Matahari mulai menampakan sinarnya, kala aku sedang mencuci selimut, pakaian dan juga jilbab.
"Wahh, syukurlah hari ini cerah, jemuran ku nanti bisa kering lebih cepat," ucapku sambil mempercepat waktu mencuci ku.
Syifa datang menuju kamar mandi dan mulai memberiku saran. "Ira.., nanti kamu jemur pakaian mu di atap gedung itu iya. Soalnya di belakang asrama putri sudah penuh sama jemuran santri yang lainnya," ucap Syifa sambil menunjuk tempat yang ia sarankan. Aku hanya mengangguk.
Sebelumnya, aku belum pernah menjemur baju di atap gedung itu. Katanya di atap gedung itu, kita bisa melihat asrama putra dan kegiatan apa saja yang mereka lakukan. Aku mempercepat gerakan ku. Akhirnya, aku selesai mencuci semua pakaian, jilbab dan selimutku.
Aku berjalan menuju gedung yang tadi Syifa sarankan. Aku menaiki anak tangga untuk bisa ke atas gedung. Ternyata benar apa yang di katakan santri-santri lain di atap gedung ini aku bisa melihat secara keseluruhan baik itu asrama putra maupun putri.
Tanpa menunggu lama, aku langsung menjemur semua pakaian, selimut dan jilbabku. Angin mulai berhembus, membuat aku merasa nyaman berada di atap gedung ini. Sejenak, aku duduk di atas potongan kayu yang tergeletak disini. Memandang semua keindahan pesantren dari arah yang berbeda.
Terlihat, bentangan sawah yang luas di belakang pesantren ini. Jalanan yang ramai di arah depan sana. Suasana disini begitu alami dan sejuk sampai membuatku tak ingin turun dari atap gedung ini. Silaunya mentari, mulai menerangi wajahku. Artinya matahari sudah mulai meninggi. Aku bergegas turun dari atap gedung ini.
"Syifa ... " Aku memanggil Syifa ingin menceritakan semua yang aku rasakan di atap gedung itu.
"Iya ada apa, Ra?" jawab Syifa.
"Barusan aku jemur baju di atap gedung itu. Asal kamu tau, udaranya sejuk sekali, kita bisa melihat pemandangan indah dari atas sana," ucapku sambil membayangkan aku ada disana lagi.
"Benarkah?" Syifa tak percaya dengan perkataan ku.
"Iya benar. Apakah kamu belum pernah ke atas sana?" tanyaku pada Syifa.
"Eum, aku memang belum pernah ke atas sana," ucap Syifa.
"Lalu mengapa kamu menyarankan aku menjemur disana?" tanyaku penasaran.
"Aku sering melihat santriwati lain suka menjemur di atas sana, kalau tempat jemuran di belakang sudah penuh," ucap Syifa memberikan jawaban.
"Kapan-kapan kalo kita lagi suntuk, kita kesana bareng, menikmati suasana di atas," usul ku pada Syifa. Syifa hanya menganggukkan kepala.
Tiba-tiba Kak Nisya datang menghampiriku. "Ra, Syifa, ayo kita makan, masakannya sudah siap tuh, tinggal di ambil aja di dapur!" ucap Kak Nisya mengajak ku dan Syifa ke dapur.
Aku dan Syifa mengekori kak Nisya di belakang. Kemudian mengambil nasi, sayur dan lauk-pauk yang ada.
"Aww, panas sekali nasinya!" ucap Syifa saat hendak makan kemudian meniup nasi tersebut.
"Etsss! Kalau makan jangan ditiup Syifa," ucap Kak Nisya melarang Syifa.
"Kenapa Kak? Kan makanan ini panas?" ucap Syifa seraya ingin tahu.
"Ada sebuah hadist mengatakan bahwa Rasul SAW melarang hambanya untuk meniup makanan karena itu mengisyaratkan ketergesa-gesaan, kerakusan dan kurang sabar. Lebih baik, kamu menunggunya sampe dingin atau kamu kipas saja."
"Gitu yah Kak, aku baru mendengarnya kak, terima kasih sudah memberitahuku Kak." Syifa kemudian mengipas makanannya dengan kertas.
"Makanya dari itu, kan sekarang sudah tau, jadi di ingat terus iya, amalkan juga, karena semua perbuatan Rasul itu sangatlah indah," ucap Kak Nisya memberitahu. Aku dan Syifa mengangguk.
"Setiap tingkah laku manusia di muka bumi ini ada aturannya. Karena kita memiliki keyakinan yang kita percaya. Begitupun disaat kita makan, ada adab yang harus kita perhatikan supaya makanan yang kita makan menjadi berkah bukan menjadi sia-sia," ucap Kak Nisya melanjutkan perkataannya.
Setelah makanan terasa sudah tak panas lagi, kami pun makan. Tak ada obrolan lagi di antara kami bertiga. Karena salah satu adab makan yaitu ketika makan tidak boleh berbicara. Selesai makan, kami pergi ke kamar masing-masing.
Semua barang tertata dengan rapi di kamarku. Aku menyukainya, karena semua terlihat bersih tanpa ada barang yang tergeletak dimana-mana. Ketika aku masih kecil Ayah selalu mengajarkanku tentang kebersihan. Annadhofatu minal iiman, yang artinya kebersihan itu sebagian dari iman. Maka, iman seseorang itu bisa terlihat dari kebersihan, kerapihannya di kehidupan sehari-hari.
Tak terasa hari mulai sore, aku menaiki atap gedung untuk mengangkat jemuran ku. Satu per satu jemuran aku angkat, tapi ada satu yang hilang entah kemana. Apa mungkin terbawa angin? Entahlah aku tidak tahu. Aku berusaha terus untuk mencarinya. Dari ujung ke ujung, dari barat ke timur, aku tak berhasil menemukannya. Padahal itu adalah kain kesayanganku, hadiah ulang tahun dari Bunda.
Aku mencoba mencari terus menerus. Hingga saat mataku menoleh ke bawah, aku melihatnya tersangkut di sebuah kawat bangunan. Aku mencari sebuah kayu yang panjang untuk mengambil kain kesayanganku itu. Sayangnya, aku tidak bisa menggapainya. Sudah sekitar lima belas menit aku masih berusaha mengambil kain itu, namun hasilnya nihil.
Dengan berat hati aku menuruni tangga membawa pakaian, selimut dan lainnya ke kamar terlebih dahulu. Kemudian aku akan naik ke atap gedung mencoba mengambil kain itu kembali. Saat aku sudah menaiki atap gedung kembali, kain itu sudah tak berada disana. Aku mencoba mencari ke sudut lain, siapa tahu kain itu terbawa angin kembali. Sampai akhirnya ada seorang laki-laki mengagetkan ku.
"Apa ini yang sedang kamu cari?" tanya laki-laki itu padaku.
"Iya Kak, terima kasih sudah mengambilkannya, kain ini sangat berarti bagi saya," ucapku seraya tersenyum.
"Hmm," Ucapan terima kasih ku hanya dibalas deheman oleh laki-laki itu.
"Saya tidak sengaja melihat seorang wanita sedang berjalan kesana kemari dari bawah. Dan saya mengikuti arah pandang mata kamu yang sedang berusaha untuk mengambil jilbab putih ini, makanya saya naik ke atap gedung ini dan mencoba membantu kamu," ucap laki-laki ini sambil menyerahkan jilbab putih.
"Sekali lagi, terima kasih ya Kak. Saya permisi mau balik ke asrama," ucapku tersenyum kemudian pergi menuruni atap gedung.
Tenyata dia membalas senyumku meskipun sangat tipis. Aku melihatnya ketika menuruni tangga. Betapa bahagianya hatiku, menerima senyuman dari kakak itu. Sayangnya sampai saat ini aku masih belum tahu siapa namanya.
****
Laki-laki itu selalu ada saja ketika Ira dalam masalah.
Siapakah laki-laki itu?
Kalau kalian sadar, dari bab-bab sebelumnya Kak Nisya sudah menyebut bagian kecil dari nama laki-laki ini.
Semoga menemukannya.😁
*****
Terimakasih sudah membaca ceritaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Rozekhien☘️
Azam sepupunya nisha.seneng sama Ira dr pertama Ira drg ke pondok
2023-06-19
1
Dyah Oktina
azam ya thor 🤭😁😁
2023-05-21
0
Chu Shoyanie
Zamzam ya kak...🤭😘
2022-10-14
0