Ku jalani hari-hariku dengan biasa saja meskipun terasa berat. Bahkan beberapa hari kesehatanku juga ikut menurun. Mungkin karena aku terlalu kelelahan dan kurang beristirahat.
Aku yang merasa tidak enak tinggal di rumahnya Pak Aji memilih untuk mencari kontrakan sendiri. Aku takut hanya akan menjadi beban untuk keluarganya. Meskipun sempat dilarang oleh Bu Endang, tetapi tak memudarkan keinginanku. Bisa bekerja bersamanya saja aku sudah merasa bersyukur.
Sudah dua hari ini aku tidak enak badan. Tubuh terasa lemas karena tak ada satupun nasi yang bisa masuk kedalam perutku. Setiap aku makan, selalu saja keluar lagi.
Hari ini terpaksa aku meminta izin lagi karena aku tubuhku lemah tak berdaya, terlebih aku sering muntah-muntah tak jelas.
Kini air mataku menetes dengan sendirinya. Sesakit inikah rasanya hidup sebatang kara, tak punya siapa-siapa saat sedang ingin dibutuhkan. Saat ini aku hanya ingin sebuah baju yang bisa tempat sandaranku.
Sebuah ketukan pintu membuatku langsung menghapus jejak air mata. Aku penasaran siapa yang bertamu, sedangkan tak ada kenalanku disini. Tidak mungkin jika itu pak Aji ataupun Bu Endang. Karena saat ini mereka sama-sama sedang bekerja.
"Cari siapa?" tanyaku saat kubuka pintunya.
Sosok itu segera membalikkan tubuhnya. aku ternganga dengan sosok mas Kanna yang sudah berada di depanku.
"Mas Kanna," ucapku pelan.
"Maaf jika kedatanganku membuatmu terkejut. Aku tahu kamu tinggal di sini dari Bu Endang. Katanya kamu sakit. Sudah berobat?"
"Aku gak papa kok, Mas. Rencananya nanti siang baru mau berobat. Mas Kanna ngapain kesini?"
Aku merasa canggung. Rasanya tidak enak jika harus berbicara di luar. Namun, aku juga sangat takut untuk menyuruhnya masuk karena aku hanya tinggal seorang diri. Aku takut setelah ini ada yang memfitnah aku.
"Kamu nggak ingin menyuruhku untuk masuk dulu. Gak enak dilihat tetangga," ujarnya.
"Tapi aku takut Mas. Aku hanya tinggal sendirian. Nanti kalau ada yang memfitnah kita bagaimana?"
"Kamu tenang saja, daerah sini tidak sama dengan keadaan di tempat kita. Disini tidak akan ada yang peduli kita mau apa dengan siapa. Percayalah ini di kota, Ra."
Aku pun segera menyuruh mas Kanna untuk masuk. Pria yang pernah menjadi kakak kelasku ini, memang terkenal ramah dan care kepada semua orang, sama seperti ibunya.
Tak ku sangka mas Kanna mengeluarkan buah-buahan segar dari dalam tasnya. Mataku membuat dan lebar sambil menelan ludahku dengan kasar. Sepertinya mas Kanna tahu apa yang sedang aku inginkan.
"Ini aku bawakan buah. Aku gak tahu apa yang kamu sukai. Hanya saja aku pernah melihat saat menjenguk orang sakit mereka membawakan buah," ujarnya.
Aku tersenyum canggung. "Makasih ya, Mas. udah repot-repot. Aku gak papa kok. Mungkin cuma kurang istirahat aja."
Aku tidak tahu ada maksud apa mas Kanna menjengukku. Padahal selama ini kami tak bertegur sapa dan saat tiba-tiba dia memberikan perhatian lebih padaku. Bagaimana aku tidak merasa menaruh rasa curiga padanya, terlebih saat ini hatiku yang masih terluka.
"Ra, sebenarnya ada yang ingin aku katakan kepadamu. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kamu dengan keluargamu, tetapi aku sempat mendengar jika saat ini ibumu sudah pergi ke luar kota bersama dengan ayah tirimu. Aku tidak tahu dengan pendengaran ku apakah benar atau tidak. Bahkan aku juga mendengar jika kedua adikmu ditinggalkan oleh ibumu. Kedatanganku tak lain hanya ingin memberitahumu masalah ini. Saat itu aku pernah mendatangi rumah suamimu. Tapi saat aku bertanya kepada asisten rumah tangganya dia mengatakan jika suamimu sedang tidak ada di rumah. Aku takut jika kedatanganku hanya akan menimbulkan fitnah, makanya aku tidak jadi memberitahukan masalah ini padamu. Apakah sekarang kamu juga sedang mempunyai masalah dengan suamimu?"
Penjelasan panjang lebar dari maskana membuatku sangat terkejut. Aku masih tidak percaya dengan berita yang disampaikan olehnya. Bagaimana mungkin Ibu tega meninggalkan kedua adikku begitu saja.
"Mas Kanna dengar dari siapa berita ini?" tanyaku sedikit ragu.
"Kabar Ini sudah menyebar luas di kompleks, Ra. Bahkan ayahku juga sudah mencari keberadaan kedua adikmu, tetapi belum ditemukan."
Hatiku bagai tersambar petir. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran ibuku yang begitu rela meninggalkan kedua anaknya, yang saat ini pun entah gimana keberadaannya. Luka hatiku belum terobati kini harus ditambah lagi dengan luka yang sangat. Aku rela jika Ibu memperlakukanku dengan tidak baik,tetapi aku tidak rela jika itu terjadi kepada kedua adikku, meskipun itu bukan darah daging dari ayahku.
"Mas Kanna bisa bantu aku untuk mencari mereka?" tanya aku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perjuangan kedua adikku untuk tetap bertahan hidup di luar sana.
Segera ku tarik tangan mas Kanna untuk segera mencari kedua adikku. Saat ini aku hanya ingin segera bertemu dengan kedua adikku. Bahkan aku tidak peduli dengan jadwal kuliahnya mas Kanna. Siapa suruh dia membawakan berita menyakitkan ini padaku.
Saat hendak naik ke motor besarnya mas Kanna, aku terkejut dengan tangannya yang telah memakaikan helm ke kepala aku.
"Lho inikan helm untuk mas Kanna," ujar ku
"Udah, pakai aja. Nanti kita mampir di tokonya."
Sepanjang perjalanan pikiranku tidak tenang. Bayangan kedua adikku memenuhi isi kepalaku. Aku berharap saat ini keadaan mereka baik-baik saja.
"Mas Kanna, berhenti sebentar, Mas." Ku tepuk bahu mas Kanna dengan pelan.
"Ada apa, Ra," teriak mas Kanna yang belum memberhentikan motornya.
"Aku mau muntah, Mas," ujar ku.
Mas Kanna pun segera menepikan motornya ke pinggiran jalan. Sungguh aku sudah tidak tahan lagi untuk menahan gejolak di dalam perutku. Meskipun aku telah mengeluarkan rasa yang bergejolak dalam perutku, tetapi tidak ada yang keluar. Ku lihat mas Kanna panik saat melihatku sedang muntah-muntah.
"Ra kamu kenapa? Kita ke rumah sakit sebentar ya."
Ku gelangkan kepalaku dengan pelan. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba kepalaku juga terasa pusing. Bahkan perutku pun terus mual.
"Gak udah, Mas. Kita cari Aqua dulu ya," pintaku dengan lemas. Mas Kanna berusaha memapah ku untuk naik kembali ke atas motornya.
"Yakin kau masih kuat?"
"Masih."
Motor mas Kanna berhenti di sebuah supermarket. Aku yang masih merasa mual, memilih untuk menunggunya di luar. Ku tunggu Mas Kanna di sebelah bangku yang disediakan oleh pihak supermarket.
Ku rasa ini adalah titik terendah untukku. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis untuk meratapi setiap kejadian yang telah terjadi kepadaku.
"Ara." Suara panggilan membuatku mendongak untuk melihat siapa orang yang telah memanggil. Dadaku bergemuruh dengan kuat, bahkan tubuhku ikut bergemetar saat melihat siapa yang telah memanggilku.
.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Surati
mungkinkah Ara hamil???
2023-02-04
0
ipit
kayak nya kamu hamil ara.....
2022-10-21
1
Lisa Wulandari
pasti itu mas alzam
2022-10-16
1