keesokan harinya, Livia berada di dalam kamar, dia banyak merenungkan nasibnya setelah mendapat hukuman dari Zen.
"tidak seharusnya aku berada disini, aku bisa tersiksa jika terus disini, aku tidak bisa bebas" batinnya bergejolak hanya ingin pergi dari mansion, tapi sangat sulit untuk bisa kabur.
ketukan pintu pelayan yang membuat dirinya terkesiap, dia tak menjawab ketukan pintu itu.
ceklek..
pintu terbuka menampilkan Barbara.
"nona, aku akan siapkan air hangat untuk mandi" katanya lalu masuk ke kamar mandi. Tak lama kemudian Barbara keluar dari sana menemui Livia yang masih meringkuk dengan lamunannya.
"nona, air hangat sudah siap, segeralah mandi dan turun untuk sarapan, tuan Zen sudah menunggu di bawah" katanya yang tak ada jawaban dari Livia.
setelah setengah jam berlalu Barbara mencoba kembali ke kamar wanita itu, ternyata Livia tak berubah sama sekali, masih meringkuk di atas ranjangnya dengan melamun.
"nona, apa anda sakit?" tanya Barbara menghampirinya duduk di tepi ranjang, lalu Barbara memegang jidat Livia memastikan sesuatu tapi tidak merasakan panas disana.
"Barbara" panggil Livia.
"ya nona"
"apa kau pernah merasa tertekan dalam hidupmu?" tanya Livia membuat Barbara diam sejenak.
"kenapa nona menanyakan hal itu?"
"kurasa kau tidak pernah merasakannya"
"pernah" sahut Barbara. "aku merasakannya sebelum aku bekerja disini, aku terlilit hutang dan saat itu suamiku pemabuk berat, aku memiliki 2 anak yang masih sekolah membutuhkan banyak biaya, setelah itu aku mendapatkan bantuan dari Hugo pekerjaan disini"
"benarkah? kalau begitu kau pernah merasakan apa yang aku rasakan, jadi bisakah kau membantuku? mungkin aku akan sangat bersyukur sepertimu saat ada bantuan dari orang lain" jelas Livia.
"apa nona tidak senang berada disini?" tanya Barbara memastikan.
"apa aku terlihat bahagia? jika hanya senang saja tidak cukup, senang bisa hidup enak disini tapi bahagia yang paling utama untuk kewarasanku" kata Livia. "jika hanya senang saja bisa bosan, jika aku bahagia semua keburukan itu akan hilang entah itu bosan atau tertekan" imbuhnya, Barbara hanya diam menatap nonanya dengan iba, karena dia juga memiliki putri.
"apapun itu alasanmu jika kau ingin kabur dari sini aku tidak bisa menolongmu, terlalu bahaya untuk semua yang bekerja disini jika kau kabur, kita semua akan habis di tangan tuan Zen" kata Barbara.
"aku masih mengantuk Bara, kau bisa pergi" kata Livia pasrah yang tidak bisa mengharapkan Barbara.
"makanlah dulu, tuan Zen akan marah"
"Bara, apa kau tidak mendengarku? lagipula sudah menjadi kebiasaannya marah-marah" jawab Livia membuat Barbara tak bisa menjawabnya lalu keluar.
Livia membuka ponselnya, dia mulai mencoba untuk acuh pada komentar apapun di sosial media, dia juga tidak membuka semua kabar berita dimanapun, tiba-tiba banyak yang mengikutinya entah itu karena suka atau hanya untuk menyelidiki kehidupannya, dia sudah tidak peduli.
tak lama kemudian Barbara datang dengan dua pelayan yang membawa nampan.
"nona, jangan sampai kau sakit, makanlah, tuan Zen mengirim makanan ini untukmu, istirahatlah yang banyak jika kau lelah" kata Barbara dengan lembut, tapi Livia tidak menjawabnya, lalu Barbara memberi kode pada dua pelayan yang membawa nampan untuk keluar dan diikuti Barbara.
"bagaimana?" tanya Zen yang masih berada di meja makan bersama Hugo.
"dia tetap tidak mau makan tuan, entahlah, mungkin nona belum lapar, aku akan melihatnya lagi nanti" jawab Barbara yang berdiri di sebelah Zen.
"baiklah, kau boleh pergi" kata Zen pada Barbara. "kita harus ke kantor" lanjut Zen pada Hugo.
"baik tuan"
malam hari.
Zen pulang bersama Hugo, terlihat Barbara ikut menyambutnya di depan mansion dengan pelayan lain dan dua pengawal pintu utama.
"dimana Livia?" tanya Zen sembari memberikan tas kerjanya pada salah satu pelayan.
"di kamar tuan, dia tidak keluar sama sekali" jawab Barbara.
"benarkah? apa dia sudah makan?"
"sudah tuan, dia hanya berkata tidak mau di ganggu sama sekali oleh siapapun, dia kelelahan" jawab Barbara. Tak ada jawaban dari Zen.
"tuan, apa ada masalah selain paket dari Daren?" tanya Hugo yang ada di sofa ruang keluarga.
"aku hanya memberikannya sedikit hukuman" kata Zen, Hugo memahami jawabannya.
Hari berlalu dengan cepat, dan sudah tiga hari ini Livia tidak keluar sama sekali dari kamarnya, dia marah pada Zen yang bersikap kasar padanya padahal bukan Livia yang salah, itu semua perbuatan Darent.
Hari menjelang malam, hari ini Zen pulang lebih awal, pekerjaannya diselesaikan dengan secepat mungkin, dia rindu dengan wanita cantik kekasihnya yang ada di rumah.
"apa dia sudah keluar kamar?" tanya Zen pada pelayan lain.
"belum tuan"
"dasar!" umpatnya lirih saat masuk ke rumah. "apa dia sudah makan?" tanyanya lagi.
"seharian ini nona sama sekali tidak mau makan tuan, dia selalu menolak dan berkata bahwa dia ingin bebas dari sini" jelas pelayan.
"kau bisa kerjakan tugasmu lagi, siapkan saja makan malam" perintahnya pada pelayan, lalu Zen menaiki tangga menghampiri kamar Livia.
Zen masuk mendapati Livia meringkuk di ranjangnya tidak tidur dan tanpa melakukan apapun, dilihatnya ponsel Livia berada di meja rias, artinya Livia benar-benar diam mematung di atas ranjang, entah apa yang dipikirkan wanita itu.
Zen berjalan pelan menghampirinya.
"kau sudah pulang?" ujar Livia yang bisa menebak dari suara sepatunya yang khas mengintimidasi.
"apa kau ingin mati?"
"ya"
"cepatlah turun makan bersamaku" tegas Zen.
"hahaha..." tawa Livia membuat Zen heran dan menatapnya lekat-lekat. "tuan Zen yang paling kaya dan terhormat, apa kau tahu? perilakumu yang tidak tahu malu terhadapku membuatku jadi semakin membencimu! aku tidak mencintaimu tapi kau berlagak menjadi kekasihku" lanjut Livia yang terus mendapat tatapan datar dari pria itu.
"pria yang meninggalkan kekasihnya, hanya dengan mengirim satu pesan untuk memperingatiku agar aku tidak berpaling pada pria lain.. bagiku dia adalah sampah!" lanjutnya lagi dengan ketus dan berani, Livia duduk bertabur dengan air mata.
"aku akan membuatmu bahagia, maka keluarlah dan makan malam bersamaku dibawah" jawab Zen mengalihkan pembicaraan.
"pria gila! kau pria brengsek!" umpat Livia kasar, tatapan Zen mulai berubah menjadi horor.
"jangan mengumpat sayang, itu semakin membuatku ingin melahapmu hidup-hidup" kata Zen lirih tertahan karena geram pada wanitanya. "turunlah, hapus air matamu dan jangan mencobaiku!" tegas Zen meninggalkan Livia setelah mengusap air mata wanitanya.
Para pelayan tengah sibuk mempersiapkan hidangan makan malam, sementara di kursi belum ada sosok Zen dan Hugo, Livia menuruni anak tangga dan berpapasan dengan Zen, terlihat sangat tampan dan saat dia tidak mengenakan jas, dia mengenakan celana jins yang pas untuknya dan memakai kaos oblong dengan warna putih yang melekat di tubuhnya sehingga membuat otot-ototnya tercetak jelas.
Livia membuang muka saat sadar dirinya telah terpukau dengan fisik pria itu. Zen terus menatapnya yang berjalan menuju ke meja makan, Zen melihat sosok tubuh Livia yang sempurna dari belakang di balut dengan dress hingga di atas lutut bermotif bunga.
"sangat menawan" lirih Zen yang tidak di dengar oleh Livia. akhirnya mereka duduk dan mulai makan malam dengan diam.
"tuan, dimana Hugo?" tanya Barbara yang barusaja menghampiri mereka memecah suara benturan sendok dan piring.
"dia sedang bersama kekasihnya" jawab Zen sembari menegak susu di gelasnya.
"Barbara, bisa buatkan aku ramen?" kata Livia.
"tidak, kau tidak boleh makan makanan sembarangan" tolak Zen lalu memberi kode Barbara untuk segera pergi sebelum Livia memaksanya, Livia cemberut.
"Liv" panggil Zen lalu memegang tangan Livia. "apa kau masih marah? aku minta maaf waktu itu, aku marah tanpa melihat siapa yang salah" lanjutnya lagi, Livia menatapnya datar, lalu tersenyum licik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments