"Liviaaa.." lirih Zen dengan geram saat berada di sofa memijat pangkal hidungnya.
"bahkan dia tidak memiliki uang untuk kabur, lantas dia mengandalkan siapa?" lanjutnya. "wanita bodoh!" umpatnya.
"tuan, semua perhiasan di etalase kamar nona tidak ada" ujar Barbara saat berlari kecil menghampiri Zen.
"jadi dia mengambil emas untuk kabur?" lirih Zen dengan geram.
pyarr...
gelas berisi bir pecah di lantai karena lemparan Zen.
***
Hugo dan banyak pengawalnya sedang melacak CCTV di mall tersebut, dan mereka juga melacak CCTV area sana.
Hari menjelang sore. ponsel Zen berdering di atas meja ruang kerjanya yang ada di mansion.
"katakan!" tegas Zen tanpa basa basi.
"kita sudah menemukannya tuan, dia pergi bersama Luna" ujar Hugo.
"Luna pekerja di kafeku?"
"benar tuan"
"cepat bawa dia pulang, paksa saja jika tidak mau, lenyapkan Luna" perintah Zen.
"baik tuan"
di desa Luna..
"Luna, bisa-bisa aku betah di desa setenang dan sesejuk ini" kata Livia sambil merenggangkan seluruh tubuhnya di depan rumah sembari melihat pegunungan.
"apa kau yakin kita tidak tertangkap?" tanya Luna yang keluar membawa dua cangkir teh.
"entahlah, tapi kita harus memikirkan pindah lebih jauh lagi" jawab Livia sambil duduk di kursi depan rumah dan mencecap teh mereka.
"benar, tapi aku tidak menyangka emas yang kau bawa itu benar semua di sediakan di kamarmu?" tanya Luna sambil menatap tas gendong besar di sebelah pintu rumah yang sudah menjadi uang, ya.. mereka sudah menjual semua emas dan hasilnya sebanyak tas besar itu.
"sudah, jangan membahas emas, mari kita istirahat semalam disini, bersyukurlah orang tuaku meninggalkan warisan di desa terpencil" jawab Luna membuat mereka terkikik geli dengan perbuatan mereka.
"sial kita lupa membeli bir" lanjut Luna.
"hei.. dasar kau, kalau kita mabuk besuk tidak bisa pergi" tegur Livia membuat Luna terkikik lagi.
"haaaahh.." Livia mengeluarkan nafasnya dengan mulut hingga bersuara.
"apa kau senang?" tanya luna.
"sangat, aku bebas, sudah tidak pengap lagi, rasanya sangat sejuk" kata Livia sembari tidur di kursi depan rumah.
"benar, kau berhak bahagia" ujar Luna yang ikut rebahan di sebelahnya.Tak terasa mereka tertidur dengan nyenyak hingga hari mulai gelap.
"gendong saja dia" suara samar-samar terdengar di telinga Livia, dia mengerjapkan matanya berusaha untuk sadar dari tidurnya.
Luna menggeliat dan mulai terbangun juga.
betapa terkejutnya mereka berdua saat bangun mendapati Hugo yang berdiri bersama empat pengawal, Livia dan Luna duduk menatap mereka dengan takut, bagaimana tidak.. mereka semua bertubuh besar, salah satu pengawal itu ada Robin yang tengah menatap mereka dengan tajam.
"sudah puas bersenang-senang nona?" tanya Hugo memincingkan satu alisnya dan tersenyum.
"Hugo, kumohon, aku ingin pergi darinya, tolong aku" mohon Livia.
"jika kau ingin pergi maka kau harus berpamitan dulu pada tuan Zen bukan?" kata Hugo yang tak mungkin di terima oleh Zen.
"mari kita pulang nona" lanjut Hugo.
"tidak, aku tidak bisa Hugo" jawab Livia.
"angkat dia" kata Hugo memerintah Robin untuk membopong Livia. "lenyapkan dia" lanjut Hugo sambil memberi kode dengan kepala pada pengawal saat melihat Luna.
lalu salah satu pengawal mengeluarkan pistolnya dari saku khusus tempat pistol mereka, dan mengarahkannya pada Luna.
Luna shock berat, wajahnya memucat, dia sedikit mundur dari duduknya.
"tidak Hugo, baik.. baiklah aku akan ikut denganmu, tapi kumohon jangan hukum temanku, kumohon Hugo" rintih Livia saat mendengar akan ada bahaya pada temannya.
"maaf nona, itu perintah tuan Zen" jawab Hugo.
"Hugo kumohon lepaskan dia aku akan mengikutimu" kata Livia sambil berlutut di depan kaki Hugo.
Hugo menghela nafas berat.
"tunggu, aku akan menghubungi Zen, jangan menyentuhku!" tegas Livia saat melihat Robin yang hendak mendekatinya.
Livia cepat-cepat mengambil ponselnya dan menelepon Zen.
"ha..halo"
"beraninya kau!" ujar Zen tanpa basa-basi.
"Zen, a..aku akan kembali, tapi.. tapi Zen tolong temanku jangan bunuh Luna" kata Livia dengan gugup.
"tidak, dia sudah berani macam-macam padaku" tegasnya.
"kumohon Zen kumohon, aku akan pulang" mohon Livia, kata Livia sambil menangis, Zen Diam sejenak.
"baiklah, aku tidak akan melenyapkannya, cepatlah pulang sebelum aku marah besar padamu!" perintahnya.
Livia mengangguk cepat menatap Hugo yang sudah paham bahwa Zen tidak akan menolak permintaan kekasihnya ini.
lalu mereka pulang ke kota bersama termasuk Luna.
tiga jam berlalu dengan kecepatan tinggi melalui jalan tol mereka sampai di kota.
Livia dan Luna berjalan pelan menuju ke taman setelah Barbara mengatakan Zen menunggu di taman. disana ada sosok Zen yang tengah duduk di kursi dengan sebuah anggur merah dan buah-buahan.
mereka berdiri di sebelahnya dengan menunduk dan sebuah tas besar berisi uang. Zen menatap mereka dengan tatapan dingin, dia melihat tas yang tergeletak di depan Livia.
"sudah puas?" tanya Zen dengan tajam yang masih duduk, tatapannya menusuk penuh dengan amarah.
"maafkan aku" lirih livia menunduk, Luna duduk bersimpuh kepalanya menunduk.
"maafkan saya tuan, saya salah, maafkan saya"kata Luna.
"kau tahu? aku bisa saja membunuh temanmu itu" kata Zen menakut-nakuti Livia sambil menatap Luna, Luna kaget menatap Zen dan wajahnya menjadi pucat, dengan cepat Livia tersimpuh di sebelah Luna, dia sedikit maju mendekati kaki pria itu.
"kumohon Zen, maafkan aku, aku yang salah, aku yang merencanakan semua ini dan mendesaknya untuk kabur bersamanya" mohon Livia yang mulai menangis, sedangkan Luna tak bisa berkata-kata lagi, dia menunduk meneteskan air matanya pasrah.
"bodohnya temanmu itu, tidak memiliki masalah apapun mau saja kau ajak kabur" kata Zen meremehkan.
"saya yang salah tuan, maafkan saya, tolong jangan bunuh saya" kata Luna yang setidaknya berusaha untuk hidup.
"kau lihat Zen, kau lihat kan? dia teman baikku, aku yang bersalah sudah ingin ke desanya, hanya dia yang memiliki desa terpencil, maka dari itu aku meminta bantuannya". mohon Livia memegang lutut Zen.
lalu Zen berdiri dan mendekati Luna, di tangannya sudah ada pistol andalannya, dia menyodorkan pistolnya di kening Luna yang masih duduk bersimpuh, mata Livia melotot melihatnya, Luna menangis pasrah dalam diam.
"di bunuh atau menerima hukuman?" kata Zen memberikan pertanyaan pada Luna.
"Zen, kumohon jangan" kata Livia yang shock, lalu mendekati Zen dan memeluk kaki sebelah kanannya.
"cepat katakan!!!" bentak Zen pada Luna yang tak kunjung menjawab, matanya yang tajam membuatnya semakin menyeramkan saat matanya berubah memerah.
"sa.. saya ingin di hukum tuan" kata Luna dengan sangat gugup, tubuhnya bergetar.
"kau harus bekerja besuk" kata Zen.
Livia dan Luna mendongak menatapnya. lalu dengan cepat Luna mengangguk patuh.
"pergi ke ruang makan dan makanlah, aku di ruang kerja" ujar Zen menatap Livia. "kau bisa pulang setelah makan malam" lanjutnya pada Luna.
lalu Luna tersenyum kecil sambil mengusap air matanya di pipi secepat mungkin.
"baik tuan, trimakasih tuan" kata Luna yang merasa senang.
"kalian bagi saja berdua uang itu, aku tidak sudi melihat uang itu" kata Zen pergi meninggalkan mereka, mereka mulai berdiri dengan lemas.
"Luna maafkan aku" kata Livia menunduk yang masih saja menangis.
"Livia aku tidak di bunuh, lihat aku, jangan menangis lagi, aku senang masih bisa melihatmu" jawab Luna.
"bagaimana kau bisa senang, kau di beri hukuman" kata Livia memeluk teman baiknya itu.
"aku akan melakukan hukuman itu, tenanglah aku tidak apa-apa, lagipula aku juga bersalah" kata Luna.
"hatimu terbuat dari apa bisa sebaik ini hah?" kata Livia mengusap air matanya dan terkikik geli dengan tingkah mereka sendiri. "aku akan menjodohkanmu dengan pria baik" gurau Livia.
"kita buat apa dengan uang sebanyak ini?" tanya Luna.
"benar" kata Livia sambil memikirkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
SESUYA
oke kakak.. tunggu up selanjutnya ya. jgn lupa Like terus. Miss you. hehehe
2022-11-16
0
Muhammad Elfigo
lanjut thor
2022-11-16
0