Suasana canggung. Itulah yang aku rasakan saat ini. Meski diantara aku dan Syifa ada Kak Nisya. Tapi Kak Nisya membiarkan aku berjalan berdampingan dengan Syifa. Sedangkan Kak Nisya berjalan di belakang kami. Seperti seorang bodyguard yang menjaga majikannya.
Ketika aku hendak membuka suara, ternyata Syifa pun begitu. Kami membuka suara bersamaan.
"Ra ... "
"Syif ... "
"Kamu dulu aja Syif," ucapku mempersilahkan Syifa berbicara terlebih dahulu.
"Aku minta maaf." Syifa menundukkan kepalanya "harusnya aku nggak gituin kamu tadi, Ra. Aku terbakar api cemburu, padahal Kak Riza pun bukan siapa-siapa aku dan bukan siapa-siapa kamu juga. Sekali lagi aku minta maaf, Ra. Bener kata Kak Nisya jangan jadikan laki-laki sebagai perusak sebuah persahabatan. Aku nggak mau itu terjadi sama kita. Apalagi itu karena keegoisan aku dan kecemburuan aku yang nggak karuan ini. Kamu mau maafin aku kan?" Dengan wajah memelas Syifa menumpahkan isi hatinya dan meminta maaf padaku.
"Sebelum kamu minta maaf, aku udah maafin kamu duluan Syifa. Aku paham apa yang kamu rasain kok. Jangan pernah kaya tadi lagi ya? Aku harap kamu selalu terbuka sama aku. Seperti janji kita dulu di atap gedung pesantren." Aku berbicara sambil tersenyum.
"Makasih ya, Ra." Syifa memelukku. Aku pun membalas pelukannya.
"Cie, cie, udah pada baikan nih!" Ucapan usil Kak Nisya membuat aku dan Syifa tersipu malu. Kami pun melepaskan pelukan satu sama lain.
"Hehe." Hanya dibalas cengiran oleh aku dan Syifa.
"Gitu dong yang akur, biar pas kakak udah ninggalin pesantren ini kalian adem, ayem, tentram gitu." Ucapan asal Kak Nisya ini membuat aku dan Syifa seketika berubah menjadi sedih.
"Lho, kok jadi pada bersedih gini sih? Kan kita niat ke pasar mau senang-senang," ucap Kak Nisya kemudian merangkul aku dan Syifa.
"Kita nggak sedih kok, iya kan, Ra?" ucap Syifa sambil menyipitkan matanya padaku.
"Eh, iya Kak, kita nggak sedih kok, yang penting kakak selalu kasih kabar aja kalo nanti kakak udah lulus dari sini."
"Kalo itu pasti dong adik-adikku tercinta." Kak Nisya memeluk aku dan Syifa bersamaan.
"Kaya Teletubbies aja deh berpelukan," celetuk aku merusak suasana.
"Ih, Ira mah suka gitu deh, merusak suasana. Lagi haru gini juga," ucap Syifa kesel.
"Hahahaha, kalian berdua ini yah, baru aja baikan, udah mau mulai lagi ngambek-ngambekan nya. Udah ah itu bentar lagi kita sampe. Malu lah nanti diliatin orang. Entar dikira kakak lagi tersangkanya. Hahahaha."
*******
Hari ini pasar terlihat sangat ramai oleh pembeli. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kami pun berjalan dengan santainya. Hingga tepat di sebuah toko pakaian muslim kami berhenti dan memasuki toko tersebut.
"Wah, bagus-bagus banget model gamisnya!" Syifa dengan sumringahnya melihat model-model gamis terbaru di toko ini.
"Kamu mau?" tanya Kak Nisya.
"Mau sih Kak, cuman uangnya nggak cukup, hehe."
"Sini kakak beliin aja, itung-itung hadiah dari Kakak buat kamu, Syif."
"Benarkah Kak?" Syifa memastikan Kak Nisya. Hanya dibalas dengan anggukan kepala.
"Kamu juga pilih satu ya, Ra," pinta Kak Nisya padaku.
"Baik Kak, makasih kakakku yang cantik." Aku mencoba menggoda Kak Nisya.
"Nggak usah kamu puji seperti itu, Kakak tau kalau kakak emang cantik. Dari lahir malahan cantiknya. Hahaha," ucap Kak Nisya sambil tertawa.
******
Aku memilih-milih gamis yang ingin aku beli. Melihat satu per satu gamis yang tergantung, berharap ada salah satu yang membuat aku ingin memilikinya. Berhentilah pandangan aku pada sebuah gamis polos, berbahan lembut, dengan hiasan renda yang berada pada ujung tangan. Sebuah gamis sederhana disertai sebuah khimar panjang yang membuat mataku terpaku saat melihatnya. Aku mengambil gamis ini dan memberitahukannya pada Kak Nisya.
"Kak, aku udah nemu apa yang aku cari. Tapi, nanti kalau kemahalan biar aku aja yang beli kak."
"Ets! Nggak bisa. Kan kakak udah bilang tadi, kamu juga pilih. Masalah harga mahal atau tidak itu juga urusan kakak. Kamu cukup menerima apa yang kakak kasih buat kamu. Pakai dan simpan baik-baik pemberian kakak. Kakak nggak menerima penolakan!"
Aku hanya bisa pasrah mendengar ucapan Kak Nisya. Sebenernya aku merasa tidak enak. Jika nanti harga gamis ini terlalu mahal. Namun kak Nisya tidak mau menerima penolakan. Apa boleh buat. Aku akan menjaga ini sesuai amanah Kak Nisya.
"Kak, Syifa juga udah pilih gamis nih. Syifa tunggu di kasir aja ya."
Setelah mendengar suara Syifa, aku dan Kak Nisya menuju kasir. Kak Nisya membayar semua belanjaan. Aku terkejut saat melihat total belanjaan mencapai 600 ribu rupiah. Aku benar-benar tak enak hati dengan Kak Nisya. Walaupun, dia membelikannya ikhlas untuk aku.
Kami keluar dari toko pakaian muslim ini, kemudian pulang ke pesantren. Tak enak berlama-lama di luar pesantren. Apalagi ini sudah mau masuk waktu ashar.
Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di depan gerbang pesantren. Tak sengaja pandanganku mengarah ke laki-laki yang sedang sibuk mengecat tembok yang warnanya sudar pudar. Aku seperti mengenal dia, dari cara dia berpakaian dan dari penutup kepala yang ia gunakan.
"Zam ..., " panggil Kak Nisya pada laki-laki itu. Kemudian dia menoleh dan tersenyum.
"Gimana hasil tesnya? Apakah kamu diterima?" Ucapan Kak Nisya membuat aku penasaran. Tes apa yang telah Kak Izam lakukan. Terus apa yang diterima? Apakah Kak Izam sedang melamar pekerjaan, pendidikan lanjut, atau bahkan mungkin melamar seorang wanita.
"Aku belum tahu pasti, Nis. Pengumumannya satu bulan lagi. Doakan saja semoga aku diterima," ucap Kak Izam pada Kak Nisya.
"Semoga diterima ya, Zam. Kabari aku kalau diterima. Semangat ngecat nya yah, aku ke asrama dulu," ucap Kak Nisya diikuti aku dan Syifa berjalan dibelakangnya. Sementara Kak Izam hanya menatap kepergian kami memasuki area pesantren.
Setelah satu tahun lebih semenjak kejadian itu aku tak pernah bertemu atau melihat kak Izam lagi. Sekalinya bertemu, ada banyak teka-teki baru yang harus aku pecahkan. Kak Izam membuat aku tak pernah berhenti untuk memikirkannya.
Astaghfirullah, Ira. Istighfar, istighfar. Kamu tidak boleh memikirkan seorang laki-laki yang memiliki hubungan dengan wanita lain. Apalagi wanita itu adalah Kak Nisya. Kamu harus jaga perasaan kamu, supaya tidak semakin besar, ucapku dalam hati.
Walaupun terasa sakit di dadaku, saat aku mengucapkan kalau Kak Nisya lah pemilik hati Kak Izam tapi aku berusaha untuk menetralkan perasaan yang tak seharusnya ada. Meski sebenarnya aku tak tahu hubungan apa yang mereka jalin selama ini.
Sesampainya di asrama putri, aku langsung masuk ke dalam kamar, tanpa berucap sepatah kata pun pada Kak Nisya. Mungkin Kak Nisya akan menyadari keanehan aku setelah ini. Aku hanya ingin mendamaikan hatiku dengan guyuran air di kamar mandi. Aku bergegas menutup pintu kamar mandi.
Terdengar samar-samar suara Syifa dan Kak Nisya di depan kamarku. Karena pintu kamarku tidak tertutup dengan sempurna. Aku hanya bisa mendengar kata 'Cinta, Kak Izam, sepupu, dan cemburu'. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku langsung menjalankan ritual mandi ku. Mencoba melupakan pikiran-pikiran yang mungkin akan membuat aku bertambah lebih sakit.
****
Yok ramaikan kolom komentarnya 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Rosmaliza Malik
ira cemburu..
itulah pentingnya komunikasi ra...
tanya terus pd kak nisya supaya enggak penasaran...
2022-11-15
0
Tari Gan
coba di telaah iraa
2022-10-15
0
✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT
ira kamu ga peka🤭😉
2022-10-10
0