," bisik Bimantara di telinga Emma.
Jantung Emma memompa lebih cepat dari biasanya. Telapak tangan berkeringai disertai keringat dingin mulai meluncur dari kening kemudian terjun ke pelipis. Meskipun pendingin ruangan berada di suhu terendah namun tak mampu mengusir peluh yang terus membanjiri tubuh.
Kendati kekasih Bimantara sedwng gugup, tetapi dia mencoba bersikap rileks di hadapan Irawan dan Hasna. "Halo, Om Tante. Perkenalkan, nama saya Emma Veronika dari Indonesia," tuturnya sopan dan lemah lembut.
Kedua orang tua Bimantara memberikan tatapan tajam pada sosok gadis yang berstatuskan sebagai kekasih dari sang anak. Hasna memperhatikan penampilan Emma mulai dari atas kepala hingga ke ujung kaki lalu berkata, "Kamu teman sekelas Bimantara?"
"Benar, Tante. Saya teman sekelas Bima. Sejak semester pertama hingga semester akhir, kami selalu sekelas," jawab Emma jujur. Tidak ada kebenaran yang disembunyikan oleh gadis itu. Kartika selalu mengajarkan anak tersayang untuk selalu berkata jujur meskipun itu adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima.
"Sudah berapa lama jadian dengan anak saya? Selama pacaran, apakah kalian pernah bermalam bersama dalam ruangan yang sama? Lalu, orang tuamu bekerja di mana? Berapa penghasilan Papamu dalam satu bulan?" tanya Irawan penuh selidik. Entah kenapa, pria berkacamata itu tidak menyukai gadis pilihan Bimantara.
Mendengar Irawan memberondong Emma dengan berbagai pertanyaan tak bermutu membuat Bimantara kesal terlebih saat sang papa secara terang-terangan menanyakan pekerjaan orang tua kekasih tercinta. Sementara itu, Emma hanya membeku di tempat sambil menundukan pandangan. Perasaan gadis itu tidak enak kala Irawan bertanya perihal kedua orang tuanya.
"Papa. Jangan menanyakan soal yang tidak penting kepada kekasihku!" sergah Bimantara. Tidak tahan melihat ekspresi wajah Emma yang mulai berubah pucat. Menanyakan pekerjaan serta penghasilan orang tua Emma merupakan hal yang sangat sensitif bagi kekasih tercinta sebab Kartika--ibu kandung gadis itu hanya seorang pelayan di sebuah rumah makan sedangkan ayah Emma telah lama meninggal saat gadis itu berusia sepuluh tahun.
"Memangnya Papa salah kalau menanyakan sesuatu yang tidak diketahui? Papa hanya ingin tahu latar belakang gadis yang kamu cintai!" ucap Irawan. Nada suara tinggi karena merasa tersinggung atas ucapan Bimantara.
"Tapi pertanyaan Papa tidak berbobot. Ada banyak pertanyaan yang bisa ditanyakan selain pertanyaan itu, Pa!" sahut Bimantara tak kalah sewot. Pria itu mencoba membela Emma di hadapan orang tuanya.
Irawan menatap sinis ke arah Emma, kemudian menarik sudut bibir sebelah kanan ke atas seraya berkata, "Oh ... jadi ini ilmu yang kamu dapatkan selama kuliah di London, berkata kasar di hadapan orang tua."
"Papa ...." Perkataan Bimantara terpotong kala tangan lembut Emma mencekal lengan sang kekasih. Tatapan mata gadis itu menatap lekat pria bertubuh jangkung. Sorot mata gadis itu penuh permohonan, berharap Bimantara diam dan menutup mulutnya rapat.
Emma melepaskan tangannya dari lengan Bimantara. Telapak tangan gadis itu semakin erat mencengkram hand bag pemberian Bimantara. "Saya akan menjawab pertanyaan Om satu persatu. Pertama. Saya sudah tiga tahun menjalin kasih dengan Bima. Kedua. Kami tidak pernah sekalipun tinggal satu atap meskipun kehidupan di sini bebas. Lalu yang ketiga ...." Terasa berat saat hendak menjawab pertanyaan ketiga. "Orang tua saya hanya seorang pelayan di sebuah rumah makan kecil di pinggiran kota Jakarta. Penghasilan Ibu saya tidak besar, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari."
"Jadi ... kamu ... bukan dari kalangan elite seperti kami, begitu?" tandas Hasna yang dijawab anggukan kepala Emma.
Lamunan Emma buyar seketika kala terdengar suara bel pintu kamar ditekan dengan sangat keras. Wanita itu terperanjat dari posisi duduknya saat ini. Tak ingin terus menerus mendengar suara bel pintu yang ditekan dengan tidak sabaran, akhirnya wanita itu bangkit menuju pintu.
Jemari tangan memutar handle pintu hingga daun pintu terbuka lebar. Saat terbuka sempurna, bola mata Emma membulat sempurna. "Kamu?"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments