Akhir pekan merupakan waktu terbaik untuk menghabiskan waktu bersama keluarga ataupun orang terkasih. Biasanya orang-orang akan pergi berkunjung ke sebuah tempat hiburan di mana mereka bisa bersantai sejenak dari rutinitas pekerjaan yang tidak pernah habis.
Di saat orang di luaran sana mengajak keluarga pergi jalan-jalan, Fahmi lebih memilih duduk santai bersama istri serta anak sulungnya di tepi kolam renang. Hanya mereka bertiga saja di rumah mewah klasik dua lantai yang dibangun di atas lahan berukuran 25.7 meter × 30.8 meter. Kenan El Gibran, adik Tsamara tengah menuntut ilmu di London sehingga tak bisa menemani kedua orang tuanya.
"Tsa, apakah kamu sudah menemukan rumah sakit tempatmu melakukan magang nanti?" tanya Sekar seraya menuangkan jus jeruk untuk suami tercinta.
Tsamara mengangguk. "Sudah, Ma. Kebetulan rumah sakit ini bekerjasama dengan kampusku. Jadi, beberapa mahasiswa lulusan kedokteran, diperbolehkan mendaftar menjadi dokter magang di sana," tuturnya sopan. Setelah itu, Tsamara kembali fokus pada benda pipih dalam genggamannya.
Fahmi meraih gelas yang diberi Sekar, lalu menyesapnya perlahan. Segarnya buah jeruk sunkist yang diperas serta diberi sedikit es batu mampu menghilangkan dahaga seketika.
"Apakah ponselmu itu lebih penting dari Papa dan Mama sehingga arah pandangmu sedari tadi tertuju ke sana?" ketus Fahmi. Ia paling tidak suka saat sedang berkumpul, salah satu dari mereka lebih fokus mengerjakan hal lain dibanding berbincang hangat bersama keluarga.
Setelah menuangkan jus jeruk untuk Fahmi, Sekar mengambil duduk di kursi lain. Sebelah tangan melingkar di lengan suaminya, sedangkan sebelah lagi mengusap bahu pria tersebut. "Papa, jangan ketus begitu ih terhadap anak sendiri! Mungkin saja Tsa sedang menunggu telepon penting dari seseorang. Atau bisa jadi menunggu kabar dari Bima, benar begitu, Sayang?" Melirik ke arah Tsamara, mencoba membantu gadis itu agar tak kena omel Fahmi.
Tsamara menundukan wajah, merasa bersalah karena telah memancing keributan di pagi hari. Ada perasaan menyesal yang menelusup dada mendengar nada bicara Fahmi meninggi.
"Yang dikatakan benar, Pa. Aku ... sedang menunggu kabar dari Kak Bima," ucap Tsamara lirih sambil terus menunduk. Jemari tangan memelintir ujung blouse yang dikenakan. "Maafkan, aku, Papa."
Mendengar ucapan itu, seketika Fahmi mendesaah pelan. Entah sudah berapa kali Bimantara mengecewakan putri tercinta. Namun, anak gadisnya itu selalu membuka tangan lebar dan bersedia memaafkan anak dari sang sahabat.
"Dia belum juga menghubungimu setelah kejadian tadi malam?" tanya Fahmi penuh selidik. Netra pria itu tajam menatap ke arah Tsamara. Akan tetapi, anak gadisnya itu bergeming. "Jawab, Papa, Tsa. Apakah tunanganmu itu belum menghubungimu sejak semalam!"
Suasana tiba-tiba hening. Tidak ada tanggapan apa pun dari Tsamara. Fahmi semakin geram atas sikap anaknya. Bibir pria itu kembali terbuka, hendak berucap. Namun ....
"Permisi, Pak Fahmi. Di depan ada Den Bima dan meminta izin ingin menemui Mbak Tsamara." Perkataan Mbok Darmi langsung menghentikan niatan Fahmi dan membuat Tsamara dengan segera mendongakan kepala.
"Kak Bima datang ke sini, Mbok? Sungguh?" tanya Tsamara memastikan kalau Bimantara benar-benar menemuinya di rumah. Pendar kebahagiaan terlihat jelas di iris coklat gadis itu.
"Benar, Mbak. Saat ini Den Bima sedang menunggu di ruang tamu," jawab Mbok Darmi singkat.
Tanpa membuang waktu, Tsamara bergegas bangkit dan melangkahkan kaki menuju ruangan di mana Bimantara berada. Sementara Fahmi hanya menghela napas kasar ketika melihat Tsamara mengulum senyuman lebar di sudut bibir.
"Sudahlah, Pa, biarkan saja begitu. Selama Tsamara bahagia, kita patut mendukungnya," ujar Sekar mengetahui kegundahan dalam hati sang suami.
"Kak Bima!" seru Tsamara setengah berlari menghampiri tunangannya. "Aku tahu Kakak pasti datang menemuiku." Melingkarkan tangan di lengan sang pujaan hati dengan erat. Menyenderkan kepala di pundak pria itu seakan ia takut Bimantara pergi dan tak kan kembali lagi.
