"Apakah aku boleh masuk ke dalam? Aku ingin berbicara secara empat mata denganmu," kata Bimantara.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Bim. Semuanya sudah jelas," jawab Emma. Tangan wanita itu meraih handle pintu, bersiap menutup kembali daun pintu yang terbuka lebar.
Melihat gerakan itu, Bimantara bergegas membentangkan sebelah kakinya ke depan, menghalangi agar daun pintu tersebut tidak tertutup. "Emma, please, berikan aku waktu untuk berbicara denganmu walau hanya sepuluh menit saja." Pria itu memelas dengan tatapan mata penuh pengharapan.
Benteng pertahanan yang dibangun selama lima tahun hampir roboh bila tak segera menjauh dari pandangan Bimantara. Tatapan mata penuh kerinduan terpancar jelas di sepasang iris coklat yang begitu meneduhkan jiwa. Emma takut akan merasakan kembali kesakitan yang pernah dirasakan beberapa tahun silam.
"Maafkan aku, Bima. Tapi, sebaiknya kamu pergi dari sini sekarang. Aku tidak mau Tsamara memergoki kita dan berpikiran macam-macam." Emma akhirnya teguh pada pendiriannya, tak ingin membiarkan Bimantara masuk lagi ke dalam ruang kosong yang selama ini tidak diisi oleh siapa pun.
Akan tetapi, bukan Bimantara namanya bila tak mempunyai seribu akal untuk tetap berada di kamar Emma. Dia bersikeras tak mau meninggalkan kamar tersebut karena banyak hal yang mau dia sampaikan kepada mantan kekasihnya. Salah satunya adalah ... alasan kenapa dia bisa menikahi Tsamara dan kenapa mereka ada di Pulau Maldives yang konon katanya merupakan tempat romatis bagi sepasang suami istri untuk berbulan madu.
"Aaw!" Emma menjerit tatkala Bimantara meringsek masuk ke dalam kamar dan mendorong tubuh wanita itu hingga membentur dinding. "Kamu apa-apaan sih, Bima! Sakit!"
"Terserah apa katamu, Emma, tapi aku akan tetap menjelaskan semuanya kepadamu!" ujar Bimantara. Kedua tangan pria itu mencengkeram erat pundak Emma hingga membuat sang wanita meringis kesakitan.
"Lepaskan aku, Bima! Kumohon, pergilah dari sini! Aku tidak mau melihatmu lagi!" lirih Emma berkata.
Lain di mulut, lain di hati. Itulah pribahasa yang tepat menggambarkan perasaan Emma sekarang. Mulut bisa saja berkata tidak, tapi jauh di lubuk hati yang terdalam sebenarnya dia sangat ingin berada di sisi Bimantara sama seperti dulu saat mereka masih menjadi sepasang kekasih. Lima tahun tak bertemu membuat dia merindukan pria itu setengah mati hingga setiap malam selalu bermimpi bertemu kembali dengan sang mantan kekasih.
Bimantara menatap lekat manik coklat yang selama ini dirindukannya. Tatapan tegas pria itu terselimuti kerinduan yang mendalam.
"Katakan padaku, Emma, apakah kamu benar-benar ingin aku pergi dari sini? Kamu tidak mau mendengar penjelasanku kenapa aku bisa menikahi Tsamara, iya? Lalu, apakah kamu memang tak merindukanku selama ini? Jawab Emma! Jawab semua pertanyaanku!" seru Bimantara dengan suara lantang sambil mengeratkan cengkeraman tangan di bahu Emma.
Sakit! Sakit sekali saat Emma mendengar pertanyaan Bimantara. Bagaimana mungkin dia tidak merindukan Bimantara sementara bayangan wajah pria itu terus hadir mengganggu setiap malam-malamnya. Dia selalu mendambakan belaian kasih sayang, ciuman penuh cinta yang selalu Bimantara beri kala mereka tengah berduaan masih dirasakan olehnya hingga saat ini. Dia tersiksa karena harus memendam semua itu.
Namun, saat mengetahui bahwa Bimantara tak lagi sendiri apakah Emma masih pantas mengatakan kalau dia merindukan seseorang yang telah menjadi milik orang lain? Sungguh, takdir begitu tidak adil hingga dia harus menerima kenyataan pahit ini.
Emma tak sanggup terlalu lama beradu pandang dengan Bimantara. Lantas, dia membuang pandangannya ke arah lain. "Pergilah, Bima. Kisah kita sudah berakhir saat kedua orang tuamu menolakku secara mentah-mentah," ucapnya lirih.
Bagai ditusuk ribuan anak panah, melesak dan menancap tepat di hati. Itulah yang dirasakan Emma saat ini. Bibir wanita itu gemetar menahan suara isak agar tak terdengar oleh indera pendengaran Bimantara. Mata berkaca-kaca namun mencoba untuk tetap tegar di hadapan mantan kekasih.
Bimantara mematung, dia mendengar jelas perkataan Emma. Pergi, itulah kata yang diingat oleh pria itu. Emma menginginkan dirinya pergi dari kehidupan wanita itu untuk selamanya. Mungkinkah memang Emma sama sekali tak merindukannya? Atau mungkin rasa cinta Emma untuknya sudah tidak ada lagi?
Tanpa sadar, Bimantara melonggarkan cengekeraman tangan hingga tangan kekar itu menjuntai di bawah. Mundur beberapa langkah tanpa mengalihkan pandangan dari sosok wanita di hadapannya.
"Jadi, kamu memang menginginkan aku pergi dari sini, Emma?" tanya Bimantara dengan suara parau. Tatapan mata tajam seperti seekor elang yang bersiap menerkam mangsanya. "Jika itu maumu maka aku akan mengabulkannya. Ini adalah terakhir kalinya kita bertemu. Setelah itu kupastikan kita tak kan bertemu lagi."
Bimantara memejamkan mata singkat. "Namun, sebelum pergi, aku hanya ingin mengatakan bahwa cintaku kepadamu tak pernah pudar meski saat ini aku menikahi Tsamara namun dirimu tetap menjadi pemilik hatiku."
Usai mengatakan kalimat terakhir, Bimantara meninggalkan kamar itu. Dengan langkah gontai disertai perasaan yang campur aduk membuat suasana hati kacau.
Emma mematung di tempat. Lidah wanita itu kelu saat mengetahui kebenaran yang baru saja dikatakan Bimantara. Sebuah kebenaran yang mengatakan bahwa hanya dirinyalah pemilik hati Bimantara. Cinta pria itu kepadanya tak pernah pudar meski saat ini telah ada Tsamara di antara mereka.
Apakah yang dikatakan Bimantara benar kalau selama ini hanya ada aku seorang di hatinya? Tapi, bagaimana jika kamu hanya berpura-pura agar aku luluh dan mau menerimamu kembali?
Emma bermonolog seraya memandangi punggung Bimantara yang hampir menghilang di balik pintu. Namun, saat pintu itu nyaris tertutup entah mendapat dorongan dari mana tiba-tiba saja dia berlari menghampiri mantan kekasihnya.
"Bima, tunggu!" seru Emma membuat Bimantara berhenti melangkah. "Aku pun masih mencintaimu, Bimantara Danendra. Dari dulu hingga sekarang, hatiku cuma milik kamu seorang. Dulu, sekarang dan selamanya cuma kamu yang kucintai."
Mendengar itu, Bimantara seketika berbalik dan berjalan mendekati Emma. Ucapan wanita itu memberikan secercah cahaya di kala gundah gulana. Senyuman manis terbit di sudut bibirnya yang seksi.
"Jadi, kamu pun masih mencintaiku, Emma? Benar begitu, Sayang?" tanya Bimantara memastikan kembali kebenaran dari perkataan sang mantan kekasih.
Emma mengangguk cepat. "Benar. I'm still love you, Bim. Dulu, sekarang dan selamanya only you in my heart."
Tanpa berpikir panjang, Bimantara memeluk tubuh Emma sambil menghujani puncak kepala wanita itu dengan ciuman. Ciuman yang mengisyaratkan betapa rindunya dia selama ini akan sosok wanita itu.
"Terima kasih, Sayang karena kamu masih menjaga kesucian cintamu hanya untukku seorang." Bimantara semakin mengeratkan pelukan. Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa merasakan lagi betapa hangatnya tubuh Emma. Wanginya tubuh wanita itu masih sama sebelum mereka berpisah.
Emma hanya mengangguk dan membalas pelukan Bimantara. Menumpahkan kerinduan yang dipendam selama ini. Akan tetapi, sebuah palu raksasa menghantam kesadaran wanita itu.
Mendongakan kepala, memandangi wajah tampan nan rupawan. "Lalu, bagaimana dengan Tsamara, Bim? Apa yang akan kamu lakukan kepadanya?"
Bimantara mengurai pelukan, membalas tatapan wanita itu. "Aku--"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
asih Asih
Nnti kalau ditinggal Tsamara pergi menjauh baru sgt nyesal kamu Bimantara sementara Tsamara hatinya sdh bkn milikmu lg
2022-11-15
2
sweet candy
greget sama bima.
2022-11-15
1
Abizar Meram
Tsamara 😭😭😭😭😭
2022-11-15
1