Setelah memakan waktu kurang lebih tujuh jam lebih lima belas menit, akhirnya pasangan suami istri itu telah tiba di tujuan. Kepulauan Maldive begitu familiar di kalangan wisatawan terutama bagi pasangan suami istri yang berencana berbulan madu. Negara ini memiliki keindahan alam menakjubkan, terutama hamparan laut luas dengan temburu karang super cantik. Pantai berpasir putih dan jernih air berwarna biru muda terasa seakan ada kaca yang dipasang di dasar.
Irawan dan Hasna sengaja memesan paket bulan madu, sebuah resort serta tiket pesawat kelas utama khusus diberikan sebagai kado pernikahan sedangkan Fahmi dan Sekar menghadiahkan satu unit apartemen mewah di pusat kota yang bisa dijadikan tempat tinggal bagi pengantin baru. Bagi dua pasang suami istri, hadiah tersebut tidak sebanding dengan kabar gembira yang mungkin saja segera diumumkan oleh putera putri mereka apalagi kalau bukan berita kehamilan Tsamara. Kehadiran bayi mungil di tengah keluarga Gibran dan Danendra sangat dinanti oleh semua orang.
Selalu melingkarkan tangan di lengan Bimantara, mulai dari pesawat, di dalam mobil hingga turun dan memasuki area resort. Mata Tsamara dibuat melebar sempura kala menyaksikan pemandangan indah di depan sana. Sebuah pemandangan yang tak mampu diungkapkan dengan kata karena terlalu indah untuk dilukiskan. Dia begitu takjub hingga tak mampu berkata-kata.
"Ternyata memang indah sekali. Pantas saja orang bilang Pulau Maldives merupakan surga bagi para wisatawan terkhusus pasangan suami istri yang hendak berbulan madu, rupanya berita itu bukan isapan jempol belaka. Kalau tahu begini, aku pasti minta cuti selama satu minggu karena lima hari rasanya tidak cukup untuk mengekplorasi keindahan alam di pulau ini," gumam Tsamara tanpa mengedipkan mata.
Di saat Tsamara tengah mengagumi keindahan pantai dari ambang pintu kamar resort yang menghadap langsung ke laut lepas, Bimantara lebih memilih menata pakaian ke dalam lemari. Dia sama sekali tidak tertarik menimpali perkataan sang istri.
Bunyi lemari dibuka membuat Tsamara menoleh ke samping. Dia pikir Bimantara masih setia berdiri di sebelah ikut menatap lurus ke arah depan. Namun, rupanya pria itu sedang bersiap merapikan pakaian ke dalam lemari.
Melangkah mendekati sang suami sambil berkata, "Kenapa Kakak tidak bilang kepadaku kalau ingin merapikan pakaian? Andai saja aku tahu, pasti kubantu." Meletakkan lutut di lantai, kedua tangan sibuk memisahkan antara kaos dengan celana agar lebih mudah dicari saat hendak dipakai.
Bimantara mendengkus kesal. "Bagaimana aku mau bilang kalau kamu sendiri terlalu sibuk memandangi hamparan laut luas di depan sana. Kelopak mata bahkan tak berkedip sedikit pun."
"Iya, tapi 'kan, Kakak bisa menyenggol lenganku meski aku sedang asyik menatap keindahan di depan sana. Anggota tubuhku masih dapat merespon gerakan apa pun bila disentuh, Kak." Tsamara terus berucap tanpa memperhatikan air muka kekesalan terlukis jelas di wajah Bimantara.
Dada Bimantara kembang kempis. Wajah memerah sambil mencengkram erat beberapa helai pakaian di tangan.
Demi menghindari keributan yang berujung pada sebuah acaman, Bimantara terpaksa menerima tawaran bulan madu ke Pulau Maldives hanya berdua dengan Tsamara. Padahal, dia sama sekali tidak ingin pergi ke mana pun setelah resepsi pernikahan digelar. Tinggal di rumah pribadi terasa lebih nyaman daripada harus bepergian dalam waktu yang cukup lama.
Tubuh terasa letih setelah bepergian jauh, ditambah berbagai persoalan di kantor serta pikirannya terus tertuju akan sosok mantan kekasih membuat Bimantara emosional. Ingin sekali membungkam bibir Tsamara agar berhenti mengoceh, tetapi dia tidak mempunyai keberanian itu. Bila dibiarkan begitu saja, bisa dipastikan dia akan lepas kendali.
"****!" umpat Bimantara seraya melempar begitu saja pakaian yang ada di tangan ke dalam lemari. Lantas, dia berlalu masuk ke kamar mandi. Membanting pintu sangat kencang hingga terdengar bunyi berdentum membuat kamar resort terbuat dari kayu bergetar. Bahkan sebuah lukisan menempel di dinding bergoyang seakan mau jatuh ke atas lantai.
Tubuh Tsamara terjingkat akibat terkejut. Dia mengelus dada dengan lembut. "Astaga, kenapa sikap Kak Bima hari ini aneh sekali. Sebenarnya apa yang membuat dia berubah padahal selama di perjalanan baik-baik saja. Apakah mungkin Kak Bima sedang banyak masalah jadi tidak bisa mengontrol emosi?" gumam gadis itu.
Berjalan cepat, Tsamara mendekati daun pintu berwarna wooden oak. Dia ketuk pintu tersebut sambil berkata, "Kak, kamu kenapa? Apa perkataanku barusan telah menyinggung perasaanmu?"
Tidak ada jawaban, akhirnya Tsamara mengetuk lagi dan meninggikan satu oktaf nada suaranya. "Jika iya, katakan dengan jujur agar aku memperbaiki kesalahanku."
"Aku baik-baik saja. Sudahlah, lebih baik kamu tidur duluan! Aku masih ingin berada di sini!" teriak Bimantara.
"Tapi, Kak--"
"Kumohon, Tsa, kembalilah ke kamar! Jangan membantah lagi!" Suara Bimantara terdengar tengah memendam kemarahan yang menggelontor di ulu hati.
Mendengar nada suara suaminya yang sedikit berbeda, membuat Tsamara terhentak. Masih menduga-duga apa penyebab Bimantara sampai seemosi ini.
Menarik napas panjang, menyingkirkan segala beban yang mengganjal di dada. "Aku akan kembali ke kamar. Kalau butuh sesuatu, katakan saja kepadaku." Usai mengucapkan kalimat tersebut, Tsamara mulai menjauh dari pintu kamar mandi.
"Itu lebih baik daripada kamu terus berada di dekatku, Tsa," lirih Bimantara sambil mencengkram ujung westafel yang ada di kamar mandi.
Memandangi pantulan diri dari cermin di westafel. "Tuhan, kenapa aku harus terjebak dalam pernikahan ini? Sampai kapan aku harus bersabar menerima cobaan ini?" bergumam lirih, bertanya dalam hati.
"Andai saja wanita yang kunikahi adalah Emma, pasti saat ini aku sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama tanpa khawatir ada yang mengganggu. Namun, sayang, wanita itu bukanlah Emma melainkan Tsamara--putri dari sahabat Papa." Menarik napas dalam seraya memejamkan mata. "Sayang, sebenarnya kamu ada di mana? Aku ... sangat merindukanmu. Semoga saja suatu hari nanti kita bisa bertemu kembali. Tuhan, kumohon, pertemukan lagi aku dengan dia."
Sementara itu, di suatu tempat yang berbeda, tampak seorang gadis cantik berambut pirang kecoklatan sedang duduk termenung sambil menatap keindahan pantai lepas dari sebuah kamar resort. Segelas wine berada di sebelah tangan kanan.
"Sudah tujuh tahun berlalu sejak kejadian itu. Namun, kenapa bayangan wajah pria itu terus menari indah di pelupuk mata? Susah payah aku mencoba, tetapi sia-sia. Bayangan itu semakin lama semakin jelas hingga membuatku merindukannya." Menghela napas kasar, lalu meletakkan gelas tersebut ke atas meja. "Apakah mungkin ini petanda bahwa aku memang ditakdirkan untuk hidup di bawah bayangan masa lalu?"
Gadis cantik itu bangkit dari kursi, melangkah menuju kamar. Hari ini dia cukup lelah mrnghabiskan waktu berjam-jam di dalam pesawat hanya sekadar menyambangi sebuah tempat indah di kawasan Asia untuk berlibur, merehatkan sejenak pikiran dari segudang rutinitas pekerjaan yang tak jarang membuatnya tertekan. Oleh karena itu, selama berlibur, dia ingin menikmati moment langka tersebut tanpa harus memikirkan pekerjaan, urusan cinta dan lain-lain.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments