"Kamu nggak papa Ra....?" Tanya Alaisa sembari menghampiri Alara.
"Nggak papa kok La." Jawab Alara.
"Ya jelas nggak papa lah... secara tadi kan disambut pangeran tampan. Sampai salting lagi." Desis Kaisa meledek Alara dengan wajah sinis yang menunjukan kalau dia syirik dengan adegan Alara dan Akara tadi yang tidak sengaja jadi romantis dan bikin baper.
"Apaan si lo Kai." Ucap Alaisa.
"Kalau iri bilang aja kali Kai, nggak usah sok sindir-sindir gitu dee." Tukas Alara dengan tertawa kecil kembali meledek Kaisa.
"Sialan lo Ra... awas aja lo ya... bakal gue balas lo nanti. Gue nggak terima ya lo gini in...!" Kata Kaisa dengan kesal sembari melemparkan sapu ditangannya. "Kemon girls." Kaisa berjalan pergi diikuti kedua temannya.
"Lo rencana-in aja apa yang lo mau...!" Jawab Alara sambil teriak. "Gue nggak pernah takut sama lo." Sambung Alara dengan kesal.
"Udah Ra... jangan kebawa emosi. Kaisa kan emang gitu anaknya Ra." Ucap Alaisa mencoba meredam amarah Alara.
"Gila ya lo La..., gimana nggak kebawa emosi coba..., dia yang mulai duluan La." Jawab Alara.
"Pulang aja yok!" Pinta Alaisa sembari mendorong Alara dengan pelan agar beranjak dari tempat Alara berdiri.
"Ya udah, ya udah, ayok!" Suara Alara dengan lantang.
Mereka berjalan meninggalkan kolam renang, dengan Alara yang masih berjalan dalam keadaan kesal. "Iii... sial." Ucap Alara sembari menendang botol kaleng di depannya.
Prak...
Terdengar bunyi kaleng yang mengenai seseorang.
"Duh... (kesakitan) siapa si yang lempar sampah sembarangan." Ujar Akara dengan wajah berusaha meredam amarahnya.
"Mampus gue La." Ucap Alara sembari membalikan badannya.
"Tu dia orangnya." Tukas Akara. "Woii lo, lo ngapain buang sampah sembarangan gini." Ujar Akara sembari menghampiri ke tempat Alara dan Alaisa berdiri. Membawa botolnya sebagai bukti.
"Maaf gue nggak sengaja." Ucap Alara dengan ekspresi datar seperti tidak ikhlas minta maaf.
"Lo niat minta maaf nggak si...?" Ucap Akara.
"Ya maaf...! Gue salah nggak seharusnya gue main tendang aja tadi. Tapi lagian bukan salah gue sepenuhnya juga kali, ya kan La." Sembari melihat ke arah Alaisa. Alaisa hanya menaikan bahunya pertanda dia tidak tahu dan tidak mau ikut campur.
"Lo yang jelas-jelas salah, nggak mau ngaku lagi. Dasar lo cewek yang nggak tahu terima kasih lo." Tukas Akara.
"Gue tahu lo yang bantu gue tadi, tapi gue nggak minta lo buat bantuin gue. Kalau nggak ikhlas nggak usah lo bantuin gue...!" Tegas Alara
"Intinya gue nggak mau terima maaf lo." Dengan sifat cool Akara.
"Ya udah kalau lo nggak mau damai...? Sekarang gue tanya apa mau lo...?" Ucap Alara.
"Mau gue...? Gue maunya lo harus turutin mau gue." Jawab Akara dengan tegas.
"Gue lagi malas debat." Ucap Alara dengan wajah bosan namun jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. "Jadi lo mau gue ngelakuin apa...?" Sambung Alara.
"Besok aja kita bahas gue udah ada janji hari ini. Gue minta nomor lo." Sambil menyodorkan handphonenya ke Alara.
"Buat apa...?" Tanya Alara.
"Ya buat tagih janji lo lah. Nanti lo ngilang lagi." Jawab Akara.
Alara mengambil handphone Akara dan memasukan nomornya.
"Tu udah". Kata Alara sambil mengembalikan hp Akara.
"Lo jangan GR. Gue terpaksa minta nomor lo." Kata Akara lalu berlalu pergi meninggalkan Alara dan Alaisa.
"Gue juga nggak mau kali nomor hp lo. Jangan sok kecakapan deh lo." Ujar Alara kesal.
"Kan dia emang cakap Ra." Timpal Alaisa dengan pandangan tetap mengarah ke Akara.
"Susah ya ngomong sama lo La. Pusing gue lama-lama tahu nggak. Gue cabut dulu deh." Ucap Alara masih dengan raut wajah kesal dan berlalu meninggalkan Alaisa.
Alara sampai di rumah. Rumah yang begitu mewah bagaikan istana. Alara bagaikan tuan putri yang sangat dimanja, disayang dan paling bahagia di dunia. Tapi itu hanya menjadi fiksi belaka. Kenyataannya hidup Alara tidak sebahagia yang dibayangkan.
Terdengar suara teriakan dan barang-barang pecah dari dalam rumah Alara. Alara berlari menuju sumber suara.
Alara melihat mama dan papanya bertengkar dilantai dua. Perdebatan yang sangat menegangkan. Mama Alara tidak henti-hentinya memukul papa Alara. Sampai mama Alara kehilangan kendali dan tidak sengaja mendorong papa Alara dengan keras.
Plakk
Terdengar suara sesuatu yang jatuh dari ketinggian dengan keras mengenai meja kaca dilantai satu.
Kaca pecah, berantakan. Ada sesuatu yang mengalir dari meja itu. Bentuknya agak kental, warna merah agak pekat.
"Papa...!!" Teriak Alara menghampiri meja itu. Alara Syok. Saking syoknya dia, tidak ada setetes pun air mata yang membasahi pipinya. Alara benar-benar pucat dan tidak bergerak sedikit pun. Seperti patung.
Bagaimana Alara tidak syok. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia melihat seseorang jatuh dari ketinggian tepat didepan matanya. Orang itu papanya sendiri. Orang yang paling dia sayang melebihi diri dia sendiri.
Papa Alara jatuh dari lantai dua di sambut meja kaca di lantai satu, dengan kondisi kaca menembus jantungnya.
Mama Alara seketika berteriak dengan histeris sambil berlari menuruni tangga.
"Mas... mas." (sambil meraba-raba sekujur tubuh papa Alara dengan panik). "Mas bangun mas! (Menangis) Aku nggak sengaja mas. Mas!" (Teriak mama Alara).
Jenazah papa Alara segera dibawa untuk dimandikan dan disholatkan.
Alara diangkat ke kamar. Karena Alara masih mematung tidak bergerak dengan matanya yang melotot. Mama Alara dibawa polisi karena telah melakukan pembunuhan terhadap suaminya sendiri.
Bibik Alara mencoba menyadarkan Alara.
"Non... sadar non. Istighfar non." Ucap bibik Alara (sambil mengusapkan minyak kayu putih ke hidung Alara dengan khawatir).
Alara sadar dan bingung kenapa bibik dan Alaisa menangis dan memeluknya.
"Bik. Bibik kenapa bik...?" Tanya Alara heran. "Lo kenapa La...?" Timpal Alara lagi ke Alaisa. "Kalian kenapa pada nangis sih." Ucap Alara udah mulai kesal.
"Ra lo yang sabar ya Ra." Sambil memeluk Alara. "Gue bakal selalu ada buat lo Ra." Timpal Alaisa lagi sembari menangis.
"Iya non... yang sabar non. Bibik nggak bakalan pernah ninggalin non sendirian non. Bibik akan ada terus untuk non. Non yang kuat ya non."
"Lo sama bibik apaan si. Nggak jelas bangat." Ucap Alara sambil melangkah keluar kamar menuruni tangga.
"Pa... pa... (memanggil dengan lembut)
Papa mana si (bingung). Pasti papa di kolam taman belakang ni. Kebiasaan papa kalau dipanggil nggak menyahut." Sambil berjalan menuju kolam. "Kok papa nggak ada juga ya. Kemana ya papa." Timpal Alara dan kembali kedalam rumah.
"La... (Alara menghampiri Alaisa). Lo lihat papa gue nggak La. Dari tadi gue nggak lihat papa La. Biasanya papa suka duduk di dekat kolam renang (sambil menunjuk ke arah kolam). Tapi papa nggak ada juga La (seperti orang ling-lung)."
"Ra... (ucap Alaisa lembut). Udah Ra. Lo harus ikhlas Ra. Papa lo udah nggak ada Ra...(sambil mengusap pundak Alara)."
"Lo bicara apa si La! Bentak Alara.
Papa gue masih ada La." (Marah ke Alaisa).
Spontan tangan Alaisa menempel di pipi Alara. "Buka mata lo Ra! Buka! (Ucap Alaisa dengan berteriak supaya Alara sadar). Gue tahu lo pasti kuat Ra. Gue tahu lo pasti bisa hadapin ini semuanya Ra. Gue mohon sama lo Ra. Lo sadar Ra. Sadar! (Sambil mengguncang bahu Alara)."
Seketika air mata Alara mengalir membasahi pipinya, jatuh tak berdaya ke lantai dan menangis histeris sambil berteriak.
Hari itu merupakan hari terburuk dalam hidup Alara. Karena dia tidak pernah membayangkan akan kehilangan orang yang sangat dia sayang pergi meninggalkannya secepat itu.
Alara dan papanya memang sangat dekat karena papanya yang lebih sering di rumah dan perhatian ke Alara ketimbang mamanya. Banyak momen yang dilalui Alara dengan papanya. Tiada hari dilewati Alara tanpa kehadiran papanya.
Peristiwa empat tahun lalu sangat berat bagi Alara. Karena itu Alara tidak mau membuka luka lama yang telah ia kubur sedalam-dalamnya.
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments