di dalam mobil Zen..
Hugo menerima panggilan dari salah satu bodyguardnya tadi, di bagian radio mobil di geser bagian tombol hijau.
"ya ada apa?" tanya Hugo sambil menyetir.
"Daren datang ke rumah Livia pak" kata bodyguard yang sengaja tidak mengikuti mobil Zen, dia hanya pergi tak jauh dari rumah Livia dan berhenti di jalan kecil pertigaan untuk memantau Livia.
"putar balik" perintah Zen yang di patuhi Hugo.
"lepaskan dia sekarang juga!" teriak Zen saat tiba mengetahui mereka bercumbu.
Zen menatap Livia dengan nyalang dan Hugo yang berada di sebelahnya mengepalkan tangannya yang tidak sabar untuk memberi pelajaran Darent.
"Zen, kau kembali lagi? ada apa? apa kalian mau masuk?" kata Livia bertubi-tubi mengalihkan pembicaraan, tanpa menjawab pertanyaannya, Zen berjalan cepat menghampiri Livia menariknya dengan kasar dan menyembunyikan di belakang punggungnya, dengan cepat Zen menodongkan pistol ke arah Darent yang selalu dibawanya di punggung bawah.
sontak Livia dan Darent melihatnya sangat terkejut, sedangkan Hugo dia sudah terbiasa karena diapun tahu bagaimana perilaku majikannya.
mungkin di belakang Hugo juga ada pistol yang di sembunyikan.
"a..apa yang kau butuhkan? katakan saja aku akan berusaha memenuhinya" kata Darent dengan gugup sambil mengangkat kedua tangannya saat melihat pistol tersebut, tadinya dia hendak melawan karena mengingat dia hanya mantan kekasih Livia sedangkan Darent kekasih Livia, tapi apalah daya jika sudah berurusan dengan pistol, seketika itu pikiran Darent teringat seperti apa Zen Rodrigues, dan benar adanya bahwa seorang Zen Rodrigues memanglah kejam seperti yang orang-orang katakan.
"aku tidak membutuhkan apa yang kau punya bodoh, bahkan Liviapun juga bukan milikmu, tapi milikku" jawab Zen dengan pandangan menyeramkan, sorot mata yang nyalang dan tajam, mata yang berubah menjadi merah dan penuh dengan rasa benci.
"tunggu!" teriak seorang pria pendek di belakang Hugo, dia Kevin, asisten Darent. "tunggu jangan bunuh dia kumohon tolong jangan bunuh dia" rintih Kevin memohon berlari dan bersujud di depan Zen, seketika itu Kevin baru tahu yang akan membunuh Darent adalah Zen pria kaya tapi kejam. "apa yang kau inginkan? aku akan berusaha membantu Darent memberikan apa yang kau mau" lanjutnya lagi yang terus memohon penuh harap.
"cih.. kalian sama saja, aku tidak butuh apapun yang kalian punya, jauh di atasmu aku sudah memiliki segalanya termasuk Livia, dia wanitaku dan kau merebutnya, sialan!" jawab Zen dengan ketus dan tatapan tajam.
dengan cepat Kevin melihat Livia dengan cepat yang sedang ketakutan juga, lalu kembali fokus pada Zen.
"baiklah, aku akan memastikan Darent tidak akan mengganggu Livia ataupun mendatanginya"
"tidak! aku tidak bisa! Livia kekasihku, kau hanyalah mantan!"
dorrr...
satu tembakan melesat keluar dari pistol membuat kaca dinding Livia pecah, pistol yang di arahkan Zen sengaja diluncurkan tepat di sebelah telinga Darent yang tertuju ke jendela, dia memperingati Darent untuk diam dan menurut.
Darent membuka mata perlahan yang terpejam dengan erat saat peluru itu hampir membunuhnya, Livia ambruk hingga terduduk, kakinya lemas dan jantungnya tak beraturan, Kevin terkejut sampai-sampai tak berani melihat Darent. Sedangkan Hugo, pandangannya datar tidak meredam amarah tuannya sama sekali.
"sialan!" umpat Zen pada Darent.
Kevin berusaha bangkit mendekati Darent dengan gemetar, berusaha menariknya untuk pergi menjauhi mereka, tak terduga Darentpun mengikuti tarikan Kevin untuk masuk ke mobil, dirinya juga sangat terkejut saat nyawanya hampir melayang.
Zen melihat Livia yang terduduk di belakangnya sembari memasukkan kembali pistolnya ke belakang punggung, lalu menyeretnya dengan kasar untuk berdiri, Zen mengeraskan rahangnya dan menyahut kalung pemberian Darent barusan.
clakk...
suara kalung patah yang di ambil Zen dengan kasar membuat leher belakang Livia memerah, tapi rasa sakit di lehernya tak membuatnya terasa sakit karena saat ini livia sedang merasakan kekacauan di hati maupun di pikirannya.
"Zen kumohon" rintih Livia dengan sekuat tenaga untuk berbicara, pandangan matanya yang masih shock mengeluarkan air mata bercucuran di pipinya. "kumohon lepaskan aku" lanjutnya berusaha menghentikan Zen saat dia di seret masuk ke mobilnya, tak ada kata-kata lain selain memohon, dia sudah kehabisan kata-kata untuk bisa lepas darinya, dia tahu tak ada harapan lagi jika Zen sudah marah besar, tapi dia berusaha untuk mencoba, bahkan Zen diam dan tak mau mendengar Livia sedikitpun.
dengan santai Hugo masuk ke mobil lalu menyetir, Zen duduk melepas dasinya dengan kasar, sedangkan Livia diam dengan tatapan yang masih shock.
sementara kedua bodyguardnya mengurus kekacauan yang ada di rumah Livia termasuk para tetangga yang melihat mereka dari jendela rumah masing-masing, tentu saja dengan uang dan ancaman kekuasaan yang dimiliki Zen mau tak mau mereka harus diam, merekapun juga tak berniatan untuk melaporkan pada siapapun karena mereka tahu siapa Zen Rodrigues.
sesampai di mansion mewah Zen, banyak pelayan memakai seragam hitam putih menundukkan kepala saat mereka datang, Zen menarik paksa Livia dan memasukkan ke salah satu kamar mewah di mansion, lalu Zen menutup pintu rapat-rapat menyuruh salah satu pelayan mengunci pintu kamar tersebut dari luar.
"Zen keluarkan aku dari sini" teriak Livia, dia berusaha menggedor pintu dan membuka knop pintu dengan paksa.
Zen melenggang pergi begitu saja saat mendengar Livia memohon dari dalam kamar, dia duduk di kursi kebesarannya yang berada di ruang kerja mansion.
Hugo masuk setelah mengetuk pintu dan mendapat ijin dari Zen.
"semuanya baik-baik saja tuan, mereka sudah memberi uang pada tentangga nona Livia yang melihat, dan satu wartawan yang mengintai nona Livia sudah kuurus untuk menutup mulut"
"wartawan?"
"benar, nyonya Helena yang memberitahu salah satu wartawan dimana tempat kerja dan tempat tinggal nona Livia, dan kebetulan wartawan itu licik, dia hanya memberitahu rekan kerjanya dimana tempat nona bekerja, dia merahasiakan rumah nona supaya mendapat berita lain sendiri" jelas Hugo.
"baguslah jika harus mengurus sedikit orang, aku tidak mau wajah Livia terpublikasi di media, aku hanya ingin Livia terpublikasi wajahnya saat menjadi milikku seutuhnya" kata Zen dengan pandangan ke depan.
keesokan hari...
pelayan mansion di rumah Zen memasuki kamar Livia, dia melihat Livia tengah berdiri di pintu kaca yang terhubung di balkon, dari situpun Livia sudah bisa memandang pemandangan di luar meskipun tidak semuanya saat dilihat dari balkon.
"permisi nona, saya ketua pelayan di sini, nama saya Barbara, panggil saja Bara, saya akan menyiapkan air hangat untuk mandi"
tak ada jawaban dari Livia, lalu sebuah suara sepatu mengintimidasi berjalan pelan mendekati Livia, tangan kekar dan berotot memeluk perut wanita itu dengan erat dan lembut.
"aku harus bekerja" kata Livia yang berpikir percuma jika melepas pelukan dari Zen, semalaman dia berpikir banyak untuk keluar dari sini, tapi dilihatnya saat dia maemasuki mansion banyak penjaga yang mengelilingi mansion ini, semua berjaga dengan ketat di depan, belakang maupun di dalam mansion, banyak juga pelayan yang beraktivitas disini, untuk kaburpun tak akan bisa.
Sejak saat itu Livia sadar banyak orang yang berkata bahwa Zen semakin dewasa semakin kejam, bahkan Livia membayangkan jika Zen menyodorkan tembak padanya saat dia kabur, tak hanya memikirkan itu saja, bagaimana hubungannya dengan Darent?
"iya, kau akan berangkat bekerja denganku, aku juga harus ke kafe O'good, pakai baju yang sudah disiapkan pelayan" kata Zen.
"kenapa kau harus kesana?"
"kenapa? sejak dulu aku selalu kesana setiap pagi" jawab Zen tak terima.
"baiklah" kata Livia yang takut untuk berdebat.
"mulai sekarang kau harus tinggal disini, semua keperluanmu akan aku siapkan disini, dan sebentar lagi setelah semua pekerjaanku selesai kita akan menikah, sampai kapanpun kau tidak bisa pergi dariku" kata Zen sambil membenamkan wajahnya di tengkuk Livia yang wangi dari tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments