Waktu menunjukan pukul enam lewat tiga puluh menit waktu setempat saat pria berwajah oriental membelokan mobil warna silver miliknya memasuki halaman rumah sakit tempatnya bekerja. Ia parkirkan mobil kesayangannya di parkiran khusus para dokter, lalu melangkah masuk ke dalam bangunan megah yang selama lima tahun ini menjadi tempatnya mencari rezeki.
"Selamat pagi, Dokter." Seorang security berseragam navy dengan membawa pentungan yang diselipkan di pinggang menyapa pria berwajah oriental.
"Ya, selamat pagi juga Pak Ahmad." Dokter muda itu melanjutkan langkah kaki yang sempat tertunda. Mengulum senyum ramah saat berpapasan dengan beberapa karyawan rumah sakit.
Saat melewati apotek rumah sakit, ia berbelok ke lorong sisi kanan hingga tiba di depan toko roti cukup terkenal di rumah sakit tersebut. "Budhe Sri, biasa," serunya kepada penjaga toko roti berusia sekitar empat puluh lima tahun.
"Siap, Dokter!" Lantas, penjaga toko roti tersebut memasukan dua potong roti krim keju ke dalam paper bag makanan dan menyodorkan satu cup kopi kesukaan pria tersebut.
Usai mendapatkan apa yang diinginkan, dokter tampan bernama Yudistira Airlangga mengayunkan kaki menuju ruangan khusus bagi para dokter IGD rumah sakit.
"Dokter Reza, saat aku masuk ke sini tanpa sengaja mendengar suara ribut-ribut dari dalam ruangan. Memangnya ada apa sih?" tanya Yudistira ketika Reza masuk ke dalam ruangan yang sama.
Reza, teman sejawat Yudistira menoleh ke arah pria berusia dua puluh sembilan tahun sambil mengambil sesuatu yang tertinggal dari dalam loker miliknya. "Maksud Dokter Yudis yang barusan ini?" ujarnya sesaat setelah terdengar suara gerak tawa berasal dari ruang pemeriksaan. Kebetulan saat itu IGD masih sepi sehingga mereka bebas tertawa bersama rekan lainnya.
Yudistira menganggukan kepala sebagai jawaban. "Benar, Dok. Jika biasanya IGD ramai oleh pasien darurat, tetapi hari ini ramai oleh suara tawa teman-teman kita."
Menutup pintu loker, lalu Reza menjawab, "Itu semua karena kedatangan dua dokter magang yang baru saja lulus kuliah. Satu di antaranya merupakan anak konglomerat tetapi aku lupa siapa namanya," tuturnya panjang lebar. "Sudah ya, aku harus ke depan lagi. Masih banyak laporan yang belum kukerjakan."
Perut terasa kenyang, mata pun tak lagi sepet karena telah meminum satu cup kopi cappuccino yang dibelinya di toko roti akhirnya Yudistira memutuskan masuk ke dalam ruang IGD tempat teman sejawatnya berada. Suara kikikikan, candaan masih terdengar jelas saat pria itu menutup pintu ruangan.
Sambil berjalan, Yudistira mengetikkan pesan singkat kepada sang mama sesuatu kebiasaan yang sering ia lakukan sebelum memulai bekerja.
Mama, aku sudah sampai di rumah sakit. Do'akan aku semoga segala urusanku di sini dipermudah. Love you, Mama.
Selesai dengan keperluannya mengirimkan pesan, Yudistira memasukan kembali benda pipih berbentuk persegi panjang ke dalam saku celana. Namun, saat berada di ambang pintu, tatapannya terpaku pada sosok wanita cantik yang pernah bertemu dengannya di taman hotel. Hati berbunga-bunga, merasakan ribuan kupu-kupu terbang dari perutnya karena Tuhan mempertemukannya kembali dengan Tsamara. Akan tetapi, perasaan bahagia yang dirasakan pria itu tak berlangsung lama saat mendengar sang wanita berkata akan melepas masa lajang beberapa minggu ke depan.
"Jadi ... bulan depan kamu akan menikah?" kata Yudistira. Perkataan itu meluncur begitu saja tanpa disadari olehnya.
Sontak semua orang yang ada di ruang IGD menoleh ke sumber suara, termasuk Tsamara. Bola mata wanita itu melebar dengan rahang terbuka kala melihat pria di depan sana berdiri sambil menatap penuh tanya kepadanya.
"Dokter Yudis?" ucap semua orang hampir bersamaan.
Tanpa mengindahkan tatapan aneh yang ditujukan kepadanya, Yudistira melangkah masuk ke dalam ruangan dan berhenti tepat di sebelah Tsamara. Menatap tajam pada pemilik mata indah nan jernih. "Katakan padaku, apakah benar bulan depan kamu menikah? Dengan siapa?" cecarnya.
Alis dokter Fatma mengerut, otaknya sedang menebak sendiri apa yang terjadi di antara Tsamara dan Yudistira sehingga wajah keduanya tampak begitu terkejut. Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Di mana? Kapan? Pertanyaan itu terus menari indah di benak dokter senior.
Tak ingin meninggal dalam keadaan penasaran, Fatma bertanya, "Tunggu! Apakah kalian sudah saling kenal?" Pandangan wanita paruh baya menatap Yudistira dan Tsamara secara bergantian.
Yudistira dan Tsamara menjawab dengan anggukan. "Benar, saya pernah bertemu dengan pria ini beberapa hari lalu, Dokter," jawab Tsamara.
"Pertemuan yang tak terduga di taman belakang hotel." Yudistira ikut menimpali. Namun, memberikan kesan yang mendalam bagiku," sambungnya tetapi perkataan itu tidak ia suarakan. Hanya dipendam dalam hati saja.
Tampak dokter Fatma, Reza serta beberapa tenaga medis lain menganggukan kepala tanda mengerti kenapa Yudistira bisa mengenal Tsamara yang notabene merupakan anak konglomerat di negeri ini.
Ada istilah yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Oleh karena itu, dokter Fatma berniat memperkenalkan Tsamara dan Lia kepada Yudistira, begitu pun sebaliknya. Bukan maksud apa-apa hanya ingin agar solidaritas, kekompakan serta kerjasama antara mereka tercipta dengan baik. Terlebih selama satu tahu lamanya, calon istri dari CEO Danendra Grup magang di rumah sakit itu sehingga ingin hubungan kekeluargaan tercipta di sana.
Dokter Fatma bangkit, kemudian melangkah mendekati Yudistira. Tangan kanan yang biasa digunakan menolong pasien ia gunakan untuk menyentuh pundak pria tampan dalam balutan snelli putih.
"Dokter Yudis, perkenalkan ini adalah Dokter Tsamara dan ini Dokter Lia. Mereka akan magang di sini selama satu tahun lamanya," tuturnya. Kemudian, ia kembali berkata, "Dokter Tsamara, Dokter Lia, ini adalah Dokter Yudistira, salah satu orang kepercayaan saya. Bila membutuhkan bantuan dan saya tidak ada di tempat, kalian bisa menghubunginya juga."
"Dokter Yudistira," ucap pria berwajah oriental dan pemilik lesung pipi sambil mengulurkan tangan ke depan.
Tsamara menyambut uluran tangan, menjabat tangan yudistira dan berucap, "Dokter Tsamara. Mohon bantuan dan bimbingannya, Dokter." Gadis cantik bermata indah melepas uluran tangan, memberikan kesempatan kepada Lia menjabat tangan Yudistira.
"Saya Dokter Lia. Senang berkenalan dengan Anda, Dokter. Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik," tutur Lia disertai senyuman.
Dokter Fatma duduk kembali di kursi semula. Mendongakan kepala ke arah Yudistira yang masih menatap penuh kekaguman akan sosok Tsamara. Entah kenapa tiba-tiba saja ia seakan menangkap sinyal bahwa telah tumbuh benih cinta di hati dokter kepercayaannya.
Seandainya Tsamara masih single, ia pasti membantu pria itu mendapatkan sang wanita. Namun, nyatanya si wanita telah bertunangan dan sebentar lagi menikah maka ia berkewajiban menghentikan rasa itu agar tak tumbuh bersemi di hati dokter tampan.
"Oh ya, tadi 'kan Dokter Yudistira bertanya apakah Dokter Tsamara akan menikah? Jawabannya adalah iya. Awal bulan depan dia menikah dengan tunangannya. Kita semua diundang dalam resepsi pernikahan. Benar begitu, Dokter Tsamara?"
"Benar. Saya harap, kalian semua bisa hadir dan memberikan do'a restu kepada kami," jawab Tsamara sambil mengulum senyum manis di hadapan semua orang. Wajah wanita itu sumringah setiap kali berbicara akan menikah dengan Bimantara, sosok pria yang dicintainya sejak usia lima tahun. Pendar bahagia terlukis jelas di bola matanya yang indah.
Namun, tidak bagi Yudistira. Dunia pria itu seakan gelap seketika. Bumi tempatnya berpijak tak lagi berputar pada porosnya. Hati dokter tampan itu hancur kala mengetahui Tsamara telah melabuhkan hati untuk lelaki lain.
Mungkinkah aku sudah tak mempunyai harapan lagi untuk memilikimu, Nona cantik?
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Benazier Jasmine
sabar dok, jodoh tdk akan kmn, bima tdk mencintai tsamara, tp cintanya sm jalang diluaran😂😂😂
2022-12-21
0