"oh John Louis, kau ada disini?" sapa Helena yang sengaja membuntutinya, John Louis selalu makan malam di restauran yang dekat dengan kantornya.
"ah kau Helena, kau disini" sapa Louis tersenyum.
"kau sendiri?" tanya Helena, "apa aku boleh duduk disini?" lanjutnya lagi.
"ah silahkan" kata Louis yang masih menunggu pesanannya. "aku selalu makan sendiri, aku tidak ingin pegawaiku canggung" imbuhnya.
"ah kau bos yang pengertian"
"apa kau juga akan makan malam?" tanya Louis.
"iya, kebetulan aku lewat sini, apa aku boleh bergabung makan denganmu?" ijin Helena.
"tentu" jawab Louis lalu memanggil pelayan dan memesan untuk Helena.
"bagaimana kabar istrimu? apa dia sudah sembuh?" tanya Helena basa-basi yang hendak merebut Louis dari istrinya, helaan nafas berat dari Louis keluar.
"dia belum sadar" jawabnya dengan semburat sedih dari matanya.
"ah, sayang sekali, semoga dia cepat sadar"
"ya, semoga saja" jawab Louis lalu mereka membicarakan tentang pekerjaan.
Tak lama kemudian pesanan mereka datang, Helena sengaja memesan es coklat.
Sesekali membicarakan tentang Darent yang karirnya hampir jatuh.
saat mata Helena memandang Louis yang sedang menyendok, Helena sengaja minum esnya dan menjatuhkan gelas es coklat itu di atas pahanya.
"aduh" lirihnya membuat Louis tersentak berdiri lalu mengambil sapu tangannya dan membersihkan dress putih itu, tiba-tiba terhenti saat menyadari hal itu tidak sopan.
"maafkan aku Helena" ujarnya yang masih bingung.
"ah tidak apa-apa, bagaimana ini" lirihnya basa-basi.
"kau bisa bersihkan di toilet dulu Helena"
"ah aku tidak terbiasa di toilet restauran" jawabnya sembari membersihkan dress-nya dengan sapu tangan yang diberikan Louis.
"apa aku harus memesan baju untukmu?" tanya Louis.
"ah tidak usah, kurasa aku malu untuk kemanapun, tapi aku tidak bisa ke toilet sembarangan, apa kau punya penginapan disini? aku akan pinjam sebentar sebelum pelayan rumahku datang membawa pakaianku" kata Helena dengan liciknya.
"aku punya apartement di dekat sini, mari kuantar, pakai jasku ini untuk menutupi" kata Louis menawarkan. "naiklah ke mobilku, tinggalkan saja mobilmu untuk sementara disini" lanjutnya.
setelah mereka sampai ke apartement Louis, Helena di persilahkan masuk, dia melihat-lihat isi apartement itu sedangkan Louis berusaha mencari pakaian istrinya yang ada disana.
"ini Helena, pakai baju istriku dulu" kata Louis menyodorkannya.
"ah baiklah, aku akan ganti dulu" katanya masuk ke salah satu kamar yang di tunjukkan oleh Louis.
tapi saat Louis keluar baru sampai ke pintu, Helena memanggilnya, dia pura-pura kesulitan menurunkan resleting yang ada di punggungnya.
"maaf Louis apa kau bisa membantuku? tolong turunkan resleting ini, aku kesulitan jika tidak ada pelayan" jelas Helena meyakinkannya.
Louis tampak sedikit kaget, dia ragu untuk menghampirinya. akhirnya dia mendekati dan membantunya, tapi entah dari mana rasa itu muncul, rasa ingin bercintanya naik setelah melihat punggung Helena. Mungkin karena istrinya sudah satu bulan ini tidak sadarkan diri dari kecelakaannya jadi dia butuh pelepasan juga, dia membelai punggung halus Helena, dan saat itulah mereka melakukan hal yang tidak pantas mereka lakukan.
***
"kemana lagi kita?" tanya Luna setelah keluar dari studio bioskop.
"entahlah, kau ingin makan apa?" tanya Livia.
"apa kau mau minum?" tanya Livia.
"tentu, kenapa tidak, ayo kita ke kedai itu" tunjuk Luna saat ada kedai yang tak jauh dari bioskop. "tapi apa benar kau boleh minum?" lanjut Luna saat melirik Robin pengawal Livia yang mengikuti mereka di belakang, tubuh Robin benar-benar tinggi dan besar, semua tubuhnya kekar hampir tak ada daging, hanya otot yang paling menonjol.
"jangan hiraukan dia" kata Livia agar temannya tetap nyaman.
tapi saat mereka berjalan ke kedai mereka melewati toko butik pakaian, terlihat dari jendela keca terdapat dress yang sangat indah disana.
Livia dan Luna saling tatap dan tersenyum, lalu mereka masuk melihat-lihat, dan akhirnya Livia memilih tiga baju sedangkan Luna dua baju. Livia membayar dengan kartu milik Zen, sesuai tawaran Zen, dia membayar tagihan Luna.
Mereka keluar tanpa menenteng apapun, tapi Robin yang membawa belanjaan mereka.
waktu sudah malam, Livia dan Luna sudah menghabiskan banyak bir di kedai, sementara Robin berdiri di sekitar mereka.
"hei, apa kau tau Liv" ujar Luna yang sudah mabuk di kedai, "waktu itu Daren datang ke kafe mencarimu, tapi kau sudah berhenti" kata Luna yang mabuk berat.
"benarkah?" jawab Livia kali ini yang sama mabuknya. "ah.. tadi pagi aku sangat terkejut saat mendapat paket darinya, kau tau apa isinya?" kata Livia yang sudah tak karuan dan tidak bisa mengontrol bicaranya karena efek mabuk.
"apa?"
"dia mengirimku foto saat kita bercinta, hahaha" tawanya membuat Robin menatap Livia dengan tajam yang sudah benar-benar mabuk.
"hahaha... benarkah?" jawab Luna yang sama tertawanya. "bagaimana gayanya?" tanya Luna dengan tawanya.
"itu rahasia, tapi untungnya aku punya otak pintar, secepat mungkin aku sobek foto-foto itu dan ku buang di kloset, hahaha..." tawa menggelegar dari Livia dan Luna memenuhi di kedai itu.
"hahaha.. kalian mengabadikannya? hebat sekali kau"
"ahhh bukan, bukan.. bukan aku yang mengabadikannya, entahlah aku bahkan tidak tahu Darent mengabadikannya" jawab Livia.
"cepatlah katakan padaku bagaimana gayanya" tanya Luna yang bersusah payah mengangkat kepalanya.
"mereka sudah gila!" lirih Robin melihat perilaku mereka yang menjadi bodoh jika mabuk.
keesokan hari..
"enggh.." lenguh Livia jam dinding menunjukkan siang hari.
ceklek..
kepala Barbara menyembul di pintu kamar Livia.
"nona sudah bangun" lirih Barbara yang di dengar Livia.
"ada apa?" tanya Livia yang duduk bersandar di ranjang.
"nona segeralah bersiap-siap, tuan Zen memanggil anda di kamarnya, ini minum dan makanlah, itu pereda pengar" kata Barbara.
"baiklah"
lalu Livia mandi dan makan yang di sediakan Barbara, setelah itu Livia menuju ke kamar Zen. Livia masuk setelah mendapat ijin Zen.
Zen berada di balkon menatap pemandangan dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Zen, ada apa?" tanya Livia. Zen berbalik menatapnya, tampak sangat cantik di mata Zen dengan balutan dress selutut, tapi hal itu tidak meredakan amarahnya.
"katakan, apa yang kau sembunyikan dariku" kata Zen dengan tajam.
"aku? apa maksudmu Zen" tanya Livia menerka dalam hatinya apa dia membuat kesalahan saat mabuk tadi malam pikirnya.
Zen melangkah cepat tepat di hadapan Livia, dia mencengkeram kedua pipi Livia dengan kuat, dengan pandangan yang sangat tajam dan mengerikan, jantung Livia berdetak kencang.
"Zen" lirih Livia berharap Zen menghentikan aksinya sebelum dia benar-benar marah.
"katakan apa yang dikirim Darent dalam paket itu!" bentak Zen membuat nyali Livia menciut.
"paket apa Zen" tanya Livia berusaha membohonginya. Zen mendorong Livia hingga masuk ke kamar dan mendorongnya ke ranjang dengan kasar.
"aku ingin kejujuranmu Liv!" tegas Zen dengan nada tertahan.
"jika kau sudah tahu jangan tanya aku lagi" kata Livia lirih akhirnya.
"dasar wanita ******!" umpatan Zen membuat hati Livia sakit saat itu juga, dia mencengkeram pipi Livia. "sekarang rasakan hukumanmu sudah berbohong padaku!" perkataan Zen penuh dengan kata-kasa kasar, lalu dia ******* bibir Livia membabi buta, sedikit darah yang keluar dari bibir Livia membuatnya meringis kesakitan, gigitan tanpa ampun dari Zen membuatnya sulit bernafas dan sakit.
"henti..kan" ujar Livia di sela-sela kesempatan.
tubuh Livia yang berada di bawah Kungkungannya terlihat kecil karena postur tubuh Zen yang tinggi dan besar berotot seolah Livia tak bisa menandinginya dengan cara apapun.
"kau wanita ******!" umpatan Zen membuat aliran air mata Livia terus keluar tanpa henti, dengan cepat Zen melepas semua pakaian yang dia kenakan dan dia juga melepas milik Livia dengan brutal, tanpa rasa ampun Livia tersiksa saat itu juga, kemarahannya yang berapi-api sudah di tahannya sejak tadi malam setelah mendapat informasi dari Robin bahwa Livia mendapat paket berisi foto mesum itu.
"Zen kumohon cukup, aku minta maaf" kata Livia sambil menangis saat Zen menyetubuhinya.
"sudah terlambat!" tegas Zen.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments