Ketemu Tiba-Tiba

“Hm...” gumam Ruby saat mereka selesai membayar semuanya dan sedang berjalan dengan keranjang belanja menuju mobil di parkiran. Randy mendorong troli, Romeo anteng memakan es krim coklatnya, dan Ruby memeriksa struk belanja. “Belanja bulanan kita kalau lengkap begini sekitar satu jutaan untuk isi kulkas, kebutuhan mandi, londri dan bersih-bersih, belum termasuk sayuran dan bumbu dapur,”

“Kamu nggak beli make up?”tanya Randy.

“Punyaku beli di dokter khusus, nggak pake barang dari supermarket,”

“Ada budgetnya?”

“Saat ini nggak ada,”

“Kapan adanya?”

“Tunggu duit endorse dari Meo,”

“Meong!” kilah Romeo dari  arah belakang.

Randy mencibir mendengarnya. “Besok kamu mulai masuk kantor, kamu bisa beli sendiri,”

“Berapa gajiku?”

“Standar,”

“Dua digit nggak?”

“Kamu karyawan baru dan hanya seorang sekretaris, sudah tentu nggak dua digit di setahun pertama,”

“Berapa kali UMR?”

“Dua kali,”

“Kenapa hanya segitu?”

“Kamu melamar pakai ijazah SMA,”

“Ya kan sekalian ambil kuliah lewat online,”

“Tetap saja tidak bisa lebih tinggi,”

“Om Randy,” cetus Romeo, “Memangnya bisa hubungan keluarga satu kantor,”

“Di kantorku bisa kalau suami istri asalkan asuransi dijadikan satu,” jawab Randy.

“Tapi kan Om dan Kak Ruby belum jadi suami-istri,”

Randy dan Ruby jalan sambil diam, mereka berpikir kenapa ada kata ‘belum’.

“Statusnya Mama dan anak tiri loh,” tambah Romeo. “Nepotismenya ketahuan banget, kalau ada auditor apa nggak jadi masalah tuh?”

Randy melirik Ruby, dan Ruby melirik Romeo. “Sial...” desis mereka membenarkan argumen Romeo. Kenapa hal se-sepele ini tidak terpikirkan di awal?! Sesal mereka.

Sambil berpikir mereka berjalan beriringan ke arah mobil mereka, memikirkan bagaimana caranya agar Ruby bisa dengan mudah diterima bekerja dan berpenghasilan tetap setiap bulan.

Dan saat itulah...

Dari arah tikungan, muncul pasangan yang hampir saja bertabrakan dengan troli yang mereka bawa.

“Eit!” Randy mencegah Ruby melangkah dengan meraih pinggang wanita itu. Sementara pasangan di depan mereka mengeratkan pelukan agar terhindar dari troli Randy.

Tapi pria itu terpaku menatap ke arah depan saat menyadari siapa pasangan di depan mereka.

Pun, dua orang di depan mereka membeku saat melihat Randy dan Ruby.

“Victoria, Alan, Kebetulan banget ya...” sapa Randy sinis.

“P-p-Pak Randy,” gagap Alan.

“Randy! Heiiii, apa kabar? Lama banget ya kita nggak ketemu sejak kamu kabur ke Amsterdam!” sapa Victoria dengan lugas, entah itu beneran senang atau hanya basa-basi. Yang jelas, Victoria dan Randy memang saling menghindar kalau di kantor.

Ruby hanya diam sambil memperhatikan mereka bertiga,

Sementara Romeo menjauh.

Bukan menjauh karena ingin terhindar dari masalah, tapi karena mengepas angle agar semua orang tergambar di satu scene shoot video.

“Moment bersejarah, recording on!” desisnya sambil menekan tombol play.

Dia sudah tidak ingat ada di mana eskrim coklatnya.

“Apa yang kamu lakukan dengan saham ibuku?” ketus Randy langsung. Memang bukan obrolan yang normal, apalagi mereka di tempat umum. Namun entah bagaimana ia tidak tahan lagi menanyakan hal yang sudah lama dipendam. Sekian lama ia menghindari Victoria, termasuk di kantor, adalah karena ini.

Kelemahan Randy di depan Victoria, adalah sifat merajuknya.

“Duh, Randy, nggak berubah ya kamu,” Victoria mengibaskan tangannya mengejek Randy, “Masih saja cengeng. Keliatan banget serakahnya deh. Memangnya kamu sanggup mengurusi porsi ibumu sendirian? Kamu masih level bawah, jadi belum sanggup untuk mengoptimalkan investasi,”

Padahal sebenarnya dalam hati Randy, ia sudah tidak peduli lagi dengan semua porsi perusahaan. Karena ia tahu dananya bukan berasal dari jalan yang lurus.

Tapi saat melihat Victoria, Randy tidak bisa menguasai dirinya untuk tampak berwibawa. Selalu saja ia memperlihatkan kelemahannya.

“Aku bekerja di kantor cabang Los Angeles dan membawa mereka profit triliunan. Bagaimana kamu bisa bilang aku belum sanggup untuk mengoptimalkan investasi?! Nggak salah sasaran?!”

Ruby langsung melirik Randy. Ia jadi tahu kenapa Victoria meninggalkan Randy dan lebih memilih Alan. Di depannya, Randy jadi memiliki sifat yang berbeda, sangat kekanak-kanakan. Tanpa wibawa dan seakan selalu menyombongkan prestasinya.

Kelemahan yang sangat fatal.

Orang dengan sifat wanita alfa seperti Victoria lebih menyukai pria yang seakan cuek, tidak butuh, mandiri, namun sebenarnya perhatian.

Ruby melirik Alan dan mengamatinya dari atas ke bawah.

Tampan, dengan tubuh proporsional dan wajah serius. Memandang Victoria dengan lembut, dan memandang Randy dengan rasa hormat. Namun saat melihat Ruby, ia memfokuskan pandangan ke penampilan wanita itu. Tampak sedikit terkejut dan terkesima. Sekali lagi, penampilan Ruby saat ini sangat berbeda dengan sehari-hari saat Pak Raymond masih hidup. Saat ini Ruby bersikap apa adanya.

Seksi, glamor, dan menantang pastinya.

Sekali melihatnya saja, para pria sudah tahu kalau wanita ini superior dan menyukai permainan nakal di atas ranjang.

Dan sangat terlihat kalau Alan tertantang untuk bergerak lebih jauh. Mungkin karena ia sudah bosan dengan Victoria yang tingkahnya seringkali genit-genit nggak jelas.

Ia sering melihat Alan karena pria itu dan Wahyu sering mondar-mandir menemui Pak Raymond saat beliau masih hidup. Alan dan Wahyu adalah asisten khusus yang bisa dibilang mengurusi hampir semuanya. Namun tidak ada yang tahu kalau Alan selama ini menjalin hubungan dengan Victoria.

Jadi bisa dibilang, saat ini Ruby dan Randy sedang menghadapi ‘penyusup’.

“Randy, siapa pun tahu perusahan yang kamu jalankan itu adalah Kantor Cabang, tetap saja profit yang kamu hasilkan bukanlah kinerja kamu yang sesungguhnya. Semua yang kamu jalani berdasarkan persetujuan manajemen pusat, yaitu KAMI. Pemegang kantor pusat di Jakarta. Jadi tolong berhenti kekanak-kanakan,” sahut Victoria menuding Randy.

Melihat itu Ruby entah kenapa ingin sekali membantu Randy.

Karena ia tahu perjuangan pria itu untuk membesarkan perusahaan milik Papanya.

“Mohon maaf ya Mbak Victoria, saya boleh tambahkan sedikit?” Ruby maju dan menghadap Victoria.

Perbedaan tinggi mereka membuat Victoria mendongak saat menatap mata Ruby.

“Eum... kamu istrinya Pak Raymond kan ya?” Victoria menyeringai sinis.

“Iya, saya istri mudanya, pengeruk hartanya, dan sudah pasti ada maunya saat mengIYAkan untuk jadi istrinya. Dan ya kamu tidak salah lihat saya sedang belanja dengan anaknya almarhum suami saya, yang dilihat secara kasat mata lebih pantas jadi suami saya dan ada percikan aneh di antara kami,” sahut Ruby memberondong semua pertanyaan terpendam Victoria.

Sampai-sampai Alan berdehem menahan tawa mendengarnya.

“Tapi kalau saya turun ranjang, apakah itu menyalahi peraturan?” Ruby menoleh ke arah Alan, pandangannya meminta pendapat pria itu.

Alan agak gugup saat dimintai pendapat, “Yaaa tidak sih Bu. Lagi pula itu urusan kalian,”

“Betul,” Ruby kini kembali menoleh ke Victoria. “Mbak Victoria, sebagai Direktur, kamu bekerja berdasarkan pertimbangan. Dan pasti tahu, saat manajemen memutuskan untuk menyetujui suatu usulan dari karyawan, pasti usulan itu dianggap baik dalam memajukan perusahaan. Benar tidak?”

Victoria diam saja.

Alan menjawab dengan lirih, “Benar, Bu,”

“Jadi saat Randy di ujung belahan dunia sana mengajukan usulan dan disetujui manajemen, itu berarti kita bisa kategorikan kalau sebagai karyawan, Randy itu berkategori profit oriented. Benar?”

“Iya Bu,” jawab Alan lagi.

Victoria sampai menyenggol lengan Alan menyuruhnya diam.

“Jadi, sudah tidak ada lagi kalimat kalau keberhasilan Randy mengolah perusahaan tergantung dari majamemen ya? Randy mampu, karena dia memang bisa. Oke?” tekan Ruby.

“Emmm aku harus jawab nih? Karena buat apa aku jawab?” dengus Victoria.

“Kamu harus jawab karena mengakui kemenangan lawan itu sikap sportif. Kalau kamu tidak jawab, saya bisa simpulkan kalau jabatan kamu itu hanya mengekor orang tuamu saja tanpa kapabilitas apa pun,” ketus Ruby.

Kalimat itu membuat Victoria memekik. Itu jelas sebuah hinaan yang sangat elegan dari Ruby. Apalagi hal itu membawa nama baiknya di perusahaan.

“Mas Alan,” Ruby dengan anggun menatap Alan yang berdiri terpukau menatapnya, “Mulai Senin saya akan jadi partner kamu. Sesuai dengan aturan perusahaan, saat ini status saya hanya orang lain karena hubungan saya dengan Pak Raymond berdasarkan kontrak kerja dan gugur saat beliau meninggal. Jadi saya tidak menyalahi peraturan apa pun kalau bekerja di sana, betul kan?”

“Eeeeh, saya harus baca lagi SOPnya,” gumam Alan. Jelas yang seperti itu haruslah bagian manajemen yang mengambil keputusan. Yaitu para pemegang saham utama. Dan bisa dibilang... ada dua shareholder inti di sini, yaitu Randy dan Victoria.

“Rekomendasi saya,” gumam Randy.

“Aku nggak setuju,” ketus Victoria.

“Kamu harus tarik setidaknya 2 orang yang menyatakan tidak setuju baru bisa menyamai pendapat Pak Randy,” lirih Alan, karena porsi saham yang dimiliki Randy terlalu besar untuk dilawan.

“Kamu berpihak ke siapa sih?!” gerutu Victoria.

“Aku netral,” desis Alan. “Tapi kita memang lagi butuh sekretaris tambahan, sih,”

“Sayang!” seru Victoria Gemas.

“Ruby akan bekerja di bawahku, jadi kamu tidak bisa ikut campur. Jelas, Vicky?” sahut Randy.

“Kalau begitu aku minta Alan dipindah ke divisiku,” sahut Victoria menantang.

“Yang ada kalian pacaran terus, nggak kerja,” dengus Randy.

“Saya juga akan menolak, kok,” desis Alan pelan.

“Kamu nih...” saking kesalnya Victoria sampai tidak bisa berkata-kata.

“Bukan maksudku merendahkan kamu. Tapi kalau aku kerja di bawah kamu kita akan mengalami konflik kepentingan. Kamu mau asuransi dan tunjangan rumah kita dikurangi jadi cuma 1?”

“Ergh!” geram Victoria.

“Dan bonus di tempat Pak Randy lebih besar dari pada di divisi kamu,” desis Alan.

Randy hanya mencibir mendengarnya.

“Kenapa sih kita nggak saling bekerjasama saja? Kan semua untuk kepentingan perusahaan?!” tutur Ruby sambil tersenyum manis. Sangat manis bahkan sehingga terkesan manipulatif. “Biarkan kami bekerja dengan nyaman, dan kamu akan mendapatkan devidenmu setiap tahunnya dengan nilai cukup,” kata Ruby ke Victoria.

“Oke, tapi kalau tahun ini Devidenku nggak cukup, kamu keluar dari perusahaan!” tukas Victoria sambil menarik Alan dan pergi dari sana.

“Jangan lupa Senin pagi meeting dengan Jade Construction pakai dasi warna hijau yang kemarin saya belikan ya pak!” sempat-sempatnya Alan berkata begitu ke Randy padahal dia sudah jauh di ujung sana.

“Kenapa sih meeting dengan Jade Construction harus pakai dasi warna hijau?” Randy mengernyit.

“Ya karena namanya saja sudah Jade. Kan warna batu zamrud. Biar matching aja,” jawab Ruby.

“Ah iya benar juga,”

“Hm, lo bener sih soal Alan,”

“Apa?”

“Dia kompeten. Cocok mengimbangi sifat suka ngasalnya elo,” kekeh Ruby dengan mata berkilat.

“Sialan si alan...” gerutu Randy sambil kembali menorong troli belanja ke arah mobil, “Meong! Udah selesai belom syutingnya? Ngonten teroooooosss!”

“Meong meong meong meooong!” Timpal Romeo di ujung sana sambil bergaya ala kucing penyambut di toko Mas.

Terpopuler

Comments

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

Wah wah👏

2024-07-05

0

Naftali Hanania

Naftali Hanania

wahahahahahaaa....🤣🤣🤣🤣😂😂😂

2024-06-06

0

Kustri

Kustri

kocak

2024-05-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!