Kulihat mas Alzam tak seperti biasanya sejak tadi malam. Sepulang dari kantor dia langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ingin ku tegur tetapi suara dengkuran mas Alzam sudah terdengar. Ku hembuskan napas beratku lalu ku benahi posisi tidurnya.
"Mas gak mandi dulu? Aku siapkan air hangat ya," kataku pelan, tapi tak ada respon dari mas Alzam. Namun, saat tanganku menyentuh kulitnya aku membulatkan mata. Untuk meyakinkan diri, ku sentuh dahi mas Alzam.
"Astagfirullah, Mas!" pekik ku dengan terkejut. Ternyata suhu tubuhnya tinggi.
Segera ku carikan Paracetamol untuk menurunkan demamnya. Berharap setelah ini suhu tubuhnya bisa normal kembali. Tak sampai disitu, aku juga menggompres dahinya.
Sepanjang malam aku tak bisa tidur dengan lelap. Sesekali aku terbangun untuk mengecek keadaan mas Alzam.
***
Saat pagi telah menyapa, aku langsung menyibakkan selimut. Pertama yang aku lakukan adalah mengecek kembali suhu tubuhnya mas Alzam sambil mengambil kain yang masih menempel di dahinya. Aku merasa lega ternyata demamnya sudah hilang. Meskipun begitu, aku melihat keringat jagung bercucuran di tubuh mas Alzam. Aku tidak tahu mimpi apa yang sedang singgah sehingga membuat mas Alzam sampai mengeluarkan keringat jagungnya. Baru saja ku usap, mas Alzam berteriak.
"Jangan!"
Aku terkejut saat mas Alzam langsung terduduk dengan deru napas yang memburu.
"Apa apa, Mas?" tanyaku.
Mas Alzam masih mengumpulkan kesadaran, tanpa ingin menjawab pertanyaanku.
"Minum dulu," ujar ku sambil menyerahkan air putih padanya.
Tak ada jawaban, tetapi mas Alzam mengambil gelas itu dari tanganku.
"Mas Alzam mimpi buruk?" tanyaku lagi.
"Pukul berapa sekarang?"
Ku lihat jam yang tertera di ponselku lalu ku jawab, "Setengah enam, Mas."
Mas Alzam terlihat panik dan langsung menyibakkan selimut. Langkahnya segera masuk ke kamar mandi meskipun masih sedikit oyong. Lagi-lagi aku hanya bisa menatap punggung suami hingga tak terlihat lagi.
"Apakah kamu tetap ingin memaksakan diri untuk pergi, Mas?" lirih ku dengan pelan.
Hari ini adalah hari dimana Mas Alzam dan juga Aira akan pergi ke Bandung. Meskipun aku berharap jika mereka tidak jadi pergi, tetapi siapa yang mampu untuk mencegah keputusan mas Alzam.
Selama berada di kamar mandi, ponsel Mas Alzam terus aja berdering. Sebuah panggilan dari Aira tanpa henti. Aku yakin jika perempuan itu sedang menantikan jemputan dari suamiku. Tak ingin membuat dadaku terasa sesak, aku memutuskan untuk keluar dari kamar.
"Mbok Inah masak apa?" Ku hampiri sosok yang sedang menyiapkan sarapan di dapur.
"Biasa Non, sayur asam sama tempe goreng," jawab mbok Inah sambil menatapku dengan senyuman.
"Apakah sesuatu telah terjadi?" tanya mbok Inah saat melihat wajahku yang sangat aku tekuk.
"Tidak ada, Mbok. Aku hanya kurang tidur saja karena semalaman aku menunggu mas Alzam yang sedang demam," jawab ku pelan.
"Den Al, demam?" tanya Mbok Inah terkejut.
"Tapi udah normal lagi kok," jawabku
"Oh, syukurlah kalau begitu. Apakah den Al tidak mengigau?" tanya mbok Inah dengan serius.
Ku gelengan kepala karena memang mas Alzam tidak mengigau. "Biasanya jika den Al sakit, ucapan beliau bisa ngelantur" jelas mbok Inah.
Setelah aku dan mbok Inah selesai menyiapkan sarapan, derap langkah kaki mas Alzam terdengar nyaring. Wajahnya masih terlihat sayu.
"Udah mendingan, Mas?" tanyaku saat melihatnya menarik sebuah kursi.
"Lumayan. Terimakasih," katanya singkat.
Aku menganggukkan kepalanya dan segera melayaninya layaknya seorang istri sesungguhnya. Tak ada penolakan dari mas Alzam, ku ukir senyum dibibir.
Ya Allah, bisakah Engkau membuat mas Alzam mencintaiku? Apakah aku terlalu berharap padanya, hingga aku lupa jika aku hanya dianggap sebagai budak pemuas hasratnya?
Setelah sarapan aku merasa heran, seharusnya mas Alzam sudah harus bersiap untuk menjemput Aira untuk ke Bandung. Namun, nyatanya dia malah rebahan di atas ranjang.
"Mas Alzam kok gak siap-siap?" tanya ku sedikit ragu. Aku takut jika pertanyaanku dianggap ikut campur dalam urusan pribadinya.
Mata mas Alzam menatapku dengan dalam. Seperti ada beban yang sedang dia tahan. Aku tak berani untuk terus menatapnya dan segera ku alihkan pandanganku ke luar jendela.
"Sebenernya ada yang ingin aku katakan kepadamu. Tapi aku tak tahu kenapa aku ragu," ucapnya yang terus fokus pada latar ponselnya.
"Katakan saja, tidak usah ragu," ujar ku.
"Seharusnya aku tidak merasa berat karena aku tidak mencintaimu. Kamu hadir menjadi orang ketiga dalam cinta kami. Aku tidak tahu mengapa mengikuti permintaan konyol dari ibumu. Kenapa saat itu aku tidak membiarkanmu untuk dijual di tempat pelacuran dan malah menikahimu sebagai pelunasan hutang ibumu. Aku bodoh dan ceroboh tidak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya," kata Mas Alzam yang ternyata sudah berada di dekatku.
Kudengar dia membuang napas beratnya. Sepertinya memang ada sesuatu yang beban berat dalam hatinya.
"Kamu sudah tahu kan jika aku dan Aira sudah bertunangan 'kan? Bahkan kami juga telah merencanakan sebuah pernikahan." Lagi-lagi Mas Azzam banyak jeda ucapannya dan membuatku semakin penasaran apa yang sebenarnya ingin disampaikan olehnya.
"Jika aku adalah beban untukmu, aku mohon lepaskan aku. Aku akan berusaha untuk melunasi semua hutang ibuku, tetapi beri aku waktu," ucapku datar.
Meskipun pernikahan ini bukan kemauanku, tapi rasanya sangat berat jika mas Alzam benar-benar melepaskanku. Padahal sudah jelas di antara kami tidak ada yang namanya saling mencintai, lalu untuk apa dipertahankan?
"Untuk saat ini aku tidak bisa melepaskan mu. Ada sebuah perjanjian yang aku tanda tangani di atas materai bersama dengan ibumu. Aku bisa melepaskan mu setelah usia pernikahan kita berjalan satu tahun."
Aku tertunduk lesu mendengar pengakuan dari Mas Alzam. Hatiku semakin disayat, ternyata pernikahanku telah diatur sedemikian rupa oleh ibu. Bahkan aku sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang perjanjian ibu dan mas Alzam. Ibu benar-benar sangat keterlaluan. Padahal selama ini akulah berusaha untuk menjadi anak yang berbakti. Bahkan aku rela menghabiskan sebagian waktuku untuk membantu masalah keuangan keluarga. Namun, inikah balasan yang Ibu berikan kepadaku?
"Ra, aku akan menikahi Aira."
Aku langsung mendongak untuk menatap pria yang ada di sampingku. Dadaku terasa sesak dan tubuhku pun ikut bergetar. Seakan duniaku ikut runtuh, dengan ucapan mas Alzam.
"Kepergian ku ke Bandung, tak lain untuk menikah dengan Aira," ucap mas Alzam lagi.
Aku masih membisu. Sepertinya keinginanku terlalu berlebihan. Ingin memiliki mas Alzam sepenuhnya yang nyatanya dia adalah milik orang lain. Aku hanyalah orang ketiga dalam hubungan Mas Alzam dan Aira. Seharusnya aku sadar akan posisiku saat ini.
"Kamu tak perlu khawatir, setelah menikah nanti Aira tidak akan tinggal di sini. Kamu tenang saja aku akan bersikap adil kepada kalian, tapi bukan untuk perasaanku. Karena aku hanya mencintai Aira. Semoga kamu bisa menerima kenyataan ini."
Aku hanya bisa membuang napas beratku. Memang menyakitkan, tetapi aku juga tidak boleh egois. Aku tidak bisa memaksakan mas Alzam untuk mencintaiku, karena aku hanyalah orang asing di matanya.
"Semoga pernikahan kalian berjalan dengan lancar. Maaf aku tidak bisa turut hadir dalam pernikahan kalian," ucapku dengan rasa sesak di dada.
...~BEESAMBUNG~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Surati
nyesek bngt😭😭😭
2023-02-04
0
Lionel Sinaga
hikhikhik
2022-12-06
0
Santi Liana
😭😭😭😭😭nyesek Thor😭😭
2022-11-04
1