Jam dinding menunjukan pukul delapan pagi. Setelah selesai membersihkan diri, Tsamara menikmati sarapan di kamar hotel bersama suami tercinta. Meskipun tadi malam Bimantara membuat gadis itu kecewa karena ditinggalkan di malam pertama pasca pesta pernikahan, tetapi dia mencoba melupakan semua yang terjadi tadi malam dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka. Buah potong segar, nasi goreng seafood, jus mangga serta puding coklat adalah menu makanan yang diantarkan oleh pegawai restoran hotel milik orang tua Tsamara.
“Semalam kamu pulang jam berapa, Kak? Kenapa saat aku bangun tepat pukul lima pagi tidak melihat Kakak di kamar?” tanya Tsamara sambil memasukan satu sendok nasi goreng ke dalam mulut.
“Semalam aku lelah sekali dan baru bisa kembali ke hotel jam lima lebih tiga puluh menit,” jawab Bimantara singkat. Semua keluarga dari dua belah pihak sudah pulang ke rumah usai resepsi pernikahan sehingga pria itu bebas keluar masuk hotel tanpa takut dipergoki oleh orang tua serta mertuanya. Hanya beberapa karyawan hotel saja menatap aneh ke arahnya karena pergi di malam pertama setelah resepsi pernikahan digelar.
Tampak Tsamara mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. “Oh begitu. Pantas saja saat jam lima pagi, aku tidak melihat Kakak tidur di sebelahku. Kupikir, Kak sudah datang dan memilih tidur di sofa.” Gadis itu meraih gelas beling di atas meja, kemudian menegak isi gelas tersebut hingga tersisa setengahnya.
Tsamara kembali menyantap puding coklat sebagai makanan penutup sambil berkata, “Kak, sebelum aku mandi, Papa Irawan mengirimkanku pesan. Mereka memberitahu akan ada mobil yang mengantar kita ke bandara pukul sepuluh nanti. Mereka ingin kita pergi bulan madu ke Maldives selama lima hari,” tutur gadis itu.
Bimantara terdiam kala Tsamara membahas soal bulan madu. Padahal dia sama sekali tidak tertarik menghabiskan waktu bersama dengan sang istri selama beberapa hari di Pulau Maladewa. Yang ada dalam pikiran pria itu saat ini hanya bekerja untuk mengalihkan perhatian dari rasa frustasi akibat tak kunjung menemukan jejak keberadaan sang mantan kekasih. Namun, bila Irawan telah turun tangan maka tidak ada jalan lain selain mematuhi keinginan pria paruh baya itu bila tak mau terjadi perdebatan di antara mereka.
“Kak Bima?” panggil Tsamara lirih ketika melihat suami tercinta tak memberikan respon apa pun.
Bimantara mengembuskan napas kasar, seolah sedang menyingkirkan bongkahan batu menghipit dada. “Seperti apa kata Papaku barusan. Kita pergi berbulan madu hari ini,” jawabnya singkat. “Habiskan semua makananmu. Setelah itu, kita langsung bersiap pergi ke bandara.”
Semburat kebahagiaan terlukis jelas di wajah Tsamara ketika Bimantara tidak menolak saat dia mengatakan bahwa Irawan meminta mereka pergi berbulan madu. Lantas, dia menganggukan kepala cepat sebagai jawaban.
Setelah menunggu selama hampir dua jam lamanya, Tsamara melangkah meninggalkan kamar bersama Bimantara menuju lobi hotel. Di depan pintu masuk sudah ada satu unit mobil lengkap beserta sopir yang duduk di balik kemudi siap mengantar mereka ke tujuan.
Bimantara berjalan melewati kerumunan orang banyak yang akan pergi dengan berbagai macam tujuan dan destinasi. Di belakangnya, ada Tsamara tergesa-gesa megimbangi langkah pria yang satu hari lalu telah resmi mempersuntingnya. Gadis itu terlihat rapi mengenakan celana kulot warna peach dipadu dengan blouse putih tanpa lengan. Rambutnya yang tergerai membuat gadis itu terlihat sangat cantik.
“Kak Bima, tunggu! Jangan cepat-cepat jalannya!” seru Tsamara kala melihat Bimantara terus berjalan tanpa memedulikan apakah dia tertinggal jauh atau tidak dari sang suami. Gadis itu cukup kesulitan mengimbangi langkah panjang Bimantara. Banyaknya orang lalu lalang di dalam bandara membuat dia nyaris kehilangan jejak suaminya.
Bimantara menoleh pada Tsamara yang memasang wajah masam, lalu dia menunggu hingga sang istri menghampiri di mana posisinya berdiri saat ini. Kali ini, Bimantara membiarkan gadis itu berjalan di sisinya, seorang porter mengekori di belakang Tsamara. Berjalan beriringan membuat pria itu lebih mudah menghirup aroma parfum favorit milik Tsamara.
“Mulai hari ini, kamu harus membiasakan diri melangkah dengan langkah panjang, sebab aku tidak bisa melangkah dengan gerakan lambat seperti tadi,” kata Bimantara saat mereka melakukan check in di counter penerbangan maskapai terkenal di tanah air.
Tsamara mengeluarkan kartu identitas diri dari dalam dompet, lalu menyerahkan kepada petugas bandara. Berhubung tujuan bulan madu berada di wilayah Asia Selatan sehingga WNI (Warga Negara Indonesia) yang ingin berlibur tak memerlukan visa.
"Langkahku tidak lambat seperti yang Kakak pikir. Tadi, aku sudah berusaha mengimbangi agar tidak tertinggal. Hanya saja, memang pada dasarnya langkah kaki Kakak terlalu cepat hingga aku tidak sanggup mengejar." Tsamara berkata jujur apa adanya.
Pria dengan jaket army mendengkus. "Tapi tetap saja kamu harus mempercepat langkahmu saat berjalan bersamaku," ucapnya tanpa ingin dibantah.
Tidak ingin merusak rencana bulan madu yang telah disiapkan kedua mertuanya, Tsamara akhirnya mengalah meski dia tak merasa bersalah. Dengan lirih dia menjawab, "Baik, Kak. Ke depannya, aku akan mempercepat langkahku tiga kali lipat agar tak tertinggal lagi."
Tiga puluh menit kemudian, pesawat terbang yang ditumpangi sepasang suami istri meluncur di runaway, take off menuju Pulau Maladewa atau lebih dikenal dengan nama Maldives. Tsamara dan Bimantara duduk bersebelahan. Pesawat udara tersebut semakin meninggi meninggalkan tanah air.
"Ini sangat indah." Tsamara berdecak kagum. Saat ini, dia sedang membuka sebuah majalah yang memperlihatkan beberapa foto destinasi wisata di Pulau Maldives. Sebuah negara yang memiliki keindahan alam menakjubkan, terutama pantai berpasir putih dan berair biru layaknya sebuah kaca.
Tsamara menaruh majalah tersebut ke atas pangkuan, lalu sebelah tangan gadis itu melingkar di lengan sang suami. "Kak Bima, lihat! Semua foto ini indah sekali. Kalau sudah sampai sana, kita kunjungi setiap destinasi ini, ya? Aku ingin berselfie ria lalu mengirimkannya kepada Papa Mama, termasuk Papa Irawan dan Mama Hasna juga. Mereka pasti senang melihat kita tampak begitu menikmati moment kebersamaan kita sebagai pasangan suami istri."
Bimantara mengangguk singkat merespon ucapan Tsamara tanpa mengalihkan pandangan dari layar iPad miliknya. Pria itu sedang memantau laporan perkembangan produk yang sebentar lagi dipasarkan. Meskipun sedang mengambil cuti namun rupanya dia tidak bisa sedetik pun melepaskan benda pipih buatan negeri Paman Sam dari genggaman tangan.
"Ck! Kakak lihat dulu fotonya, setelah itu baru putuskan setuju atau tidak. Jangan langsung menganggukan kepala lalu saat kita datang ke lokasi malah protes," keluh Tsamara kesal, karena Bimantara tak menghiraukannya sedari tadi.
Bimantara membalikan benda pipih tersebut hingga posisi layar menghadap ke belakang. Memejamkan mata sejenak sambil menarik napas dalam. Setelah itu, barulah dia berkata, "Aku selalu percaya pada pilihanmu, Tsa. Jadi, jangan lagi meminta pendapatku, oke?"
Seketika, wajah Tsamara sumringah kala mendengar apa yang dikatakan oleh Bimantara. Dia merasa tersanjung atas pujian yang dikatakan oleh suaminya. Walaupun mungkin pria itu tidak berniat memuji atau hanya sekadar ingin bibir ranum Tsamara bungkam, dia tetap menganggap Bimantara sedang memujinya.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments