"Den Bima!" Seorang asisten rumah tangga melangkah mendekati Bimantara. Refleks, pria yang sedang duduk di gazebo pinggir kolam renang menoleh ke samping.
"Ada apa, Mbok?" tanya Bimantara dengan nada dingin tanpa ekspresi.
"Maaf mengganggu. Si Mbok hanya ingin memberitahu kalau Pak Irawan dan Bu Hasna sedang menunggu Aden di dalam," jawab ART tersebut yang langsung membuat wajah Bimantara kusut seperti pakaian yang belum disetrika. Sudah tahu pasti hal apa yang akan dibahas orang tuanya hingga membuat mereka pagi-pagi sekali datang menemuinya di akhir pekan.
Semenjak kejadian semalam, Bimantara memang tidak pernah menampakkan batang hidungnya di depan Irawan dan Hasna. Bahkan membalas pesan yang dikirim oleh mereka pun tidak. Berdalih sibuk, ia selalu menghindar dan lebih memilih menjauh dari orang tuanya daripada terpancing emosi bila bertemu mereka. Daripada disebut anak durhaka lebih baik menjauh dan menyimpan energi untuk melakukan hal positif lainnya.
Bimantara mengembuskan napas kasar, berusaha mengendalikan diri. Ingin rasanya dia pergi dari tempat itu selamanya, tetapi sadar bahwa Irawan mempunyai kekuasaan besar sehingga dapat dengan mudah menemukan pria itu. Sekalipun bersembunyi ke dalam lubang semut maka saat itu juga Irawan serta para orang kepercayaannya bisa menemukan dia.
Sang CEO meletakkan iPad buatan negeri Gingseng ke atas meja sambil berkata, "Minta Papa dan Mama-ku menunggu sebentar. Aku akan segera menemui mereka."
"Baik, Den." Lantas, Mbok Tini menundukan sedikit kepalanya dan pamit undur diri.
Anak tunggal dari pasangan Irawan dan Hasna mengayunkan kaki menuju ruang tamu, di mana kedua orang tuanya berada. Aura dingin mulai terasa saat kaki Bimantara memasuki ruangan tersebut. Dari jarak tidak terlalu jauh dapat melihat jelas raut wajah tidak bersahabat serta tatapan mata tajam seakan ingin menerkam mangsa saat itu juga.
Bersahabat? Sejak kapan Irawan memasang wajah ramah dan bersahabat? Sejak dulu, pria paruh baya itu selalu menunjukan ekspresi yang sama setiap kali bertemu. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali sang papa menyambut kedatangannya dengan senyuman manis serta sebuah pelukan hangat.
"Kamu pergi ke mana semalam! Kenapa tidak kembali dan menunggu hingga acara pesta selesai?" sembur Irawan tanpa basa basi. "Akibat ulahmu, Papa sampai harus turun tangan membantu Tsamara dan keluarganya menjawab pertanyaan dari para wartawan."
"Aku sibuk, Pa, tidak punya waktu terlalu lama berada di pesta itu. Pekerjaanku menumpuk, meminta segera diselesaikan," pungkas Bimantara sembari duduk di sofa.
Kedua tangan mengepal di samping. Susah payah Irawan mengendalikan diri kala berhadapan dengan anak semata wayangnya yang keras kepala dan suka sekali membangkang. Andai saja tidak ada Hasna di samping, mungkin saat ini telah terjadi keributan di tempat tinggal Bimantara.
Sejak menggantikan tongkat kepemimpinan Irawan, Bimantara memang memutuskan pindah dari rumah kedua orang taunya. Terbiasa hidup mandiri semasa kuliah di London dulu, membuatnya ingin hidup bebas dari pantauan Irawan dan Hasna. Terlebih, saat itu usianya sudah cukup dewasa untuk bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
"Tanggal pernikahanmu dengan Tsamara telah ditentukan. Seharusnya kamu lebih sering menghabiskan waktu bersama gadis itu untuk membahas rencana pernikahan kalian bukan malah sibuk mengurusi pekerjaan. Tanpa kamu sadari, waktu satu bulan itu akan cepat berlalu," kata Irawan sambil terus mengepalkan tangan.
Keheningan mengambang di udara. Bimantara sudah bisa menduga akan ada saat di mana Irawan membahas soal pernikahan antara dia dengan Tsamara. Pembahasan yang sama dan berakhir dengan keributan. Meskipun dia menolak pernikahan itu, sang papa tetap memaksanya menikahi anak dari sahabatnya.
Bimantara mendengkus kesal. "Papa sudah tahu kalau aku belum siap menikah. Masih banyak rencana yang belum terealisasikan. Kalau aku menikah maka semua rencana itu berantakan."
"Mau sampai kapan kamu menunda pernikahan! Usiamu hampir kepala tiga dan sudah waktunya berumah tangga. Tsamara pun telah menyelesaikan studinya dan menunggu kepastian darimu. Ingat, Bim, wanita itu butuh kepastian bukan cuma ucapan belaka!" seru Irawan dengan menekankan setiap kalimat yang meluncur di bibirnya.
Bimantara menatap sinis ke arah Irawan. "Memangnya kapan aku menjanjikan hal manis kepada Tsamara, Pa? Bukankah perjodohan itu ditentukan sendiri oleh Papa dan Om Fahmi, lalu kenapa aku yang disalahkan? Jadi, jangan salahkan aku bila sampai detik ini belum siap membawa hubungan kami ke jenjang pernikahan!"
"Jaga mulutmu, Bima!" sembur Irawan dengan meninggikan nada suaranya. Lengkingan tinggi membumbung ke udara, sangat kencang hingga jendela bergetar. Bahkan semua perabotan yang ada di ruangan itu sampai bergoyang seakan mau jatuh ke lantai.
"Kenapa aku harus menjaga ucapanku, Pa?" tanya Bimantara dengan menatap nanar ke arah papa dan mama-nya. "Demi ego kalian semua, aku menjadi korban. Di saat terjadi masalah, kalian menyalahkanku. Benar-benar gila!"
"Bima! Papa melakukan ini semua demi kebaikanmu. Tsamara sudah kami anggap seperti anak kandung sendiri. Dia gadis baik, dari keluarga terpandang. Bibit, bebet serta bobotnya jelas, tidak seperti wanita biasa." Irawan memberikan alasan kenapa dia ingin sekali Tsamara menjadi bagian dari keluarga Danendra. Bukan karena janji semata tetapi ia dapat melihat jelas cinta tulus di mata Tsamara setiap kali bertemu dengan anak tercinta. Ia sudah lama hidup di dunia, merasakan pahit manisnya kehidupan. Jadi, insting pria itu tidak mungkin salah. Oleh karena itu, ia ingin sekali menikahkan Bimantara dengan Tsamara.
"Kalau begitu, kenapa tidak Papa nikahi saja Tsamara, biar puas!" sahut Bimantara sembari bangkit dari duduknya. Menghunuskan tatapan dengan mata elangnya. "Asal Papa tahu, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menikahi Tsamara!" Lantas, ia melenggang begitu saja dari hadapan kedua orang tuanya.
Akan tetapi, langkah pria itu terhenti ketika Irawan berseru, "Maka, jangan harap kamu bisa menjadi pemilik perusahaan menggantikanku bila tak mau menikah dengan Tsamara! Pergilah ke mana pun kamu mau dan lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan. Aku sudah tidak peduli dengan hidupmu lagi, Bima!"
"Mas! Kamu apa-apaan sih! Kenapa berbicara seperti itu!" sergah Hasna setelah melihat situasi semakin memanas. "Bima anak kita satu-satunya. Kalau dia pergi, siapa yang bisa merawat kita saat sudah tidak berdaya lagi."
"Biarkan saja dia pergi, Ma. Itu yang dia inginkan, mencoreng nama baik keluarga Danendra di depan keluarga besar Gibran. Papa cuma mempermulus langkahnya menuju sebuah impian yang didambakan selama ini. Impian mempermalukan keluarga di depan khalayak orang banyak."
Bimantara termangu beberapa saat, mencerna setiap untaian kalimat dari bibir Irawan. Kalau boleh jujur, memang ia ingin sekali pergi menjauh dari sini seperti seekor burung yang bisa terbang dan menari indah di udara. Akan tetapi, jika ia pergi jauh lantas siapa yang akan menemani Hasna, mama tercinta? Sementara usia sang mama sudah tak lagi muda.
Kedua tangan mengepal di sisi kanan dan kiri badan. Terlihat urat otot di sepanjang lengan berkontraksi, bersiap melayangkan sebuah kepalan ke wajah seseorang. Dada kembang kempis serta rahang gemeretak menahan emosi yang bersemayam dalam diri.
"Baiklah, aku bersedia menikahi Tsamara." Akhirnya Bimantara mengalah demi kebaikan bersama.
Namun, jangan harap aku akan mencintai wanita pilihan kalian.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Airhujan
Saling support yuk😊
2022-11-24
0
sweet candy
bima keras kepala bingits
2022-11-10
1