Setelah menghabiskan waktu sekitar kurang lebih 3,5 tahun menjalani masa preklinik atau masa kuliah dilanjut koas yang berlangsung selama 1,5 tahun lamanya, Tsamara Asyifa Gibran berhasil menyandang gelar dokter di usianya yang menginjak dua puluh empat tahun. Suka duka telah dilalui hingga akhirnya gelar dr. telah tersemat di depan namanya.
Walaupun Fahmi adalah pebisnis sukses di sektor pariwisata, tetapi kemampuan mengelola bisnis tidak menurun kepada Tsamara. Ia lebih tertarik di dunia medis, menjadi dokter dan membantu pasien merupakan cita-citanya sedari kecil. Beruntung, Kenan--adik bungsu Tsamara tertarik di dunia bisnis sehingga kelak dia yang akan mengambil alih tongkat kepemimpinan sang papa.
Hari ini, untuk pertama kalinya Tsamara bekerja sebagai dokter magang (internship) untuk melatih kesiapan dan kemandirian sebelum memperoleh Surat Izin Praktek (SIP). Persada International Hospital merupakan rumah sakit tempat gadis itu mengabdikan diri sampai dokter senior menganggap kalau dia layak mendapatkan SIP.
Tepat pukul tujuh pagi, Tsamara dan teman kuliahnya dulu sudah tiba di rumah sakit. Sengaja datang lebih awal untuk bertemu dengan dokter Fatma--kepala dokter di bagian IGD.
"Selamat pagi, Suster. Saya dan rekan adalah dokter magang baru di sini ingin bertemu dengan Dokter Fatma. Di mana kami bisa menemui beliau?" Suara lembut Tsamara menghentikan sejenak aktivitas salah satu perawat yang baru saja menginjakan kaki di sebuah ruangan paling depan dari bangunan megah tersebut.
Perawat itu memperhatikan penampilan Tsamara mulai dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Semua benda yang menempel di tubuh gadis itu merupakan barang branded dengan harga fantastis. Melihat itu, dia sangat yakin bahwa gadis di hadapannya bukan dari kalangan biasa melainkan kelas elite atau bisa jadi merupakan anak konglomerat.
"Suster? Apakah Anda bisa mendengar pertanyaan teman saya barusan?" Lia melambaikan tangan ke hadapan perawat berseragam putih kala mendapat respon apa pun dari wanita itu.
Wanita berseragam perawat yang tak lain bernama Nadia mengerjakan mata sesaat setelah kesadarannya kembali. Rupanya dia sempat melamun sambil berusaha keras berpikir siapakah wanita cantik berparas jelita yang berdiri di depannya. Wajah gadis itu begitu familiar, seolah ia pernah melihatnya di suatu tempat.
Wajar saja bila Nadia tampak familiar dengan wajah Tsamara, sebab beberapa kali anak sulung dari pasangan Fahmi dan Sekar mendampingi kedua orang tuanya saat menghadiri acara penghargaan yang disiarkan oleh stasiun televisi tanah air. Potret gadis itu pun sering bersliweran di media sosial karena kecantikannya yang begitu alami khas wanita Asia.
"Aah, ya. Tadi, kalian bertanya bisa bertemu Suster Fatma di mana, 'kan?" Mengulang pertanyaan sama yang diajukan oleh Tsamara. Terlalu keras berpikir membuat Nadia lupa bahwa kedua dokter muda membutuhkan jawabannya segera.
"Benar, Suster," sahut Tsamara dan Lia hampir bersamaan.
Nadia membalikan badan sambil menunjuk sebuah ruangan di dekat loker. "Dokter Fatma ada di ruangan itu. Kalau ingin bertemu dengannya, coba saja diketuk. Biasanya sih jam segini beliau sudah datang."
"Baiklah. Kalau begitu kami permisi dulu. Terima kasih, Suster," ucap Tsamara sopan.
Saat tiba di depan pintu ruangan dokter senior yang bertanggung jawab terhadap seluruh dokter di IGD Persada International Hospital, Tsamara langsung mengulurkan tangan ke depan, mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
"Masuk!" Seseorang berseru dari dalam ruangan.
Degup jantung dua gadis bersnelli putih berdegup kencang saat mendengar suara Fatma. Nada suara lantang dan tegas seketika membuat Tsamara dan Lia menelan saliva susah payah. Mereka terlihat begitu gugup karena untuk pertama kalinya bertemu langsung dengan dokter senior yang tentunya lebih berpengalaman dan mahir di bidang kedokteran. Sejuta pertanyaan berkumpul di benak masing-masing hingga wajah mereka terlihat lebih pucat.
"Tsa, kamu saja yang membuka pintu itu. Aku tidak berani kalau harus menjadi orang pertama yang bertemu Dokter Fatma," bisik Lia. Posisi awal di depan, tetapi kini bergeser ke belakang.
"Tapi, Li--" Saat Tsamara hendak menyelesaikan kalimat, pintu berwarna putih sudah lebih dulu terbuka disusul seorang wanita paruh baya berjas putih berdiri di ambang pintu sambil menatap tajam ke arah mereka.
"Kenapa tidak langsung masuk ke dalam? Bukankah suara saya tadi nyaring terdengar jelas di pendengaran kalian," tegur Fatma karena tak kunjung melihat dua dokter muda yang hendak melakukan internship di rumah sakit tempatnya bekerja.
"Maaf, Dok." Hanya kalimat itu yang mampu meluncur di bibir Tsamara dan temannya.
"Masuklah! Biar saya jelaskan aturan dan tata tertib selama magang di rumah sakit ini," titah dokter senior itu kepada mereka.
Setelah Fatma duduk di kursi kebanggannya dan Tsamara serta Lia duduk di seberang sana, barulah dokter senior bersnelli putih membuka suara. "Ini merupakan pertama kalinya kalian bekerja di rumah sakit sebagai dokter magang. Selama kurang lebih satu tahun, kalian mengabdikan diri sini, saling membantu dan bekerjsama dengan tenaga medis lainnya. Oleh karena itu, saya harap kalian bisa mematuhi aturan dan tata tertib selama magang di sini."
"Saat sedang bertugas, mohon patuhi prosedur penyelamatan pasien sesuai dengan SOP kedokteran. Jangan sampai melakukan kesalahan sedikit pun! Ingat, nyawa pasien sangat berharga bagi kita!" Fatma memberikan wejangan kepada dua orang dokter muda di seberangnya sebelum mereka memulai magang untuk pertama kali. "Kalau ada hal yang tidak diketahui, boleh temui saya di sini."
"Sampai sini, apakah ada hal yang ingin kalian tanyakan?" ucap wanita paruh baya itu sebelum mengakhiri percakapan.
"Tidak ada, Dokter. Semuanya sudah jelas," jawab Tsamara dan Lia hampir bersamaan.
"Ya sudah. Kalau begitu, sekarang saya akan mengajak kalian menemui tenaga medis yang bekerja di IGD dan berkeliling rumah sakit sebentar. Mari!" Fatma pun bangkit dari kursi kebanggaannya, disusul Tsamara dan Lia. Ketiga wanita itu melangkah bersisian keluar ruangan.
Sesuai janjinya, Fatma memperkenalkan Tsamara dan Lia kepada rekan sejawat yang bertugas di IGD. Awalnya kedua gadis itu berpikir kalau Fatma mempunyai sifat dingin dan tidak mudah didekati, tetapi rupanya dugaan mereka salah. Dokter senior berusia sekitar empat puluh lima tahun begitu ramah, baik dan selalu tersenyum hingga membuat mereka merasa nyaman bekerja di lingkungan baru.
"Oalah, jadi kamu ini anaknya Pak Fahmi yang terkenal crazy rich asal Surabaya itu, toh!" ujar seorang perawat wanita berusia tiga puluh tahun dengan logat medok.
"Pantas saja saya sangat familiar dengan wajahmu. Ternyata anak dari pemilik hotel terkenal yang baru-baru ini mengumumkan rencana pernikahan," timpal Nadia. Kini rasa penasarannya terpecahkan kala Fatma memberitahu siapa gerangan Tsamara yang sebenarnya.
Tsamara hanya tersenyum kaku saat semua orang mengetahui identitasnya sebagai anak dari pasangan konglomerat. Kalau boleh jujur, ia sebenarnya ingin sekali bekerja dengan tenang tanpa ada satu orang pun tahu siapa papa dan mamanya. Namun, mengingat popularitas serta ketenaran Fahmi dan Sekar, rasanya akan sulit menyembunyikan itu semua. Pada akhirnya, ia hanya bisa pasrah dan menerima semua takdir Tuhan dengan lapang dada.
Mengusap tengkuk dengan tangan sebelah. "Benar sekali, Suster. Bulan depan, rencananya saya akan menikah. Jika berkenan, semua rekan yang ada di IGD bisa hadir dalam pesta pernikahan saya nanti," tutur Tsamara.
Seketika wajah semua orang sumringah mendapat undangan khusus dari Tsamara. Mereka bahagia karena mendapat kesempatan hadir dalam pesta pernikahan milik salah satu anak konglomerat asal Surabaya.
"Jadi ... bulan depan kamu akan menikah?" seru seseorang dari balik badan Tsamara.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments