Tanpa mengatakan apa pun, Bimantara menghempaskan tangan Tsamara dari lengannya, kemudian berlari meninggalkan tunangannya.
"Kak Bima, tunggu! Kakak mau ke mana?" seru Tsamara sedikit berteriak hingga membuat beberapa pengunjung mall menatap ke arahnya. Akan tetapi, Bimantara sama sekali tak memedulikan gadis itu. Sang CEO terus berlari mengejar sesuatu yang selama ini dicari olehnya.
"Kenapa Kak Bima pergi begitu saja? Apakah ada sesuatu yang urgent hingga ia meninggalkanku di sini sendirian?" Tampak raut wajah penuh kesedihan terlukis jelas di sana. Ada rasa kecewa menelusup ke relung hati karena untuk kesekian kali Bimantara membuatnya kecewa.
Duduk termenung seorang diri sambil memperhatikan orang lalu lalang. Terbesit rasa iri kala melihat beberapa pasang kekasih tampak begitu mesra, berjalan bergandengan tangan sambil sesekali terdengar suara gelak tawa.
Entah kenapa tiba-tiba saja hati kecil Tsamara berkata akankah dia dan Bimantara akan sebahagia itu ketika mereka menikah nanti? Akankah Bimantara bisa bersikap mesra kepadanya jika mengingat bagaimana sikap pria itu saat berada di dekatnya selama ini? Bimantara selalu bersikap dingin, acuh seakan tak pernah menganggapnya ada.
Menghela napas panjang seraya memejamkan mata. "Ayolah, Tsa, kenapa kamu malah membanding-bandingan Kak Bima dengan pria lain. Tunanganmu itu berbeda dengan mereka. Jadi, jangan pernah berharap dia sama seperti yang lain." Tsamara meminta dirinya agar berhenti membandingkan Bimantara dengan lelaki lain.
Sejak usia lima tahun Tsamara sudah kenal baik dengan Bimantara. Sikap pria itu memang dingin, acuh dan cuek tetapi begitu sangat menyayangi Hasna. Jadi seharusnya dia tak lagi memusingkan sikap pria yang sebentar lagi menikahinya karena dari dulu hingga sekarang Bimantara tak pernah berubah sedikit pun.
Ketika Tsamara tengah berbicara pada dirinya sendiri, kilatan cahaya petir terlihat jelas dari jendela berukuran besar di sebelah timur tempat duduk gadis itu. Disusul suara gemuruh petir saling bersahutan. Langit yang semula cerah berubah mendung. Awan hitam pekat menutupi Sang Surya yang beberapa jam lalu tampak bersinar cerah menyinari bumi.
Terus memandangi layar ponsel, berharap Bimantara membalas pesan singkat yang dikirim olehnya. Namun, dari puluhan pesan tersebut tak ada satu pun yang dibalas oleh calon suaminya itu.
"Sebetulnya Kak Bima pergi ke mana sih kenapa sampai sekarang dia belum juga kembali," gumam Tsamara lirih. Bangkit dari kursi, lalu jalan mondar mandir sambil mengetuk-ngetuk telepon genggam miliknya di telapak tangan.
Suara gemuruh kembali terdengar disertai tetesan air hujan yang membasahi bumi. Sore ini, ibu kota Jakarta kembali diguyur hujan sama seperti hari sebelumnya.
Hati Tsamara semakin gelisah, mencemaskan keselamatan calon suaminya. Pikiran negatif mulai muncul dalam benak wanita itu. Lantas, ia mencoba menghubungi nomor Bimantara untuk terakhir kali. Namun, lagi dan lagi hanya suara operator yang menjawab.
"Mungkin saja Kak Bima sudah pulang ke rumah. Lebih baik, aku pun pulang sebelum hujan semakin deras," ucap Tsamara sambil menahan kesal.
Detik itu juga Tsamara melangkah sambil menenteng beberapa paper bag berisi pakaian, sepatu dan tas baru untuk dikenakan saat magang di rumah sakit besok. Gadis itu mengayunkan kaki menuju pintu utama sebuah mall dan memesan taxi online yang akan mengantarkannya pulang ke rumah.
Sementara itu, Bimantara baru saja tiba di rumah. Saat turun dari mobil, ia segera membanting pintu tersebut dengan sangat kencang hingga terdengar bunyi yang cukup keras.
"Berengsek! Jelas-jelas tadi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa dia ada di sana, tetapi kenapa saat aku mengejarnya dia malah menghilang." Bimantara mengumpat kasar seraya melempar bantal kursi tamu dari atas sofa hingga berjatuhan ke lantai. Hampir saja dia bertemu dengan wanita itu seandainya tidak terjadi insiden kecil yang membuat pewaris tunggal Danendra Grup kehilangan jejak.
Menyandarkan punggung di sandaran sofa, kemudian mengeluarkan telepon genggam dari saku celana. Tubuh pria itu kembali tegak saat melihat notifikasi puluhan pesan singkat serta panggilan telepon dari Tsamara.
"Aargh! Sialan! Kenapa aku bisa melupakan Tsamara? Bagaimana kalau Papa tahu bahwa aku meninggalkannya sendirian di mall? Pasti Papa semakin marah padaku." Menyugar rambut menggunakan telapak tangan dengan frustasi.
Tanpa pikir panjang, Bimantara segera menghubungi nomor Tsamara. Namun, bukan calon istrinya yang menjawab melainkan suara operator.
Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.
Membanting smart phone buatan asal Negeri Paman Sam dengan logo buah apel tergigit di bagian pinggir ke atas sofa. Dada kembang kempis. Wajah memerah dan sesekali mengacak-acak rambutnya hingga semakin kusut. Belum juga reda kekesalannya akibat gagal menemukan seseorang kini dia dibuat kesal karena Tsamara tak bisa dihubungi.
Tanpa membuang waktu terlalu lama, Bimantara segera menyambar kunci mobil yang sempat dilemparkannya ke sofa kosong di sebelah. Dengan terpaksa dia harus menyusul Tsamara di mall karena tidak mau disalahkan bila terjadi hal buruk menimpa gadis itu.
Bimantara melajukan kendaraanya dengan kecepatan 60 KM/jam, membelah jalanan ibu kota. Guyuran air hujan yang membasahi bumi diiringi suara gemuruh petir saling bersahutan tak menyurutkan niatan pria itu menjemput Tsamara di pusat perbelanjaan terbesar di kota Jakarta, tempat terakhir kali ia meninggalkan calon istrinya.
Akan tetapi, saat dia telah sampai dan mencari Tsamara di tempat semula, gadis itu sudah tidak ada. Maka, semakin kesallah dia dibuatnya karena usaha pria itu sia-sia.
"Dasar gadis bodoh! Kenapa dia selalu saja menyusahkanku!" umpat Bimantara seraya menghempaskan bokongnya di sebuah kursi di depan stand boba. "Andai saja telepon selulernya dapat dihubungi maka aku tidak perlu mencari gadis itu ke sana kemari!"
"Kalau sampai dia diculik, aku harus berkata apa pada Om Fahmi dan Tante Sekar," ucap Bimantara lirih. Setiap kalimat diucapkan mengisyaratkan betapa khawatirnya dia terhadap Tsamara.
Tiba-tiba sebuah kesadaran menghantam kepala Bimantara. Setelah tenang dan dapat berpikir jernih, dia tersadar kenapa tidak mencoba menghubungi kediaman keluarga Gibran dan bertanya apakah Tsamara ada di rumah atau tidak. Lantas, detik itu juga dia mencari nomor telepon rumah kedua orang tua calon istrinya di antara banyaknya nomor yang disimpan di phone book.
"Halo, ini dengan Bima. Apakah Tsamara ada di rumah?" tanya Bimantara saat mendengar salah satu ART menjawab panggilan telepon.
"Ada, Den Bima. Mbak Tsamara baru saja tiba di rumah. Den Bima ingin berbicara dengannya?" tawar ART di seberang sana dengan ramah.
Terdengar helaan napas lega kala mendengar Tsamara telah pulang ke rumah dengan selamat. Ternyata, apa yang ditakutkan olehnya tidak terjadi. Wajah kembali ceria seperti sedia kala.
"Tidak perlu, Mbok. Biarkan saja dia istirahat " jawab Bimantara singkat. Setelah itu, dia mengakhiri panggilan telepon dan bergegas kembali ke rumah. Tubuh terasa letih. Pikiran terasa lelah membuat pria itu ingin segera merebahkan tubuh di atas kasur empuk miliknya.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Ykhayza
cowo kampret
2024-07-26
0
Benazier Jasmine
lanjut
2022-12-21
0