Pernahkah kalian merasakan jantung berdetak tanpa aturan? Bukan karena sakit, bukan juga karena habis berlari. Sekarang aku sedang merasakannya. Apa ini yang dinamakan berdebar? Jatuh cinta mungkin. Tapi, aku memang sedang jatuh cinta sih!
Sepertinya rasa ini sudah semakin dalam. Mencintai dalam diam begitu menyakitkan. Mau mengatakan tapi tak mungkin aku ungkapkan. Hanya dalam doa aku berani menyebutkan.
Aku tersadar bahwa Kak Izam telah pergi menjauh sambil mendorong gerobak berisi sampah. Sapu yang dia letakkan di pohon mangga, aku bawa ke gudang pesantren. Setelah itu aku berjalan menuju asramaku.
"Ra, baru selesai bersih-bersihnya?" tanya seorang santriwati.
Mendengar suara orang menyebut namaku, langkahku terhenti dan menjawab pertanyaannya.
"Iya nih, tadi harus nunggu sampahnya diangkut dulu sama santri putra," jawabku.
"Ya sudah, kamu bersih-bersih badan dulu aja, Ra. Setelah itu, kamu pergi ke dapur. Semua makanan udah disiapkan untuk kita semua."
"Terima kasih sudah memberitahu. Aku ke asrama duluan ya." Aku pamit pada santriwati ini, berjalan terus hingga sampai di depan kamarku.
Tampak dari depan, terlihat begitu sepi. Mungkin Syifa sama Maryam lagi makan di dapur. Kubuka pintu kamarku pelan-pelan. Mataku mengelilingi seluruh penjuru kamar. Dan berhenti di satu titik. Gerak-geriknya cukup mencurigakan.
Bukannya itu Maryam? sedang apa dia di dekat mejaku?
"Maryam!" panggilku padanya.
Maryam kaget. Terlihat Maryam sedikit gelisah dan ketakutan. Layaknya maling yang terciduk dengan perbuatannya.
"Eh, I-ira ke-kenapa nggak ke-ketuk pintu dulu." Maryam berkata terbata-bata.
Aku merasa aneh dengan sikapnya. Memang salah yah? Kalau aku masuk ke kamar sendiri tanpa ketuk pintu dulu. Bukannya dia juga seperti itu?
"Maaf, apa kedatanganku membuatmu kaget?" Aku membalas perkataannya dengan santai.
"I-iya." Singkat padat dan jelas Maryam menjawab perkataan ku.
"Apa kamu sedang mencari sesuatu? Aku tak sengaja melihat kamu sedang mondar-mandir di dekat meja belajarku?" tanyaku bertubi-tubi.
"Barang ku ada yang hilang, takutnya aku salah menaruhnya. Dan menaruh di dekat meja belajarmu." Maryam berjalan menjauh dan keluar menutup pintu kamar kami.
Ada apa dengan dia? Kenapa pergi pun tanpa pamit? Itulah yang aku pikirkan. Tanpa berpikir lama, aku segera berbenah diri, membersihkan seluruh badanku. Selesai mandi dan mengenakan pakaian, aku pergi ke dapur.
Sesampainya di dapur, aku melihat Syifa dan Kak Nisya sedang mengobrol. Sementara santri yang lainnya, ada yang makan, mencuci piring dan ada juga yang sekedar berlalu lalang saja.
"Ra, sini duduk!" ajak Kak Nisya.
Aku merasa terpanggil, kemudian berjalan menuju Kak Nisya dan Syifa mengikuti mereka duduk.
"Intan, tolong bawakan nasi, sayur beserta lauknya kesini! Kita makan sama-sama!" perintah Kak Ira pada santriwati bernama Intan.
Intan langsung bergerak cepat membawakan apa yang disuruh Kak Nisya. Kami pun makan bersama. Makan bersama itu terasa lebih nikmat. Meski makanan yang disajikan tidak semewah di restoran. Hanya ada nasi, tumis kangkung, serta ikan asin. Itu sudah cukup untuk kami. Yang terpenting adalah kebersamaan. Mau seenak apapun makanan jika dimakan sendirian akan terasa hambar rasanya.
Selesai makan kami mencuci piring masing-masing. Setelah itu, aku dan Syifa meninggalkan dapur terlebih dahulu. Tiba-tiba Kak Nisya menghentikan jalan kami.
"Kenapa buru-buru? Kalian tega nih ninggalin kakak sendirian?" ujar Kak Nisya.
"Hehe, nggak tega kok kak. Kirain aku tadi Kak Nisya mengikuti kami di belakang," ujar ku.
"Ya sudah mari bareng!" Kak Nisya berjalan bersama denganku dan Syifa.
Di jalan, selalu ada saja topik yang kita bahas. Bersyukur topik yang dibahas bukan tentang diriku yang ketahuan menyukai Kak Izam. Padahal aku sudah was was terlebih dahulu.
Kita bercerita mulai dari pesantren ini, langkah kita ke depan setelah lulus, mau kerja atau melanjutkan sekolah lagi ataupun menikah. Mendengar kata menikah sekujur tubuhku terasa ngilu. Aku bahkan belum terpikirkan sampai ke arah sana. Usiaku saja masih terlalu muda bagiku. Kak Nisya memang jauh lebih tua dari kami, wajar saja ia sudah memikirkan sampai ingin menikah setelah lulus pesantren.
Ingin bertanya namun enggan. Aku takut menyinggung perasaan Kak Nisya. Apalagi jika pertanyaan ku merupakan privasinya. Aku semakin mengurungkan niatku untuk bertanya hubungan Kak Nisya dan Kak Izam. Biarkan waktu yang menjawab dengan sendirinya. Setelah sampai di asrama, kami masuk ke kamar masing-masing.
****
Hari ini adalah hari untuk bersantai. Setelah memasuki kamar aku duduk di meja belajarku. Mencari buku harian ku. Sudah lama aku tak pernah menulis lagi.
Halaman demi halaman telah kubuka, begitu banyak coretan tinta disana. Coretan curahan hatiku yang tak menentu. Terkadang suka maupun duka. Namun lebih banyak suka yang aku torehkan di dalam buku harian ku.
"Ra, rajin banget nulis deh kamu," puji Syifa padaku.
"Aku hanya senang saja, karena dengan menulis semua yang aku rasakan bisa aku keluarkan tanpa harus banyak berbicara," jelas ku.
"Bener sih kamu, Ra. Hanya saja aku tak pandai mengutarakan perasaanku lewat tulisan, hehe." Aku menggelengkan kepalaku seraya mengucapkan "Syifa, Syifa."
"Istirahat aja yuk! Cape nih! Badanku pegel-pegel semua berasa mengarungi beban hidup yang sangat berat." Syifa berucap sambil merentangkan kedua tangannya.
"Ya sudah, kamu duluan saja, aku nanti menyusul."
"Lho kok udah nggak ada suara Syifa lagi?" Aku memutar pandanganku ke arah tempat tidur Syifa. Ternyata dia sudah tidur. Benar bukan apa yang pernah aku katakan? Syifa itu kalau sudah bertemu dengan kasur dan kawan-kawannya akan cepat terlelap. Bahkan aku teriak pun mungkin tidak akan bisa membangunkannya. Hanya dengan sentuhan lah dia bisa terbangun.
Padahal sudah lama aku berada di kamar. Tapi, Maryam sedikitpun belum menampakkan dirinya. Ada rasa curiga bersemayam di hatiku pada Maryam. Aku tepis jauh-jauh prasangka itu. Seketika aku teringat firman Allah dalam Al Quran.
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa." (QS. Al-Hujurat: 12)
"Astaghfirullah, maafkan hamba-Mu ini Ya Allah." Aku ucapkan istighfar atas kecurigaan ku.
Rasa kantuk kini mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Badan terasa lemas. Sayup-sayup mata terasa berat untuk dibuka. Perlahan-lahan aku memejamkan mataku, kepalaku tertunduk jatuh di atas meja belajarku.
*******
Mentari mulai menyembunyikan diri di peraduannya. Terlihat dari arah barat, langit mulai memerah. Pertanda senja datang dan akan berganti malam. Suara-suara hewan di sawah pun mulai terdengar.
Aku terbangun dari tidurku. Melihat sebentar ke arah jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 17.00. Kesadaran ku belum pulih sepenuhnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang hilang. Aku pun teringat.
"ASTAGHFIRULLAH! AKU BELUM ASHAR!" teriakku sambil mondar-mandir kesana kemari seperti orang linglung. Kemudian aku mendekati ranjang milik Syifa dan menepuk-nepuk pipinya.
"Syifa cepat bangun! Udah mau magrib!" Syifa bangun dari tidurnya dengan setengah kesadaran yang ia miliki.
"APA KAMU BILANG MAGHRIB? ASTAGHFIRULLAH AKU BELUM ASHAR! MAAFKAN SYIFA YA ALLAH! Hiks ... hiks ..." Syifa yang awalnya berteriak kini menangis sesenggukan.
"Ayo cepat!" perintahku
Kami berdua pun melaksanakan sholat ashar dengan waktu yang tersisa. Sepertinya besok-besok aku harus membeli jam weker untuk membangunkan ku.
*****
Si Maryam cari barang apa ya? Mencurigakan!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Sani Srimulyani
jangan2 nyari buku harian ira lgi, apa disuruh helen ya.
2022-12-15
0
Tari Gan
pinisirin thooor sama si maryam
2022-10-15
0
Nur Aeni
dari awal aku udah curiga sama maryam deh..ira simpan baik-baik buku harianmu jangan sampai ada yg berniat tdk baik ke kamu
lanjut thor tetap semangat 💪😍
2022-10-10
2