Rinai hujan yang turun semakin deras, bagai menumpahkan segala air dari tempatnya. Membuat aku dan salah satu muridku harus terjebak di bawah rumah kosong di tepi jalan yang tak jauh dari gedung sekolah elite yang terletak di sudut Ibukota.
Tadinya aku menunggu bis untuk pulang ke kontrakan. Tapi sampai habis Maghrib bis yang ku tunggu tak juga kunjung tiba, sehingga membuatku memilih melangkah menyusuri jalanan berharap menemukan tukang ojek atau taksi yang melintas.
Belum sempat menemukan transportasi yang akan membawaku pulang, tiba-tiba turun hujan dengan deras sehingga mau tak mau aku berteduh di sebuah rumah kosong yang tak jauh dari jalan raya. Aku duduk di bangku yang terlihat usang, mencoba mengeringkan rambutku yang sedikit basah.
Rumah ini memiliki penerangan yang minim, hanya ada bohlam berwarna kuning yang tak terlalu terang. Tapi setidaknya lumayan daripada gelap. Aku menikmati rinai hujan yang turun membasahi bumi, aroma khas bau hujan tercium di indera penciumanku. Tanganku terulur, menyentuh tetes demi tetes air yang turun dari langit. Merentangkan tangan kanan, menampung air itu dengan perasaan bahagia. Segala rasa kesalku berangsur menghilang ketika menghirup lamat-lamat aroma hujan. Memainkan air yang ku tampung menggunakan telapak tangan.
Entahlah, aku sangat menyukai hujan. Jangan tanya alasannya, karena sebenarnya aku sendiri pun tak tahu.
Dari kejauhan, samar aku lihat seorang pria mengenakan seragam abu-abu menuju ke arahku. Berlari dengan tangan memegang tas berada di atas kepala, guna menghalangi hujan. Pakaiannya basah, bentuk tubuhnya tercetak sangat jelas sehingga menonjolkan beberapa bagian yang membuat pipiku bersemu malu. Aku memalingkan wajah menyadari hal yang seharusnya tidak aku lihat.
“Ibu sedang berteduh?” tanya pria yang ternyata salah satu siswa menyebalkan di sekolah tempatku mengajar.
“Yang kamu lihat bagaimana?” ketusku tanpa menoleh, aku kurang menyukai siswa ini karena sikapnya yang agak nakal serta tengil dan suka menjahili ku.
Ia terkekeh,
“Saya kedinginan nih. Butuh kehangatan.” aku menoleh, bola mataku tak kuasa untuk tidak mendelik. Sementara siswa tengil ini hanya terkekeh tanpa dosa.
“Nangkring sana di atas kompor!” tukasku semakin kesal.
“Ibu bisa aja. Nanti kalo aku gosong gimana?” sahutnya dengan kekehan khas miliknya. Aku tak menghiraukannya, lagi ku ulurkan tangan untuk merasakan tetes demi tetes hujan yang turun.
“Bu,” panggilnya. Aku hanya diam tak menanggapi.
“Saya kedinginan.”
“Apa hubungannya dengan saya?”
“Ibu bawa jaket?”
“Kalo punya, udah dari tadi saya pake.”
“Jangan galak-galak Bu, nanti kalo jatuh cinta gimana?”
Aku menoleh, bagai ada ribuan cicak yang menggelitik perutku.
“Haha, pede sekali kamu.”
“Harus pede! Ibu tahu sendiri bagaimana pesona saya di sekolah. Cewek mana sih yang nggak bertekuk lutut?”
“Cih ... Narsis.” cibirku.
Ia kembali tertawa, sementara aku memandangnya sinis. Tawanya terhenti ketika samar terdengar suara aneh dari dalam rumah kosong ini.
“Kenapa?” tanyaku bingung ketika murid menyebalkan ini meletakkan jarinya ke depan bibir menyuruhku untuk diam
“Suara apa itu?”
Aku mengedikkan bahu.
Ia mencari celah untuk mengintip, dinding ini terbuat dari papan sehingga ada celah kecil yang bisa di gunakan Keanu untuk mengintip.
“Astaga.” dengan tiba-tiba ia berbalik dan menutup mata.
“Ada apa?”
“Aku berdosa.” jawabnya dengan wajah terkejut, bahkan bibirnya sedikit terbuka.
“Hah? Apa sih?” tanyaku semakin penasaran.
“Aku berdosa karena melihatnya. Mata suciku ternodai.” ia kembali mengucapkan kata yang tak jelas dan sulit di mengerti.
“Dasar aneh! Awas!” aku menggeser tubuhnya, maju beberapa langkah untuk mengintip di celah yang Keanu gunakan tadi.
“Jangan, Bu. Saya mohon, jangan.” ia berusaha mencegahku.
“Apa sih? Jangan menghalangi saya.”
“Tapi saya nggak bertanggung jawab ya, kalau nanti Ibu jadi pengen.” aku mengernyitkan dahi. Bingung dengan ucapannya yang terasa aneh.
“Apa sih? Dasar aneh!” aku memaksa untuk mengintip. Detik berikutnya tubuhku terasa membeku, di dalam sana ada sepasang anak manusia sedang bergumul penuh gairah. Tanpa busana, dan hanya beralaskan tikar usang yang berdebu. Suara aneh yang kami dengar tadi ternyata berasal dari sana, ******* serta erangan erotis sangat jelas terdengar.
“Oh My God.” aku membalikkan badan, memegangi dada agar jantungku tak lepas dari tempatnya. Dadaku berdebar kencang bercampur rasa kaget yang menghantam.
“Udah di bilang jangan lihat!” Keanu mendengus bahkan kini kekehan kecil keluar dari mulutnya.
"Kan penasaran." lirihku dengan lemas. Bahkan kakiku kini terasa tak bertulang, tubuhku luruh ke bawah. Aku berjongkok.
"Kenapa kau menyuguhkan pemandangan aneh ini ya Tuhan." keluhku dengan memejamkan mata. Aku tidak pernah melihat hal gila ini sebelumnya, wajar saja jika kini aku terasa lemas setelah melihatnya. Lagi pula, mengapa pasangan muda-mudi itu melakukan semua itu di sini? Di rumah kosong yang berdebu dan usang. Seperti tidak ada tempat lain saja.
"Kenapa, Bu? Ibu pengen ya?" Siswa menyebalkan yang sedang bersamaku menudingku dengan seringai menggelikan.
"Dasar murid gila! iya saya pengen. Pengen nabok kamu!" ujarku kesal.
Ia hanya terkekeh seraya memegangi perutnya.
"Ya kan kalau Ibu pengen, bisa kok kita coba."
"Coba apa? Kamu mau coba tinggal kelas?"
"Ih Ibu mah gitu. Main ngancem, Nggak seru ah."
"Dasar murid gila!" umpatku kesal dengan bibir yang tak kuasa untuk tidak mengerucut. Aku benar-benar merasa kesal dengan murid berkelakuan random yang kini berdiri di sebelahku. Terjebak hujan di bawah rumah kosong yang lebih parahnya lagi ada sepasang muda-mudi yang saling menghangatkan di dalam sana. Membuatku ingin segera melarikan diri dari tempat ini. Tapi jika menerobos hujan, aku juga tidak akan berhasil. Aku tidak akan selamat jika memaksa menerjang hujan yang sangat deras ini. Sehingga aku memutuskan untuk tetap berada di sini meski sesekali terdengar erangan erotis yang membuat telingaku sakit dari dalam sana. Sesekali aku menutup telinga dari polusi suara yang mereka ciptakan di iringi tawa renyah dari murid Badung yang ada di sebelahku hingga suara ******* dan erangan erotis itu tak terdengar lagi, kami saling pandang.
"Apa mereka sudah selesai?" tanya Keanu padaku. Aku segera mengangkat bahu sebagai jawaban bahwa aku juga tidak tahu.
"Ah aku penasaran," ujarnya dengan senyum jahil yang tercetak jelas di wajahnya.
"Jangan macam-macam!" cegahku tapi sudah terlambat. Bocah tengil itu sudah mengintip dari celah dinding. Aku hanya menepuk kepala seraya menggelengkan kepala.
"Susah banget sih, di bilangin." gumamku pelan di sertai bunyi hujan yang belum juga mau berhenti sedari tadi.
Aku membiarkan saja Keanu melakukan apa yang dia mau. Aku mengulurkan tangan, menampung air hujan yang terasa dingin menyentuh kulit. Aku tersenyum merasakan salah satu nikmat pemberian Tuhan.
Tiba-tiba Keanu menghampiri ku, menarik tanganku dengan gerakan yang cepat sehingga aku terkejut.
"Apaan sih, kamu? Kenapa main tarik aja, sih?" protes ku dengan bola mata yang mendelik.
"Orangnya sudah tidak ada. Kemana mereka?"
"Ya mana aku tahu. Lagi pula kalau mereka sudah pergi, itu lebih baik. Setidaknya tidak ada polusi suara yang lama-kelamaan bisa merusak gendang telingaku." ucapku enteng.
"Tapi mereka kemana? aku penasaran." ujarnya dengan sesekali mengintip ke dalam.
"Mungkin mereka baru sadar bahwa tidak hanya ada mereka yang ada di sini." celetukku asal.
"Ah aku penasaran! Ayo kita lihat ke dalam!" Keanu menarik lenganku dengan kuat sehingga aku tidak sempat lagi menolaknya.
"Kamu ngapain bawa saya kesini?"
"Kita mencari mereka, kemana mereka pergi?"
Aku hanya memutar bola mata karena kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
𝐙⃝🦜しÏA ιиɑ͜͡✦ᵉ𝆯⃟🚀ʰⁱᵃᵗᵘˢ
sebenarnya Keanu bukan anak yg Nakal dan dari kelakuannya dia anak yg jahil aja...cm ibu guru terlanjur ga suka sm sikap jahil nya Keanu..
2023-01-30
1
Mega
teruuusss???? Mau apa, haaahhh?!
2023-01-30
0
Andariya 💖
wah..ternyata Keanu ini anaknya jahil bin konyol...ini juga muda mudi berbuat yg🤣🤣🤣🤣🤣
2023-01-30
1