Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Sepertinya ada seseorang yang sedang mandi. Aku segera terbangun dan melihat jam dinding. Astaghfirullah, ternyata sudah pukul empat pagi, aku belum sempat melaksanakan sholat tahajud.
"Tok ... tok ... tok ...," bunyi suara pintu yang aku ketuk.
"Syifa, masih lama kah di dalam? Aku ingin berwudhu, aku belum sempat sholat tahajud," ujar ku pada Syifa.
"Sebentar, Ra." Syifa menjawab ucapan ku.
Syifa keluar kamar mandi dengan wajah yang sudah berseri. Harum sabun mandinya begitu terasa. Percikan air dari rambutnya pun jatuh ke lantai.
"Sanah wudhu gih!" Syifa menyuruhku.
Aku segera memasuki kamar mandi. Aku tak ingin waktu sholat tahajud ku hilang karena ini. Karena sholat tahajud ini, memiliki banyak keutamaan salah satunya, doa hamba-Nya akan cepat terkabulkan.
"Malaikat diperintahkan Allah untuk turun ke bumi di waktu sepertiga malam terakhir, lalu Allah berseru, "adakah orang-orang yang memohon (berdoa) pasti akan Ku kabulkan, adakah orang yang meminta, pasti akan Ku berikan dan adakah yang mengharap ampunan, pasti akan Ku ampuni bagiannya sampai tiba waktu subuh."
Itulah keutamaan yang aku ingat.
Selesai berwudhu aku langsung sholat tahajud dan di akhiri dengan sholat witir.
"Jadikan shalatmu yang paling akhir di waktu malam berupa shalat witir,” (HR Bukhari Muslim)."
Selesai sholat witir, aku bergegas pergi ke masjid. Karena waktu subuh akan segera tiba. Tak lupa aku membawa Al Quran sebagai sahabat yang nantinya akan menolongku di akhirat.
Di tengah perjalanan langkahku terhenti. Ketika ada seorang perempuan memanggilku.
"Ra, tungguin kakak dong." Ternyata Kak Nisya yang memanggilku.
"Iya Kak, Ira tungguin nih," ucapku seraya menunggu Kak Nisya berjalan mendekatiku.
"Tumben kamu buru-buru banget, Ra. Biasanya kan, kakak dulu yang datang ke masjid," ucap Kak Nisya keheranan.
"Hehe, aku mau memperbaiki sifat buruk ku itu Kak," jawabku.
"Baguslah, kalau kamu sudah menyadarinya." Kak Nisya akhirnya lega aku telah menyadari kebiasaan buruk ku.
Kami berdua berjalan bersampingan. Mataku terus melirik kanan dan kiri. Aku merasa seperti ada orang yang mengawasi ku. Atau mungkin? Itu hanya firasat ku saja. Dengan langkah cepat akhirnya aku sampai di dalam masjid.
Adzan telah berkumandang. Tak lupa aku selalu memanjatkan doa. Aku laksanakan sholat 2 rakaat sebelum subuh. Iqamah kemudian terdengar. Para santri merapatkan barisan supaya tidak ada celah, dimana setan bisa mengganggu kekhusyuan sholat.
Selesai sholat subuh, kegiatan rutin yang dilakukan ialah menghafal Al Quran dan muroja'ah surat yang telah dihafalkan serta tahsin. Kami dibagi menjadi beberapa grup tahsin untuk mempermudah belajar. Aku dimentori langsung oleh Ustadzah Lulu.
Setelah kegiatan selesai, para santri kembali ke asrama masing-masing. Waktu di pagi hari sangatlah santai. Sehingga aku bisa mencuci pakaian ku terlebih dahulu.
Ternyata bukan aku saja yang mencuci pagi ini, ada Kak Nisya juga. Aku membayangkan dimana busa-busa dari sabun ini berterbangan. Kemudian aku raih seperti sedang memetik anggur. Sungguh imajinasi yang aneh!
"Ra, kamu mencuci juga ternyata." Ucapan Kak Nisya membuyarkan lamunanku.
"Eh, hehe, iya Kak, mumpung masih pagi, daripada aku tiduran terus di kamar. Pegel-pegel semua badan aku Kak," ucapku menjelaskan.
"Haha, bener juga sih ucapan kamu, Ra. Kakak juga pegel kalo tiduran terus mah." Kak Nisya menyetujui ucapan ku.
"Kak, nanti kita jemur di atap gedung itu ya, pasti udara di pagi ini sangat sejuk," ajak ku pada Kak Nisya. Ia hanya mengangguk tanda setuju.
Tak perlu menunggu lama, aku dan kak Nisya telah selesai mencuci. Kami berjalan menaiki tangga. Dan sampailah di atap gedung.
"Benar kata kamu, Ra. Disini sejuk sekali." Kak Nisya menyetujui perkataan ku tadi.
"Iya dong, Kak. Aku kan pernah kesini juga sekali, hehe." timpal ku lagi.
Lalu kami sibuk menjemur pakaian masing-masing. Tanpa sadar, ternyata ada seorang laki-laki sedang berada di atas. Dia sedang membetulkan tali jemuran dan juga penyanggah jemuran tersebut.
"Izam, rajin sekali kamu pagi-pagi sudah membetulkan penyanggah dan tali jemuran itu." Kak Nisya memulai pembicaraan dengan Kak Izam.
"Kamu ini, suka sekali memujiku. Nanti kalau aku besar kepala bagaimana? Kamu bisa bertanggungjawab? Jawabannya tidak bukan." Ucapan Kak Izam membuatku terhenyak sejenak.
Aku merasa sedikit aneh dengan perasaanku. Terasa panas tapi ini masih di pagi hari, udara masih sejuk. Mentari pun belum memunculkan sinarnya. Ah, mengapa aku selalu berada di antara mereka berdua. Sungguh menyebalkan!
"Jangan biarkan adik kelas mu melamun seperti itu, takut ada sesuatu yang masuk padanya." Ucapan Kak Izam membuat ku tersadar dari lamunanku.
"Baiklah, terima kasih sudah mengingatkan. Aku titip salam untuk bunda mu. Jika beliau sudah mengabari mu nanti. Ucapkan salam rindu dariku." Ucapan Kak Nisya kembali membuat aku semakin penasaran.
Mengapa teka-teki hubungan di antara mereka berdua cukup sulit aku pecahkan? Aku hanya bisa pasrah kepada-Mu.
"Baik, nanti akan aku sampaikan salam dari mu. Aku pergi dulu, karena tugasku sudah selesai." Kak Izam pergi menuruni tangga.
Aku dan Kak Nisya pun selesai menjemur baju. Kemudian menuruni tangga dengan hati-hati.
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh. Kelas pagi ini, membahas tentang akhlak. Santi putra dan santri putri di gabung dalam satu ruangan hanya di pisah dengan sebuah papan pembatas. Namun, itu tak akan mengurangi seseorang dalam menyerap ilmu.
Terkadang ada santri putri yang mendapat surat dari santri putra yang diserahkan melalui pembatas tersebut. Karena hanyalah di kelas akhlak inilah para santri bisa dengan seenaknya memberi surat ataupun berbalas-balasan surat. Bahkan, ada yang menulis surat di buku, seperti mereka sedang meminjamkan pr, dan kemudian di balas lagi di buku tersebut.
Awalnya aku menganggap itu aneh, tapi lama kelamaan aku sudah terbiasa dengan hal seperti itu. Dengan kata lain, mereka seperti punya pasangan masing-masing. Tapi tidak denganku.
Namun, kurang lebih tiga bulan, aku pun mendapatkan sebuah surat. Bingung? Itulah yang aku rasakan. Siapa yang memberiku surat seperti ini? Aku sama sekali tidak mengenal santri laki-laki selain Kak Izam. Ingin rasanya aku memberikan surat ini kepada orang lain. Tapi, semuanya menolak, karena surat itu tertuju untukku.
Aku bawa surat itu ke dalam kamar ku. Ketika hendak aku buka ada saja halangan yang terjadi. Mulai dari, aku menemani Syifa belanja kebutuhan sehari-hari, membantu Kak Nisya memasak di dapur, hingga kesibukan ku yang lainnya.
Surat ini sudah berada di tanganku selama tiga hari. Namun, tak pernah sekalipun aku membuka ataupun membacanya. Kini tibalah saat dimana aku mulai penasaran siapa gerangan yang memberi aku surat ini.
Aku buka perlahan lipatan surat ini. Dan akhirnya aku tahu siapa yang mengirim surat ini. Aku terus berpikir, aku tak pernah sekalipun mendengar namanya. Siapa laki-laki ini? Aku terus saja mencoba mengingat.
****
Siapakah yang memberi surat itu untuk Ira?
Apakah firasat Ira benar? Ada orang mengawasi Ira diam-diam saat hendak ke masjid?
Ada hubungan apa sih Izam dan Nisya?
Lalu isi dari surat yang dikirim dari seseorang yang tak dikenal itu apa?
Tunggu part selanjutnya..
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Rni Larasati
izam kali yee...
2022-11-26
0
Saripah Iva
surat dari pengagum rahasia😁😁
2022-10-14
0
✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT
surat cinta ala anak pesantren
2022-10-09
0