Dengan wajah datar, Bimantara menjawab, "Tentu saja aku harus datang. Kalau tidak, Papa pasti mengancamku untuk tidak menemui Mama."
Senyuman di wajah Tsamara terlukis kala dirinya dapat kembali merasakan kehangatan tubuh dari pria yang dicintainya. Tak peduli akan sikap dingin dan perkataan yang terkadang melukai hatinya. Terpenting dia bisa berduaan lagi dengan calon suaminya itu.
Setelah puas memeluk Bimantara, Tsamara mengurai pelukan dan menyamankan duduknya. Kendati begitu, ia tetap berada di samping pria itu.
"Aku sudah memutuskan akan menerima pernikahan kita. Namun, aku tidak mau andil dalam persiapan pernikahan. Bila kamu ataupun Mama ingin memesan gaun pengantin, katering atau sebagainya, lakukan saja sendiri. Jangan memaksaku ikut terlibat mengurus pernikahan kita!" ujar Bimantara sontak membuat Tsamara terlonjak dari sofa.
"M-menikah? Kita ... akan menikah, Kak?" tanya Tsamara terbata. Masih belum percaya atas apa yang didengarnya barusan.
"Tentu saja. Kamu pikir, siapa yang akan menikah kalau bukan kita hem? Kenan, adikmu saja masih fokus kuliah di London mana ada waktu memikirkan pernikahan!" sahut Bimantara kesal.
Tsamara masih memandangi wajah tampan Bimantara dengan lekat. Sorot mata penuh ketidakpercayaan tersirat di irisnya yang coklat. "Kakak sungguh akan menikahiku? Kakak tidak sedang berbohong, 'kan?"
"Apakah aku punya pilihan lain selain menikahimu, Tsamara? Seandainya saja ada, sudah kulakukan sejak dulu kala sebelum segala urusan semakin membuatku muak!" Tatapan mata Bimantara dingin, terlihat jelas kalau ia sedang menahan kesal terhadap gadis di sebelahnya.
Alih-alih merasa tersinggung, Tsamara malah melingkarkan kedua tangan di tubuh kekar Bimantara. Mendekap erat, merasakan aroma parfum bernuansa aqua yang menghadirkan nuansa segar dan tropikal memanjakan indera penciuman Tsamara.
"Aku mencintaimu, Kak Bima. Aku benar-benar sangat mencintaimu. Tak kusangka sebentar lagi kita menikah, membangun rumah tangga harmonis hingga maut memisahkan." Hati Tsamara berbunga-bunga seperti bunga sakura bermekaran. Bayangan saat dia dan Bimantara duduk bersanding di pelaminan semakin membuat kedua sudut bibir melebar sempurna.
***
Saat ini, Tsamara dan Bimantara sedang berada di sebuah mall terbesar di Jakarta Pusat. Anak sulung Fahmi dan Sekar merengek meminta sang CEO menemaninya berbelanja membeli tas, sepatu dan pakaian yang dikenakan ketika memulai magang nanti. Banyak toko yang disinggahi sehingga kedua tangan Tsamara sudah tak lagi mampu memegang tas belanjaan miliknya. Dengan sangat terpaksa Bimantara membantu calon istrinya itu.
"Kak Bima, kita makan dulu yuk di sana. Perutku lapar sekali. Tadi pagi aku cuma sedikit karena tidak napsu makan," tutur Tsamara sembari menunjuk sebuah restoran Jepang yang menyajikan menu-menu makanan yang otentik dari Jepang, bukan seperti restoran Jepang pada umumnya.
"Tapi aku tidak lapar, Tsa. Lagipula masih terlalu dini untuk makan siang," jawab Bimantara saat netranya tanpa sengaja melirik sekilas benda bundar yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu masih menunjukan pukul dua belas siang sedangkan mereka biasa makan siang pada pukul satu atau setengah dua siang.
"Ayolah, Kak, temani aku makan sebentar. Setelah itu, kita pulang. Please." Memasang wajah memelas dengan kedua tangan menangkup di depan.
Melihat sorot mata penuh permohonan membuat hati Bimantara luluh. Tak ingin ditegur lagi oleh Irawan, lantas dia berkata, "Baiklah. Kita makan siang di sana. Tapi janji, setelah itu kita pulang karena aku lelah terus berkeliling sedari tadi."
Tsamara mengangguk kepala dengan antusias. "Oke, Kak!" Kemudian mereka melangkah menuju sebuah restoran yang berada di depan toko buku. Namun, langkah kaki harus terhenti tatkala sepasang manik coklat menangkap sosok wanita tengah menaiki eskalator menuju lantai satu.
Seketika raut wajah Bimantara berubah. Mata memicing memastikan apa yang dilihatnya bukanlah bayangan semu.
"Dia?" ucap Bimantara lirih.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Dewa Rana
kok tsamara begitu bodohnya
2023-06-29
0