Bulan demi bulan berlalu, sekarang aku sudah bisa menyesuaikan diriku di pesantren ini. Namun, ada hal yang membuat aku sedih. Ada seorang santriwati yang membenciku. Aku tidak tahu, alasan kenapa dia membenciku sampai bisa berbuat jahat padaku. Itu sungguh menyakitkan!
Flashback on
Sepulang dari rumah Abah bersama Kak Nisya ternyata ada seorang wanita memperhatikanku dalam diam. Dia terlihat sangat kesal, tatapannya seolah membuatku takut. Keesokan harinya dia menghampiriku. Aku bahkan tidak kenal siapa dia. Walaupun dia sekelas denganku.
"Heh, santri baru jangan sok kenal deh sama Kak Nisya, bisanya cari perhatian aja!" ucap dia membuatku tersentak. Aku seperti mengenal wajahnya tapi tak mengenal namanya.
"Kamu siapa? Kenapa melarang aku dekat dengan Kak Nisya? Emangnya aku salah kalau dekat dengan Kak Nisya? Bukannya semua orang berhak dekat dengan Kak Nisya?" ucapku membalas bentakan wanita itu.
"Bahkan kita sekelas tapi kamu tidak mengetahui namaku. Aku Helen. Kamu tidak berhak untuk dekat dengan Kak Nisya," ucap Helen dengan tegasnya.
Aku pergi tanpa sepatah kata pun pada Helen. Aku tahu apa yang aku lakukan tidaklah sopan, tapi aku tidak ingin dia terus-terusan berkata dengan amarah seperti itu.
"Kurang ajar, kamu Ira! Tunggu pembalasanku!" ucap Helen yang masih terdengar oleh telingaku.
*****
Sejak saat itu, aku terus diganggu oleh Helen. Mulai dari kursi tempat aku duduk ada bekas permen karet, coretan yang tak pantas di papan tulis, hingga yang paling menyakitkan bagiku. Aku berusaha sabar menghadapi semua cobaan ini. Untung saja aku punya Syifa, dia lah yang selalu membantuku.
"Ra, kamu kok bisa tiap hari dikerjain kaya gini?" tanya Syifa penasaran.
"Hmm, aku juga tidak tahu, sejak saat Helen menemui ku, keesokan harinya selalu ada aja cobaan untukku," jawabku memberi penjelasan.
"Apa!? Helen kamu bilang? Dia memang tidak pernah berubah. Aku juga pernah diperlakukan seperti kamu, Ra. Dulu awal-awal masuk sini. Tapi kamu tenang aja aku akan selalu berada di dekat kamu."
"Makasih Syifa," ucapku seraya memberi pelukan.
Hari-hari pun berlalu dengan semestinya. Hingga pada suatu pagi, terdengar keributan di depan mading. Aku mendekati keributan tersebut. Tapi, semua orang malah membicarakan aku. Katanya aku itu munafik, sok pintar, suka cari perhatian dan lebih parahnya lagi di mading terpampang nyata fotoku ketika tidur yang hanya menggunakan ciput jilbab. Aku menangis tersedu-sedu entah siapa yang tega mengambil fotoku dengan seenaknya.
"Ira, kesini!" perintah Ustadzah Lulu.
Aku menghampiri ustadzah dan mengikuti arah langkahnya. Dia membawaku ke ruang rapat para pengasuh pondok.
"Ira, apa benar foto yang terpajang di mading itu adalah kamu?" tanya Ustadzah Lulu memastikan.
"I-iya ustadzah," jawabku lirih.
"Apa kamu juga yang memasangnya di mading?" tanya Ustadz Alif.
"Bukan ustadz, saya tidak tahu mengapa foto saya ada disana. Ketika saya keluar dari kamar sudah terjadi keributan di depan mading," ucapku menjelaskan dengan tenang.
"Saya yakin, kamu tidak mungkin melakukan itu, Ra. Tapi, karena foto itu juga sudah dilihat oleh santri putra maka dengan sangat terpaksa kamu akan kami hukum di halaman pesantren selama 4 jam sambil membaca surat yang kamu hapal," ucap ustadzah Lulu.
Aku terkejut mendengar pernyataan ustadzah Lulu. Hatiku hancur. Tapi, peraturan tetaplah peraturan aku harus menjalaninya dengan ikhlas. Karena suatu saat akan ada cahaya di balik semua gelap gulita yang kini kurasa.
Selesai di interogasi oleh pengasuh pondok, aku langsung di hukum berdiri di halaman pondok selama 4 jam sambil membaca surat-surat yang aku hapal.
Aku pasti bisa hadapi semua ini.
Semua santri baik putra maupun putri melihat ke arahku dengan tatapan sinis dan tidak suka.
Sabar Ira, kamu pasti bisa menghadapinya, batinku menguatkan.
"Santri baru aja belagu! Huuuuuuuu! Nggak sekalian dibuka aja itu jilbabnya!" teriak salah seorang wanita di antara banyak nya santri.
Entah kenapa ucapan itu membuat aku sedih. Air mataku menetes tanpa henti. "Aku harus kuat," ucapku menyemangati diriku sendiri.
"Ra, aku tau kamu ngga mungkin melakukan itu semua, Kakak percaya sama kamu. Nanti Kakak akan bantu untuk mengungkap siapa di balik semua ini," ucap kak Nisya menyemangati ku.
"Terimakasih Kak, sudah mempercayaiku."
Dari arah timur terlihat seorang laki-laki sedang berjalan ke arah ruang pengasuh. Dia melihatku, tersenyum tipis padaku, seolah memberikan semangat untukku. Tanpa sadar semburat senyum muncul dari bibirku.
Empat jam telat berlalu, usai sudah hukumanku. Aku bersyukur, tadi aku tidak pingsan saat panas matahari menuju puncaknya.
"Ra, nih minum terus ini dimakan yah, wajahmu terlihat pucat sekali," ucap Syifa sambil memberiku sebotol air minum dan beberapa makanan.
"Nanti kita cari sama-sama siapa yang udah berbuat jahat sama kamu, maaf tadi aku tidak bisa membantumu," ucap Syifa kemudian bersedih.
"Terimakasih, tidak apa Syifa aku ikhlas kok menerima ini, anggap saja ini ujian untukku," ucapku agar Syifa tidak bersedih.
"Ira ...," panggil Kak Nisya padaku.
"Keadaan kamu gimana?" tanya Kak Nisya.
"Aku baik-baik saja Kak," jawabku.
"Alhamdulillah, selesai kamu minum dan makan, kamu istirahat aja, hukuman mu tadi pasti menguras semua energi kamu. Apalagi melihat teriknya matahari tadi," ucap Kak Nisya mengkhawatirkan keadaanku.
Aku senang masih ada orang yang perhatian terhadap aku. Aku harus berjuang disini menghadapi cobaan yang kelak mungkin akan datang kembali. Beribu-ribu pertanyaan masih saja berkecamuk dalam pikiranku. Ingin rasanya aku meluapkan semua ini dengan lisanku. Tapi, hatiku berkata lain.
Di malam harinya, aku bersimpuh sambil menengadahkan tangan pada Sang Pencipta seraya berdoa memohon ampunan atas apa yang telah aku perbuat selama ini, mungkin ini adalah cobaan yang Allah berikan supaya aku lebih dekat dengan-Nya. Menceritakan segala keluh kesah ku. Butiran-butiran air jatuh ke pipiku. Aku menangis, ya aku menangis. Kurasakan betapa Allah menyayangi ku. Setelah aku curahkan seluruh jiwa dan raga, aku tertidur di atas sajadah.
******
Keesokan harinya, aku mendapatkan sebuah kabar bahwa seseorang yang sudah menyebarkan fotoku mendapatkan balasan atas apa yang dia perbuat. Betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa Helen lah yang diam-diam masuk ke kamarku dan mengambil fotoku. Padahal, yang aku tahu di pesantren tidak diperbolehkan membawa ponsel. Kalaupun membawa, itu harus dititipkan kepada pengurus pondok.
****
Gimana? Greget nggak di bab ini? 😄
Kalau dari aku sih kurang🙃
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
VARIL GAMING SULENDRA
iya up lagi thoor
2023-04-10
1
Tari Gan
up lagi thooor
2022-10-08
0
Tari Gan
dari jaman jahiliah sampai jaman era sekarang di ponpes maupun di sekolah ada aja manusia yang punya sifat iri dengki
2022-10-08
2